Rasa aneh

2105 Kata
Gibran yang sedari tadi terbius oleh suasana hutan dan gunung di sore hari itu kini makin terpesona begitu motor yang mereka kendarai mulai memasuki daerah perkebunan. Hawa dingin kini terasa sekali menusuk kulit dan tulang Gibran, Mikhayla masih tenang dan fokus menyetir seperti tak peduli dengan hawa dingin yang menusuk itu. Untung saja mereka keluar dari area hutan saat matahari masih di menit-menit terakhir sebelum beranjak ke peraduannya dan di gantikan oleh bulan. Kini mereka telah memasuki kawasan padat penduduk, tapi pemandangan ini masih tetap memukau mata Gibran. " Nggak usah kaget dan takjub gitu, di depan sana masih ada pemandangan malam kota yang keren. Bisa-bisa elo nggak mau balik." sindir Mikhayla yang kini mendapat geplakan dari Gibran. " Ini cewek mulutnya nggak ada manis-manisnya sih....gue gulain tuh mulut!" omel Gibran. Kini dia mengeratkan pelukannya karena hawa makin dingin dan terlihat kabut pun mulai menyelimuti kawasan tersebut. Motor terus melaju, dan benar apa yang di katakan oleh Mikhayla, di depannya kini tersaji pemandangan malam kota yang indah. Di depan Mikhayla hanya tersenyum menang begitu berhasil membuat takjub Gibran. Mikhayla memarkir motornya di parkiran alun-alun yang tidak terlalu ramai, karena mereka memang pergi saat bukan hari libur. " Napa berhenti disini?" tanya Gibran bingung tapi masih tetap mengikuti langkah Mikhayla yang mulai menjauh. " Gue laper! elo kira gue robot yang nggak ngerasain laper. Apalagi habis lewatin gunung dan nerobos hawa dingin!" ucap Mikhayla dengan nada menyindir Gibran dan terus berjalan menuju kumpulan pedagang kaki lima. Gibran pun harus sedikit berlari untuk mengejar gadis itu. " Elo yakin makan disini?" tanya Gibran meyakinkan begitu mereka sudah duduk di salah satu meja yang memang bertebaran di sana. Mikhayla melirik Gibran yang tampak tak nyaman, " Yakinlah, dimana-mana ya Gib orang kalo udah laper itu nggak peduli di mana tempat dia makan. Yang penting bisa makan dan kenyang. Sesimple itu man....ngapain buat susah!" cibir Mikhayla dengan tenang. Gibran hanya termangu mendengar kata-kata Mikhayla yang sederhana tapi cukup menyentil batinnya. Gibran menyadari bahwa hidupnya yang dari kecil selalu di layani dan mewah berbanding terbalik dengan hidup bebas milik Mikhayla, hidup yang benar-benar dia miliki dan nikmati. Tak lama makanan pesanan mereka datang dan dengan lahap Mikhayla menyantap sepiring ayam goreng beserta sambalnya. Gibran yang terus memperhatikannya jadi ikutan lapar dan mengikuti Mikhayla menyantap makanan di depannya. " Gimana? rasanya nggak kalah kan dari masakan resto dan cafe? sekali-kali elo kudu dan wajib makan di kaki lima kek gini." sindir Mikhayla. Gibran hanya tersenyum kecut tapi dalam hati membenarkan ucapan gadis itu. " Kalo sama elo gue mau, kalo sendiri ogah gue." ujar Gibran, Mikhayla hanya memutar bola mata malas menanggapi ucapan Gibran. Setelah makan mereka pun memutuskan untuk duduk-duduk di bangku yang bertebaran di sekitar alun-alun. Mikhayla tampak mulai sibuk dengan ponselnya yang terus bergetar sedari dia aktifkan 15 menit tadi. Di seberang tempat mereka duduk ada sekelompok pemuda yang dari awal mereka datang terus memperhatikan Mikhayla. Meskipun hari sudah malam tapi tidak bisa menyamarkan kecantikan Mikhayla, apalagi saat rambutnya di Cepol seperti saat ini. Gibran merasa risih dengan sikap mereka tapi lebih tepatnya tidak rela bila Mikhayla di pandangi dengan pandangan m***m seperti itu. Dengan cepat dia langsung meraih pinggang ramping Mikhayla agar lebih dekat, Mikhayla yang tiba-tiba di peluk pun kaget dan langsung menoleh menatap Gibran. Tepat kedua mata mereka bertemu, " Apaan? lepasin gue!" minta Mikha dengan suara hampir berbisik karena dia merasa malu bila ada yang melihat mereka seperti ini. "Udah diem deh, kek gini dulu sebentar. Di depan kita ada sekumpulan cowok lagi lihatin elu dengan pandangan m***m!" bisik Gibran sambil tersenyum nakal. Mikha pun melirik ke arah yang di maksud oleh Gibran dan dia melihat wajah-wajah pemuda itu tampak kecewa melihat pose mereka. Seketika Mikhayla sadar dan malah melanjutkan akting romantis mereka. " Okeee ...makasih ya kakakku, Uda jagain adek cantik ini dari mata-mata mesum." bisik Mikhayla yang makin mendekatkan tubuhnya seolah mereka sedang berpelukan hingga Gibran bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat di kulit telinganya. Tak lama sekumpulan pemuda itupun pergi karena kecewa dan Mikha langsung melepaskan pelukan mereka. " Uhm....thanks ya elo Uda bantuin gue tadi. Tapi kayaknya tadi elo nggak usah kek gitu deh, gue bisa jaga diri sendiri kok." ujar Mikha terbata karena sebenarnya jantung saat itu berdetak sangat kencang. " Uda tugas gue jagain elo! tapi...." Gibran menggantung kata-katanya membuat Mikha penasaran. " Tapi apa?" tanya Mikha penasaran. " Kita nggak mungkin balik ke Surabaya kan malam ini. Kita tidur di mana nih?" tanya Gibran. " Emang elo mau gantiin gue nyetir lewat gunung? kalo elo mau ya nggak apa-apa. Kalo lewat kota jauh!" sahut Mikhayla. " Kita cari hotel aja deh. Sebelumnya cari ganti buat besok dulu yuk." ajak Gibran sambil menarik Mikha untuk bangkit. " Aaaahhh....gue kira elo mau gantiin gue nyetir. Tau gini gue bawa baju!" sungut Mikhayla. Gibran hanya tertawa mendengar gerutuan gadis itu yang sedari tampak pasrah mengikutinya berputar-putar di dalam plaza. " Elo ngapain beli tas ransel?" tanya Mikha heran dan bingung. " Lha trus kalo kita balik ini barang gimana bawanya? kan kita naik motor. Iya kalo bawa mobil tinggal taruh bagasi aja." jawab Gibran santai. " Ha ha ha....iya juga sih. Yaudah gue ambil 1 ransel lagi aja." Mikha pun berbalik menuju ke tempat tas dan ransel, tapi dengan cepat Gibran menarik tangan gadis itu. " Nggak usah, Uda ini aja jadi 1. Toh bajunya juga nggak banyak kan?" jelas Gibran yang sudah memasukkan baju mereka di bantu kasir. " Lha trus entar kalo gue mau ganti baju gimana?" protes Mikha, " Ya ganti lah. Udah sekarang kita cari hotel." seret Gibran dengan senyum kemenangan melihat wajah Mikhayla yang terus cemberut. "Aaaaarrrgghhh....gini amat punya sodara kaya." cibir Mikhayla. Tak jauh dari alun-alun banyak hotel dan penginapan bertebaran. Karena memang kota Batu adalah kota wisata jadi mereka dapat dengan mudah menemukan hotel. " Mas masih ada kamar kosong?" tanya Gibran pada resepsionis. " Owh, masih, silahkan pilih kamar yang mana mas?" sapa si resepsionis sambil melirik gadis di belakang Gibran yang terus merengut. " Pacar nya cantik mas." puji si resepsionis, " Oh....iya mas, tapi dia ini galak banget." goda Gibran. si resepsionis hanya tersenyum maklum. Dia sudah biasa melihat banyak pasangan keluar masuk hotel tempatnya bekerja ini. "Yang ini mas." ujar Gibran sambil menunjuk kamar yang bergambar 2 bed. " Biasanya kalo sama pacar kebanyakan pilih yang single bed mas." goda si resepsionis lagi. " Dia lagi pms mas, jadi saya takut kalo tidur seranjang sama dia." balas Gibran membuat si resepsionis tertawa kecil. Mikhayla melirik mereka berdua dengan tatapan sinis, " Elo ngebooking apa mau ngegosip sih Gib? lama amat!" sentak Mikhayla. " Iya ini Uda beres kok. Makasih ya mas....Uda ayo jalan." gibran pun berbalik dan merangkul pundak gadis itu untuk membawanya ke kamar mereka. Si mas resepsionis hanya menggeleng dan tersenyum melihat tingkah mereka berdua, " Hah....anak jaman sekarang....ngeri kalo pacaran." gumamnya. " Sana mandi duluan." perintah Gibran setelah mereka sampai di dalam kamar pesanan mereka. Mikhayla diam mematung sesaat dan berbalik, " Elu cuma pesen satu kamar?" tanyanya menahan emosi. Gibran hanya mengangguk lalu berjalan ke dalam dan menaruh ransel di atas meja. " Uda mandi duluan sana. Gue mau keluar bentar cari sesuatu." ujarnya lalu melangkahkan kaki keluar kamar. " Aaaaarrrgghhh....dasar kakak bangke! katanya anak orang kaya, direktur perusahaan! pesen kamar cuma 1! pelit amat elu jadi orang!" maki Mikhayla begitu Gibran menutup pintu. Dari luar Gibran tersenyum mendengar umpatan gadis itu, lalu melangkah pergi. 15 menit berlalu, tepat saat Mikhayla keluar kamar mandi Gibran masuk membawa penuh sekantong plastik cemilan. Mikha hanya meliriknya sekilas dan berlalu menuju kasurnya. Gibran hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan gadis yang menjadi adik ya tersebut. "Elo nggak ganti baju dulu? gue bisa kok keluar lagi biar elo bisa ganti baju." ujar Gibran masih membelakangi Mikha. " Nggak....peduli apa emangnya elo?" sahut gadis itu dengan cuek sembari mendaratkan badannya di kasur. " Elo kebiasaan ya tidur cuma pake bathrobe kek gitu??? masuk angin lho!?" sambung Gibran masih dengan tekanan. Mikha menolehkan kepalanya menghadap Gibran, " Elo tadi nggak beli koyo atau counterpain atau apa gitu buat ngeredain nyeri???" jawab Mikha tanpa mempedulikan pertanyaan Gibran. Gibran hanya menggeleng seperti orang bego mendengar pertanyaan Mikhayla, gadis itupun langsung membuang muka dan menarik selimutnya tanpa berkata apa-apa lagi. " Lah tidur dia, tungguin....gue beliin bentar." sambungnya kemudian beranjak pergi keluar. " Punya kakak nggak peka amat sih, di pikir nggak capek apa nyetir lewat gunung! iya kalo sendiri, dikira badannya enteng kek balon!" gerutu Mikhayla. Dari luar Gibran hanya tertawa mendengar Omelan gadis itu dan bergegas membeli pereda nyeri. " Reuni SMA?kapan? di mana?" tanya Mikha dengan nada tidak berminat pada seseorang di seberang telponnya. " Minggu depan? lokasi? oh....elo mau tanya apa cafe gue bisa di sewain gitu? hhhhmmmm....bisa kok. Elo langsung aja ke manager cafe gue, dia yang urusin semua prosedur dan harganya. Ya elo coba hubungin dia aja dulu, nanti dia juga laporan ke gue....iyaaa....sori banget yaaa....urusan harga gue nggak ikutan bikin meski gue owner-nya. Sorry banget yaaaa.....gimana? oke deh kalo gitu, gue kirim lewat chat yaaa...oke, bye..." Mikhayla menghela nafas panjang seakan baru menyelesaikan pertempuran sengit. " Napa muka elo kek habis ikutan perang dunia?" tanya Gibran mengejutkan Mikha. " Eh buseeetttt....ngagetin aja elo! emang hobi elo ngagetin orang ya?" maki Mikha yang reflek melempar bantal ke arah Gibran. Sigap Gibran pun berhasil menangkap bantal itu sehingga tidak mengenai wajahnya. " Tadi gue Uda ngetok pintu kok, elonya aja yang dari tadi nggak denger. Nih creamnya." terang Gibran santai dan langsung duduk di ranjang Mikha. Mikha hanya menatapnya lalu mengambil cream pereda nyeri otot itu." jadi dari tadi elo belum ganti baju?" tanya Gibran setelah menyadari bahwa gadis itu masih memakai bathrobenya. " Emang masalah buat elo???" sahut Mikha judes dan mulai mengoleskan cream, tapi tangannya tak sampai. " Siniin, yang mana?" Gibran tak tahan melihat Mikha yang berusaha mengoles di punggungnya, dengan terpaksa Mikha menyerahkan tube cream pada Gibran dan menunjuk seluruh punggungnya dan menurunkan bathrobenya setengah punggung. Gibran yang melihat punggungulus Mikha hanya bisa menelan air liurnya, " Buruan....pundak dan punggung gue Uda kek mati rasa ini," omel Mikha yang tak sabar karena Gibran masih belum mengoleskan cream nya di punggung. Dengan penuh rasa canggung Gibran pun mulai membalurkan cream itu ke punggung Mikha, " Kasih tekanan dikit donk, nah itu bener....yang di situ." perintah gadis itu. Gibran menahan rasa aneh di dirinya, " Udah kan? nih, kasih sendiri di tempat lain. Gue mau mandi dulu!" ujar Gibran dengan sedikit tergagap dan langsung berlari ke kamar mandi. Mikha pun yang ingin protes cuma bisa melongo dan membetulkan kembali bathrobenya. " Oke deh makasih yaaaa Gib...." teriaknya santai lalu menyalakan TV dan mulai memakan cemilan yang di beli Gibran. " Gue kira elo Uda tidur duluan." tanya Gibran basa basi. " Filmnya lagi asyik. Ya kalo elo ngantuk tidur duluan sana." balas Mikha. Gibran meraih kaos dan celana pendek yang tadi sempat di beli kemudian kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian. " Lain kali elo jangan dengan gampangnya nyuruh cowok buat kasih cream atau semacamnya di punggung elo yang polos itu." cecar Gibran yang sudah mendaratkan tubuhnya di samping Mikha. Karena semua cemilan di bawa Mikha ke atas ranjangnya, " Gue Uda biasa minta tolong mas Joe, kan mas Joe sodara gue, elo juga sodara gue. Apa salahnya?" sahut Mikha cuek dan santai. Gibran hanya tercengang mendengar jawaban Mikha, akhirnya dia pun tak tahan lagi. Dengan cepat Gibran mengubah posisi tubuhnya dan menarik Mikha hingga Mikha terbaring di bawah tubuh Gibran yang langsung menindihnya. Mikha terbelalak kaget cuma bisa melotot menatap Gibran yang juga menatap Mikha dengan tatapan aneh. " Elo mau apa? jangan macam-macam deh Gib! minggir!" sentak Mikha dengan nada mengancam. " Why? kan menurut elo gue sodara kan? apa yang elo takuti? bukannya menurut elo kalo sama sodara elo bebas lihatin bagian tubuh elo?" pancing Gibran sambil memainkan jarinya menyusuri wajah dan kini sampai di leher gadis itu. Reflek Mikha langsung memejamkan mata ketika jari Gibran menyusuri lehernya. " Napa? kan gue sodara elo?" pancing Gibran lagi, kini bibirnya tersenyum mengejek ekspresi Mikha yang mati-matian menahan rasa geli di lehernya. " Stop Gib! oke....gue nggak akan kek gitu lagi!" mohon Mikha yang kini merasa takut tapi juga menikmati rasa aneh ketika jari Gibran menyentuh lehernya. Gibran menundukkan badannya lebih rendah lagi dan berbisik " Tapi gimana ya??? gue masih belum selese ngasih tau elo bahayanya kalo elo ceroboh kasih lihat badan elo di depan cowok lain." nafas Gibran menerpa kulit telinga dan leher gadis itu, makin membuat Mikha terasa sesak oleh rasa-rasa aneh yang baru di kenal oleh tubuhnya. Meskipun dia sering berpapasan dengan orang lain tapi dia tidak pernah merasa seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN