#
Allana mengusap pelan wajah adiknya. Ia merasa sangat sedih setelah menyaksikan kondisi adiknya yang seperti ini.
“Dio….kau harus bertahan. Dia berjanji untuk menyelamatkanmu…dia punya banyak uang. Asalkan aku tetap bersamanya, kau dan kak Dimas bisa selamat. Kita akan bisa berkumpul lagi,” bisik Allana sambil membelai wajah mungil sang adik.
"Tante....aku ingin tinggal disini lebih lama tapi kurasa, Mahesa tidak akan mengijinkannya," ucap Allana sendu.
Tante Dayu menepuk bahu Allana lembut.
"Nona...bersabarlah. Bukankah yang terpenting adalah keselamatan dan kesehatan keluarga nona? Asalkan Nona tidak membuat Tuan marah maka Tuan pasti akan mendapatkan donor yang sesuai serta menyediakan pengobatan yang terbaik dari yang terbaik untuk adik Nona seorang," Tante Dayu berusaha memberi Allana semangat.
Allana mengangguk pelan.
"Kakak akan kembali. Cepatlah sadar...kakak menunggumu." Bisik Allana di telinga adiknya.
Allana mencium dahi adiknya dan bangkit berdiri.
Saat yang sama ia tiba-tiba merasa sedikit goyah, untunglah ada tante Dayu yang menopangnya.
"Nona, anda berkeringat dingin. Sebaiknya kita periksa sekarang mumpung kita sedang berada di RS!" Tante Dayu terlihat khawatir.
Allana terdiam. Ia sedikit kaget saat pandangannya sempat gelap untuk sejenak. Ia merasa sangat lemah dan tubuhnya juga mulai tidak nyaman.
"Aku...tidak apa-apa." Allana menahan pergelangan tangan tante Dayu tanpa sadar, meski ia sedang berusaha meyakinkan wanita paruh baya itu bahwa dirinya baik-baik saja.
"Anda yakin?" tanya Tante Dayu.
Allana mengangguk penuh keyakinan meski sebenarnya ia merasakan sebaliknya.
Akan tetapi baru saja ia akan melangkah keluar dari ruangan itu Allana kembali merasakan tubuhnya seringan kapas dan pandangan di sekelilingnya yang berubah menjadi semakin gelap.
Hal terakhir yang ia ingat adalah teriakkan khawatir tante Dayu.
#
Mahesa baru saja akan beranjak berdiri saat salah seorang bawahannya melaporkan kondisi Allana yang pingsan di depan ruang rawat adiknya.
Ia bergegas untuk datang dan melihat keadaan Allana namun pada akhirnya dirinya harus menunggu disini karena Dokter Sahsmi sama sekali tidak mengijinkan siapapun masuk sementara Allana diperiksa.
Pintu ruang rawat tempat Allana diperiksa perlahan terbuka dan Dokter Sashmi Adwina keluar dengan wajah penuh senyum. Ia menatap Mahesa dengan tatapan penuh kemenangan, seakan sedang berkata…kubilang juga apa?
"Jangan basa basi, langsung saja jelaskan bagaimana kondisinya," ucap Mahesa dingin.
Sashmi menarik napas pelan.
"Kau benar-benar menyeramkan, untunglah ibu dari calon anakmu orang yang cukup menyenangkan, kalau tidak...aku tidak yakin anak malang itu akan bersyukur kau jadi ayahnya suatu saat nanti," ucap Sashmi kesal.
Dahi Mahesa berkerut.
"Maksudmu?" tanyanya. Sebenarnya ia bukannya tidak memahami makna tersirat dari kalimat Sashmi, tapi ia butuh jawaban yang lebih pasti untuk memastikan dugaannya.
"Maksudku....gadis simpananmu hamil. Kau akan jadi ayah dari anak nona Windardi. Selamat menjadi bagian keluarga Windardi," ucap Sashmi dengan nada mengejek yang terlalu kentara.
Wajah Mahesa tetap terlihat datar. Seakan ia tidak terlalu terpengaruh dengan kabar baik yang baru saja ia dengar.
"Cepat sekali, ini benar-benar kejutan," gumam Mahesa.
Sashmi hanya bisa kembali menarik napas panjang melihat betapa dinginnya pria itu. Mahesa jelas-jelas bukan jenis pria yang menjadi idaman wanita. Para wanita di luar sana yang memimpikan berada di sisi Mahesa akan sangat kecewa seandainya mereka tahu pria yang dengan mudah mampu memikat hati mereka tidak lebih dari bongkahan es yang tidak punya perasaan.
"Gadis itu malang sekali harus jatuh ke tanganmu. Aku bilang ini sebagai teman yang perduli kepadamu, lupakan dendammu, dia pantas dicintai. Apalagi dia sekarang mengandung anakmu." Wajah Sashmi kali ini terlihat serius.
"Dia sudah sadar?" tanya Mahesa dengan sepenuhnya mengabaikan ucapan Sashmi.
"Ya, sudah. Dia ingin bertemu denganmu," ucap Sashmi akhirnya. Dia tidak punya pilihan selain menjawab pertanyaan Mahesa.
Mahesa masuk kedalam ruang rawat itu meninggalkan Sashmi berdiri mematung seorang diri.
Sashmi mengalihkan pandangannya ke arah Tante Dayu.
"Dia bahkan tidak perduli dengan kondisi mental calon ibu dari anaknya?!" ucap Sashmi putus asa.
Tante Dayu hanya bisa diam mendengar kata-kata Sashmi. Dia hanyalah bawahan, meski dalam hati ia membenarkan kalimat dokter muda di hadapannya ini, tetap saja ia tidak bisa memberi komentar apa-apa.
#
Mahesa duduk di samping tempat tidur Allana.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Mahesa. Ia sedikit banyak bisa melihat kekhawatiran di bola mata Allana yang jernih.
"Aku...hamil," ucap Allana. Ia sendiri seakan tidak bisa mempercayai pendengarannya. Ia bahkan masih sulit mencerna kalimat dokter tadi kalau usia kandungannya sudah memasuki tujuh minggu. Itu berarti hari pertama semenjak Mahesa menyentuhnya.
"Aku tahu. Mulai sekarang jaga kesehatanmu. Kondisimu tidak boleh drop lagi seperti hari ini. Aku memaafkanmu karena kau tidak tahu kalau dirimu sedang mengandung," ucap Mahesa tegas.
Seketika Allana tersadar kembali ke kenyataan. Pria ini sama sekali tidak terlihat benar-benar bahagia karena kehamilannya. Wajah itu sama dinginnya seperti sebelumnya. Lalu, kenapa Mahesa menginginkan seorang anak dari rahimnya?!
"Kau....tidak.... bahagia?" Tanya Allana gugup.
Mahesa memicingkan matanya menatap raut wajah Allana yang terlihat sedih.
Cantik sekali...
Tanpa sadar jemarinya meraih wajah Allana. Dan mengecup bibir wanita itu lembut...
Allana terdiam. Ia kembali terhanyut pada perlakuan pria itu. Pria yang sekarang resmi menjadi ayah dari calon anaknya.
Wajahnya merona merah saat pada akhirnya Mahesa mengakhiri ciuman singkat mereka.
"Aku akan menunggumu di luar. Bersiaplah, kita akan pulang." Ucap Mahesa.
Pria itu berbalik pergi meninggalkan Allana seorang diri yang kini kembali terombang ambing dengan perlakuannya.
Allana meraba jantungnya yang kali ini kembali berdetak cepat seakan hendak melompat keluar dari dadanya.
Seulas senyuman sedih kembali terukir di bibirnya.
“Ini….menyedihkan. Kumohon, kembalilah pada kenyataan Allana Windardi….sudah jelas ia menginginkan anak ini karena maksud tertentu…mungkin bukan hanya karena dendam seperti yang selalu ia katakan. Aku hanya terlalu merindukan kepedulian pada orang lain. Karena itu perasaanku menjadi lemah. Aku….tidak ingin menjadi seorang ibu dengan cara seperti ini dan dengan pria itu….Aku tidak ingin…” Allana menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Allana sepenuhnya menyadari kalau saat ini, seluruh keluarganya tengah bergantung pada pria yang ia benci itu, meski ia tidak tahu jelas apa sebenarnya tujuan Mahesa melakukan semua segalanya sejauh ini.
Di luar, Mahesa terpaku mendengar tangisan Allana. Ia mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya.
“Tidak ingin menjadi ibu anakku? Benar-benar wanita yang sulit diatur….,” Mahesa kembali bergumam pelan pada dirinya sendiri.
Ia sama sekali tidak mengerti dengan dirinya sendiri kenapa ia harus kembali merasa terganggu dengan cara Allana menerima kabar kehamilannya sendiri. Bukankah wanita itu seharusnya sudah paham kalau cepat atau lambat ia harus memenuhi isi perjanjian mereka? Terlepas dari niat Mahesa sebenarnya yang tidak ingin benar-benar melepaskan Allana dari kendalinya.
#
Allana sedikit terkejut saat melihat Mahesa sudah berada di dalam mobil yang akan ia naiki. Ia menengok kesamping tapi Tante Dayu sudah memasuki mobil lain yang berada di belakangnya.
"Mau sampai kapan kau mematung disitu, kemarilah," Ucap Mahesa.
Allana memasuki mobil dan duduk dengan canggung di sebelah Mahesa yang tampak sibuk mengetuk sesuatu di tabletnya.
Allana ingin sekali agar mereka bisa segera sampai dirumah. Berada di dalam kamar yang sama dengan Mahesa jauh lebih melegakan dibanding duduk canggung seperti ini di dalam mobil baginya. Hanya beberapa saat kemudian ia menyesali pikirannya tentang kamar bersama Mahesa.
"Apa lagi yang kaupikirkan dengan kepala kecilmu itu Allana? " tanya Mahesa tanpa sekalipun menoleh ke arah Mahesa.
Allana membuang muka ke arah jendela, menyembunyikan wajahnya yang tertekan.
"Ti...tidak ada," ucap Allana.
Perlahan Mahesa menarik tubuh Allana mendekat kepadaya.
"Masih pusing?" tanya Mahesa sambil membelai lembut wajah Allana. Ia hanya ingin menenangkan wanita itu, bagaimanapun ada anaknya yang sekarang sedang tumbuh didalam tubuh Allana.
Allana terdiam. Aroma tubuh Mahesa memasuki penciumannya yang mendadak menjadi sensitif dan di luar dugaan malah membuatnya merasa tenang.
"Aku baik-baik saja," ucap Allana.
"Kau masih membenciku?" tanya Mahesa.
"Benci?" Allana tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari pria ini.
Bersambung …..