Vanilla bingung harus memilih siapa? Arga atau keluarganya?
Akhirnya Vanilla memutuskan untuk meminta pendapat Aref terlebih dahulu, hubungan mereka memang tidak terlalu dekat. Namun, entah kenapa hatinya ingin datang ke apartemen Aref.
Arga mengantar Vanilla ke apartemen tersebut, walaupun Arga agak kecewa karena Vanilla tidak langsung memilih dirinya tapi Arga tetap mengikuti kemauan Vanilla.
Setelah Vanilla memencet bel lalu Aref, membuka pintu. Awalnya Aref heran kenapa adiknya bisa datang bersama Arga, walaupun mereka tidak saling kenal secara pribadi tapi Arga cukup popular pada masa SMA karena kepintarannya juga jabatannya sebagai ketua osis.
"Abang, udah kenal 'kan siapa cowok di sebelah Vanilla ini?" tanya Vanilla setelah mereka duduk di sofa.
Aref mengangguk. "Cukup kenal tapi gak secara personal, bukan begitu Arga?"
"Iya, hanya sebatas tahu kamu satu kelas dengan sahabatku, Alvaro."
"Jadi ada apa ini Vanilla?"
Vanilla menghela napasnya sebelum menceritakan tujuannya menemui kakak laki-lakinya ini. "Begini, Bang. Vanilla mau meminta pendapat Abang sebagai seorang kakak, Vanilla akan menikah dengan Arga," Aref cukup terkejut tapi dia tetap mendengarkan cerita Vanilla.
"Tapi ternyata Ayahnya Arga adalah pesaing bisnis Papa dan Papa tahu itu sebab aku baru aja dari rumahnya Papa."
Aref menebak. "Dan Papa gak setuju kalian menikah?"
"Iya, kalau aku memilih Arga berarti aku harus siap kehilangan keluargaku bahkan Papa gak akan kasih tahu keberadaan Mama."
Aref membulatkan matanya mendengar ucapan Vanilla. "Jadi, selama ini Papa tahu keberadaan Mama tapi menyembunyikan dari kita?"
Vanilla mengangguk.
"Sialan, si tua b*****t itu benar-benar b***t!" Bahkan rasa hormat yang selama ini dia jaga kepada sang ayah hilang sudah setelah tahu fakta yang mengejutkan ini. Bahkan, saat Papanya menikah dengan Ariana, Aref tidak semarah ini.
Vanilla dan Aref tidak pernah membenci Mamanya karena mereka cukup paham tentang apa yang dirasakan oleh wanita yang melahirkannya itu akibat perbuatan sang Ayah yang tidak punya hati.
Kalau ada orang yang harus mereka benci sekarang adalah Andra Mahesa.
"Kalau masalah Mama biar Abang yang urus tapi gak semudah itu Abang kasih restu kalian menikah!" ujar Aref enteng.
Arga dan Vanilla bertanya secara bersamaan. "Kenapa?"
Aref menatap Arga. "Aku tanya memangnya orangtua kamu menerima Vanilla sebagai menantunya?" Arga terdiam karena memang sampai saat itu orangtuanya belum setuju.
Setelah itu Aref menatap Vanilla. "Menikahlah dengan seseorang yang keluarganya bisa menerima kamu."
Setelah Vanilla pikir-pikir yang dikatakan oleh Aref ada benarnya karena menikah adalah menyatukan dua keluarga yang berbeda, juga Vanilla tidak ingin hidup dengan kebencian dari keluarganya Arga jika mereka jadi menikah.
Semuanya serba salah, jika Vanilla memilih Arga berarti dia harus rela kehilangan keluarga kandungnya dan belum tentu diterima dengan baik oleh keluarga Arga.
Arga menggenggam tangan Vanilla. "Masalah keluarga aku tenang saja, nanti aku pelan-pelan ngomong sama mereka."
"Tapi jika itu gak berhasil?"
"Positive thinking, sayang."
Aref jadi penasaran kenapa mereka bisa saling kenal dan sampai ingin menikah. "Kenapa kalian saling kenal?"
Kemudian mengalirlah cerita setelah Vanilla diusir lalu pingsan di jalanan kemudian dibawa oleh warga ke rumah sakit tempat Arga bekerja hingga mereka tinggal bersama.
"Kalian serumah?" Aref terkejut karena dia tidak ingin jika adiknya melakukan s*x bebas atau apapun itu. Nakal boleh tapi harus tahu aturan.
"Tapi aku gak sampai melakukan hal aneh kok, Bang."
"Mulai sekarang kamu tinggal di sini sama Abang."
Vanilla menatap Aref tak percaya. "Sejak kapan Abang peduli sama aku?"
"Abang selalu peduli sama kamu, cuma Abang gak tahu cara mengekspresikannya. Walaupun kita gak terlalu dekat bukan berarti Abang gak peduli sama kamu, Vanilla." Aref tersenyum hangat, "you are my little sister."
Baru kali ini Vanilla benar-benar merasakan mempunyai seorang kakak, dia pikir Aref tidak pernah menyayanginya tapi pikiran itu lenyap mulai detik ini.
Aref menghela napas. "Kalau kamu benar-benar serius sama Vanilla, datang ke sini dengan orangtuamu."
"Tapi Vanilla jangan tinggal di sini, kami tahu batasan untuk gak melakukan hal-hal aneh, Aref. Aku udah terlanjur nyaman tinggal sama dia."
"Halalin dulu kalau mau tinggal bareng!" Tegasnya dan mampu membuat Arga tak berkutik, mau tidak mau Arga harus menuruti keinginan Aref.
Arga menghela napas kemudian mengangguk. "Tapi pulang dulu buat ambil barangnya Vanilla."
Setelah itu Arga dan Vanilla pulang untuk mengambil barang.
***
Arga memeluk Vanilla dari belakang yang hendak mengeluarkan pakaiannya dari dalam lemari, menghirup wangi tubuh Vanilla yang selalu menjadi kesukaannya. Vanilla seperti candu bagi Arga, senyumnya, matanya, wajahnya dan semua yang ada di diri Vanilla adalah kesukaannya.
"I love you," bisik Araga tepat di telinga Vanilla, untuk pertama kalinya jantung Vanilla berdebar kencang bahkan saat bersama Agas dulu dia tidak merasakan hal yang sama.
Inikah yang dinamakan jatuh cinta?
Arga membalik tubuh Vanilla dan sedikit menunduk menatapnya karena tubuh Arga lebih tinggi. Arga menampilkan senyuman terbaiknya. "I will miss you, my futur wife."
Vanilla mencibir. "Masih satu kota, Mas."
"Mas? Aku suka panggilan itu, terdengar seksi terucap dari bibirmu."
"Gak ah, 'kan bukan orang Jawa jadi ngapain panggil Mas?"
"Memangnya orang Jawa aja yang bisa panggil Mas, itu universal, sayang."
Vanilla terkekeh. "Nanti aja kalau udah nikah. Itu kalau jadi sih."
"Tunggu Aa' Arga lamar Neng Vanilla."
"Alay!"
Setelah Arga amati, Vanilla sudah banyak perubahan, tidak seperti awal-awal mereka kenal dan wajahnya tampak lebih cerah dan penampilannya juga semakin cantik.
Arga menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Vanilla kemudian membelai lembut pipinya yang mulai blushing. Sekarang Arga sadar, seorang cewek kalau diperlakukan manis akan mudah blushing makanya banyak perempuan yang mudah baper.
Arga mencium kening Vanilla lama kemudian berucap, "kening aja dulu, untuk yang lainnya nanti kalau udah halal."
"Ternyata dokter bisa m***m juga ya, padahal Kak Arga udah lihat aku luar dalam hingga menimbulkan bekas."
Arga tertawa renyah. "Bahkan dokter itu udah khatam sama organ tubuhnya manusia. Apalagi aku yang dokter bedah, sayang. Udah sering liat yang dalam-dalam, pasienku aja sering cewek."
"Tapi dokter itu udah sumpah harus profesional, gak ada lagi itu yang namanya napsu, itu hanya bagian dari tugas sebagai dokter," lanjutnya.
Vanilla mengangguk. "Awas aja kalau genit-genit ke pasien cantik apalagi sampai modus."
"Cemburu kah?"
"Gak!"
"Ini lah perempuan dengan gengsinya yang tinggi."
Arga kembali memeluknya dan Vanilla membalasnya. Tanpa disadari, keduanya nyaman dalam dekapan itu. Jika cinta berawal dari kenyamanan mungkin itu yang dirasakan oleh Arga dan Vanilla.