Nadia masuk ke dalam kontrakan kecilnya, hanya ada dia disini karna ibunya tinggal bersama kakek dan neneknya.
Tidak, ibunya tidak meninggalkan dirinya melainkan sebaliknya, Nadia yang mengusir beliau dari dalam kehidupannya.
Bukan tanpa alasan Nadia melakukannya, dia ingin ibunya bahagia dan dia yakin beliau tidak akan pernah mendapatkan hal itu jika hidup bersamanya.
Kata cinta adalah sebuah omong kosong bagi Nadia, dan hidup hanya dengan berdasarkan cinta baginya adalah sebuah lelucon belaka. Cinta itu tidak nyata dan kata lain dari cinta adalah rasa sakit.
Ibunya terluka dan menderita karna mempertahankan dirinya. Jadi, saat dia sudah remaja dan merasa bisa hidup sendiri seperti ini, dia membuang ibunya agar beliau kembali kepada kakek dan neneknya.
Nadia yakin, kakek dan neneknya akan membahagiakan ibunya - anak kedua sekaligus satu-satunya anak perempuan yang mereka miliki -
Mereka akan selalu menerima kembali Putri mereka yang sudah hidup menderita karna mempertahankan dirinya.
Dan sejujurnya, Nadia juga telah membuat perjanjian dengan mereka. Isinya bukan sesuatu yang menguntungkan bagi Nadia tapi dia harus menyetujuinya.
Bahkan, atas desakan kakek dan neneknya yang terus menerus menekannya setiap hari, Nadia terpaksa harus memisahkan diri dari ibunya dengan dalih berkorban.
Jika dia ingin ibunya bahagia, maka dia harus melepaskannya karna dialah sumber kesialan beliau. Itulah yang dikatakan oleh kakek dan neneknya.
Setelah berfikir panjang dan merasa satu pemikiran dengan mereka. Nadia pun akhirnya menurut. Dia memohon kepada ibunya agar beliau mengizinkannya untuk memisahkan diri dari mereka dengan alasan ingin belajar mandiri.
Lagipula baginya hidup seorang diri itu bukanlah sebuah hal yang sulit. Dia bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sambil sekolah seperti yang selama ini dia lakukan secara diam-diam. Tidak mudah memang, tapi Nadia akan berusaha dan bekerja keras semampunya.
Awalnya, saat Nadia mengutarakan niatnya itu, tentu saja ibunya menolak. Tapi, karna Nadia terus memohon dan memaksa, dengan berat hati beliau terpaksa mengiyakan.
Nadia mengatakan kalau semisal ibunya tidak mengizinkan rencananya ini, maka dia akan kabur dari rumah dan tidak akan pernah menghubungi beliau lagi untuk selamanya.
Sang ibu yang merasa takut kehilangan putri tercintanya pun terpaksa menyetujui dengan catatan setiap kali beliau menelfon dia harus selalu menjawabnya, dan bukan hanya itu saja, Nadia juga harus mengizinkan beliau untuk berkunjung ke tempatnya sesekali serta mereka harus sering-sering bertemu.
Nadia hanya mengiyakan saja semua permintaan itu. Dan pada akhirnya, permintaan terakhir yang beliau sebutkan tadi tidak pernah dia lakukan. Nadia tidak pernah mau menemui ibunya, dia hanya berani menatap beliau dari kejauhan, dan setiap kali ibunya berkunjung dia akan memberikan seribu alasan agar tidak pulang ke kontrakan.
Jujur ini juga terasa sakit baginya, tapi meskipun begitu tidak ada satu tetes pun air mata yang jatuh dari sarangnya.
Hatinya seolah mati, dan itulah yang Nadia inginkan. Dia ingin menjadi manusia yang tidak berperasaan dan pada akhirnya mati sendirian.
Nadia tidak ingin tubuhnya terbiasa dengan kasih sayang dari siapapun terutama dari seorang ibu. Karna dia yakin, jika dia terbiasa dengan hal itu, dia pasti akan merasa ketagihan dan Nadia benci itu.
Jalan fikiran Nadia itu keras, dan kehidupan lah yang telah mengajarkan serta membimbingnya ke jalan itu.
Ponselnya berdering setelah dia merebahkan tubuhnya di atas kasur yang penuh dengan tumpukan sampah. Nadia memang bukan seseorang yang rajin dalam membersihkan rumah.
Dia hanya akan rajin dan membersihkan nya jika sudah tidak ada tempat lagi untuk kakinya berpijak di tempat ini.
"Halo, kenapa bu?" tanya Nadia dengan lembut.
"Kamu ada di kontrakan ngga sayang? Ibu mampir yah, kebetulan ibu lagi di rumah temen ibu dan lokasinya ngga jauh dari tempat kamu," jawab ibunya dari sebrang sana.
"Maaf bu, tapi Amors lagi di rumah temen. Orang tuanya lagi pergi jalan-jalan dan dia takut sendirian. Lain kali aja ya bu, ibu mampirnya ke kontrakan Amors," bohong Nadia.
"Kamu kenapa sih sayang? kenapa kamu selalu menjauhi ibu? ibu punya salah apa sama kamu?" suara ibunya tiba-tiba saja terdengar lirih, dapat Nadia rasakan kesedihan beliau dari suaranya.
"Ngejauhin ibu? ibu ada-ada aja ih, Amors sayang ibu, jadi ngga mungkin Amors lakuin hal itu," sanggah Amors, mencoba bersikap sebiasa mungkin.
"Terus kalo gitu kenapa kamu ngga pernah mau ketemu sama ibu? mana janji kamu? katanya dulu kita bakalan sering ketemu. Kamu ngasingin diri itu cuman karna pengen belajar hidup mandiri, tapi kenapa sekarang rasanya alasan kamu itu palsu? ibu kangen sama kamu, dan pengen ketemu sama kamu, udah 3 tahun kita ngga ketemu. Bahkan saat lebaran aja kamu masih punya alasan buat ngga ketemu sama ibu!"
"Amors juga sayang kok sama ibu, nanti minggu depan kita ketemuan yah, nanti Amors jemput ibu di depan kantor ibu. Soalnya minggu ini Amors ngga bisa, karna lagi ada banyak tugas di sekolahan," kilahnya, jika ibunya sudah mengeluh seperti ini, yang bisa Nadia lakukan hanyalah mengalihkan topik pembicaraan.
"Bener yah? kamu udah janji loh, pokoknya kalo kamu ingkar janji, ibu bakalan seret kamu buat tinggal lagi sama ibu!" ancam ibunya, penuh penekanan.
"Iya bu, Amors janji," Nadia tersenyum saat mengatakannya.
Ibunya terdengar sangat senang mendengarnya.
"Oiya, gimana sekolah kamu? semuanya lancar kan?"
"Ada sedikit masalah sih bu, tapi ibu ngga perlu khawatirin itu karna Amors bisa tanganin sendiri."
Terdengar ibunya menghela nafas dari sebrang sana, "Kamu ini kenapa mandiri banget sih sayang?! Ibu kan juga pengen ngerasain punya anak yang manja! Tapi kamu ngga pernah sekalipun tunjukin hal itu ke ibu sejak kecil?!"
Nadia hanya tertawa kikuk menanggapinya, "Yaudah ya bu Amors tutup, temen Amors dateng bawa makanan soalnya, dia nyuruh Amors buat makan dulu," bohongnya lagi.
"Yaudah, kamu jaga kesehatan ya sayang."
"Iya bu."
Panggilan terputus setelahnya.
Nadia meletakkan ponselnya secara asal karna rumah ini 80 persen sudah di kuasai oleh sampah kemasan makanan instan serta botol bekas air mineral dan hal-hal lainnya.
Ibunya adalah pekerja kantoran, dan beliau mendapatkan pekerjaan itu setelah Nadia memutuskan untuk hidup sendiri.
Dan karna hal itu pula dia semakin merasa kalau dirinya adalah pembawa sial bagi ibunya.
Ibunya memang selalu tersenyum kepadanya. Tapi Nadia tau, di balik senyum itu terdapat banyak luka dan air mata yang beliau tahan.
Dulu, saat dia masih bersama ibunya, kakek dan neneknya tidak mau menerima mereka, dan Nadia juga tidak tau siapa ayah serta keluarga beliau.
Dia hanya punya ibunya, ibu yang berjuang mati-matian untuk dirinya.
Dan saat dia masih bersama beliau, beliau tidak bisa bekerja karna harus mengurusinya. Mungkin bisa, tapi semua itu hanyalah pekerjaan serabutan yang tidak jelas arahnya dan tidak stabil pendapatannya.
Nadia sudah sangat sering mengatakan kalau dia baik-baik saja dan ibunya tidak perlu melakukan itu semua. Tapi sayangnya ibunya malah mengabaikannya.
Dan oleh karena hal itu. Selama belasan tahun, ibunya hanya bekerja serabutan di pasar padahal dulu sebelum beliau memiliki dirinya, beliau adalah putri kesayangan yang selalu di manja di keluarganya.
Kakek dan neneknya adalah orang yang cukup berada, sehingga saat ibunya kembali bersama mereka, mereka langsung memberikan koneksi kepada ibunya agar beliau di terima di salah satu perusahaan ternama di kota Jakarta.
Nadia turut berbahagia, tapi dia tidak bisa merayakannya. Dia takut jika dia bersama ibunya, kesialan yang dia bawa akan kembali menimpa beliau.
Uang sekolah di tanggung ibunya, dan harusnya uang sehari-hari pun sama. Tapi, karna Nadia dengan tegas dan ngotot menolaknya, jadinya ibunya menyerah akan hal itu.
"Gue makan apa yah hari ini?" gumamnya saat perutnya sudah berbunyi karna merasa keroncongan.
Nadia memang bekerja di salah satu kafe, tapi bukan berarti dia suka masak dan bersih-bersih saat di rumahnya. Dia hanya rajin di tempat kerja saja. Saat sudah sampai di rumah, dia menjadi sosok yang berbeda.
Dia menghela nafas, "Udah lah, besok aja makannya. Hari ini lanjut tidur aja," gumamnya lagi seraya memejamkan mata dan mencoba tidur di antara tumpukan sampah plastik di sekitarnya karna saat ini rasa kantuknya lebih dominan daripada rasa laparnya.