Masa Lalu

1747 Kata
Berdiri terlalu lama ternyata membuat kaki Alma pegal. Namun dia tak mungkin untuk duduk karena para tamu undangan banyak yang memberi doa dan ucapan selamat atas pernikahannya dengan Juanda. Sementara itu, sosok laki-laki yang diberikan undangan langsung oleh Alma ketika tak sengaja bertemu di masjid ternyata datang seorang diri. Bibir tersenyum tapi binar mata tak menunjukkan ketulusan, melainkan sebuah kesedihan. "Pacar lu datang," bisik Juanda. Sempat melihat wajah Gus Ilham ketika Alma sedang mengobrol di masjid, sehingga langsung terekam di kepalanya. "Bukan pacar. Beliau senior saya di pondok." Alma meluruskan. Tidak ada istilah pacaran sebelum menikah. Keduanya hanya saling kagum dan cinta dalam diam. Ingin mewujudkan dalam ikatan pernikahan tapi terhalang restu hanya karena tak sekufu. "Gak usah sok suci. Sana ngobrol di belakang! Pastikan gak ada kamera!" Juanda menanggapi dengan santai, malah memberi kesempatan. Tak ada rasa yang spesial di dalam hati, sehingga dia dengan mudah memberi ruang. "Jangan beri ruang untuk saya selingkuh! Nanti nyesal loh." Juanda membisu lalu menoleh pada Gus Ihsan yang menyapanya. "Barakallahulaka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair. Selamat menempuh hidup baru, semoga kalian menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah." Berat, tapi itulah doa yang harus ia panjatkan atas mereka. Sehancur apapun perasaannya saat ini, ketika Alma sudah memilih jalannya, dia biasa apa? Dan mungkin setelah ini dia harus menerima takdirnya dijodohkan dengan wanita pilihan orangtuanya. Nasib. "Thanks." Juanda menyambut uluran tangan dari Gus Ihsan. Mata Gus Ihsan tertuju pada Alma, tapi Alma malah menunduk, menghindari untuk berkomunikasi lewat sorotan mata. "Almahira." "Iya." "Selamat." "Terima kasih." Suasana cukup canggung karena ada rasa yang tersisa. Tapi sama-sama mencoba menerima kenyataan bahwa hidup tak selamanya sesuai dengan mau kita. "Kalian kalau mau melepas rindu, sana di belakang," ujar Juanda sontak membuat Gus Ihsan kaget. "Maaf sudah membuatmu cemburu." Segera Alma menatap suaminya. "Siapa yang cemburu? Gua cuma memberi ruang bagi kalian. Ada pesan dan kesan mungkin yang ingin disampaikan." "Gak ada," jawab Alma pasti. "Iya. Gak ada. Semuanya sudah berakhir. Kita sudah sama-sama ikhlas ... Tolong jaga Almahira ya! Jangan sakiti dia! Karena sakitnya dia, sakitnya semua orang." Ucapan Gus Ihsan menyiratkan sebuah makna setelah melihat perlakuan Juanda yang sebenarnya tak mencintai Alma. Hanya saja dia tak ingin berprasangka buruk. "Kaya bapak-bapak," balas Juanda ketika Gus Ihsan melangkah pergi. Alma tak menggubris. Tarikan napas yang dalam serta mata yang terpejam sejenak membuat dadanya ngilu. Sehingga buru-buru dia menggelengkan kepala untuk tetap waras, meyakinkan pada dirinya bahwa semuanya telah usai. Kini laki-laki yang berdiri di sampingnya adalah imam. Bismillah, semangat menjalankan amanah dari Pak Danu. “Astagfirullah.” Alma terkejut, tangannya spontan tergerak menampar seseorang yang menarik cadarnya. “Kurang ajar.” Itu Yelsi. Dia murka dan kembali menarik cadar Alma, seketika Juanda mendorong dan menjadi tameng untuk sang istri. “Lu gak apa-apa?” tanya Juanda pada Alma yang sedang merapikan cadarnya kembali. Beruntung simpul tali kuat sehingga saat di tarik Yelsi hanya terlihat batang hidungnya saja, belum sampai melorot dan menampakkan seluruh wajah Alma. “Gak apa-apa.” “Perempuan jalang, beraninya lo rebut pacar gue.” Yelsi mulai meneriaki Alma. Tangannya terulur mencoba menarik cadar Alma tapi tak bisa karena Juanda di depan sehingga sangat sulit untuk dijangkau. “Lu yang jalang. Jalang teriak jalang, gak tau malu.” Juanda balas memaki Yelsi, di depan publik karena semua para tamu undangan sedang menonton, bahkan acara yang digelar secara live juga ikut menyoroti mereka. Semuanya ikut berkomentar. Plak! Yelsi berhasil menampar Juanda. “Aku temani kamu dari nol tapi setelah kamu sukses malah tinggali aku dan menikah dengan perempuan ini. Di mana kesetiaanmu yang sering kamu ucapkan dulu ketika kamu gak seperti sekarang ini?” Pak Danu dan Ibu Dian yang mendengar ocehan Yelsi segera mendekat. “Pak, bawa perempuan ini keluar!” Dua orang pria yang memakai baju seragam warna hitam segera menyeret Yelsi keluar. “Maaf atas ketidaknyamanan kalian. Silahkan kalian nikmati lagi acaranya,” ujar Pak Danu menatap semua para tamu undangan. Semuanya kembali kondusif, Pak Danu juga mewanti-wanti agar Yelsi tak boleh berkeliaran lagi di ballroom maupun halaman hotel. Sementara itu Juanda memegang pipinya yang terasa kebas. “Keras juga tamparan dia,” gumamnya. “Coba lihat!” Alma hendak menyentuh pipi Juanda, segera ditepis. “Jangan pegang-pegang! Yang ada malah makin kebas.” “Ok.” Alma kembali duduk di kursi pelaminan, begitu juga dengan Juanda. “Makasih ya sudah melindungi saya.” “Jangan keGRan! Gua hanya gak mau Yelsi bikin malu.” “Apapun yang menjadi alasanmu, saya tetap berterima kasih, suamiku.” Alma tersenyum di balik cadar. Tapi tak terlihat selain matanya yang menyipit. “Gak usah panggil gua, suamiku. Jijik gua dengarnya,” ketus Juanda malah membuat Alma semakin gencar menggodanya. “Iya, Zawji.” “Apa lagi itu Zawji?” “Suamiku versi Arab.” Juanda mendelik tajam. “Dibilangin jangan panggil itu!” “Habibi.” “Astaga, kenapa nama presiden?” Juanda geram sampai mengusap gusar wajarnya. “Bukan presiden, tapi Habibi, kekasihku.” “Cukup! Jangan panggil gua dengan panggilan aneh! Yang berhak panggil gua dengan panggilan sayang hanya perempuan yang gua cintai. Lu gak ada list, panggil gua nama aja,” tekan Juanda muak dengan panggilan suamiku, zawji, habibi dan sejenisnya. “Baik, nama.” “Hah?” Juanda menoleh, menatap bingung. “Tadi suruh panggil nama,” kata Alma sok polos. Sengaja untuk membuat suaminya kesal. Dia tahu jika Juanda minta dipanggil Juan bukan nama. “Maksud gua, lu bisa panggil gua Juan. Kenapa bego banget sih?” Juanda berdesis sebal. Baru beberapa jam sah saja sudah membuatnya jengkel, bagaimana hari, minggu, bulan dan tahun? “Mas Juan?” Juanda bergeming sejenak. “Oke.” Serangkaian acara telah mereka lakukan. Dari akad sampai dengan resepsi. Sebenarnya sejak dari tadi Juanda sudah mulai bosan, tak sanggup diperintah untuk bermesraan dan tampil bahagia bersama dengan sang istri di saat foto bersama. Meskipun hanya rangkulan saja, rasanya sangat mengesalkan. Tapi apalah daya, dia harus terpaksa tampil seolah dialah laki-laki yang paling bahagia saat ini. Dan orang yang telah memandang rendah dirinya kini bisa keep silent. Tepat jam 10 malam acara resepsi berakhir. Ketiga sahabatnya Juanda langsung menghampiri mereka. Bukan berpamitan tapi untuk menggodanya. “Ngapain ke sini lagi? Tadi di saat Yelsi ke sini kenapa lu pada gak cegah?” tanya Juanda menatap ketiga sahabatnya itu. “Sibuk makan.” “Sibuk foto.” “Sibuk cari pacar.” Ketiganya memberi alasan berbeda. “Gak guna.” “Gak usah marah gitu dong, Bos. Malam ini malam pertama, yuk kita antar,” ujar Dalia mengedip mata nakal, seraya melirik Alma yang diam saja. “Gak perlu.” Juanda melangkah pergi. Lantas Dalia buru-buru menarik tangan Alma lalu menuntun jalan beriringan. Di samping kanan Juanda sudah ada Anjas dan di sisi kiri Dalia ada Dika. Kelima jalan beriringan. “Kalian ini kenapa norak banget? Malu dilihat orang,” omel Juanda berusaha menghindar tapi malah ditahan Anjas. “Kita ini memberi kesempatan untuk lu melepas perjaka. Selama ini lu kan gak pernah celup gelas pacar lu sendiri,” ujar Anjas seketika membuat Alma menoleh pada pria jakun yang baru mengucapkan kabul atas nama dirinya. “Selama ini kamu pasti menduga Juan ini laki-laki b******k yang gak perjaka lagi kan?” ujar Dalia dan Alma mengangguk kepala. “Terus gimana perasaanmu?” Dalia gencar menginterogasi Alma. Suka sekali menggoda bosnya lewat perempuan bercadar yang mendadak jadi istrinya Juanda. Di luar prediksi. “Gak gimana-gimana.” “Loh, kok gitu? Kamu gak senang menikah dengan bos Invest? Sultan asli loh dia. Kaya, ganteng … tengil juga.” Seketika tangan Juanda tergerak menjitak kepala Dalia. “Bawa bini lu pulang!” “Gak mau,” jawab Dika dengan santai menuntun mereka masuk ke dalam lift yang terbuka. “Kalian ini ngapain sih? Ganggu hidup gua?” tanya Juanda sebal. “Lu lupa apa yang lu lakukan saat gua nikah sama Dalia?” Seketika Juanda membisu. Dulu dia yang paling heboh saat tahu Dika hendak menikah dengan Dalia. Cinta lokasi, kerja di bawah kantor Sultan Invest. Juanda sebagai bos langsung bergerak cepat mempersiapkan segala hal termasuk paket honeymoon. Dan tentunya Anjas yang diperintahkan ke sana ke mari. Pintu lift kembali terbuka, Anjas, Dika dan Dalia masih enggan pergi sebelum berhasil membukakan pintu kamar untuk Juanda dan Alma. “Ini bukan lantai kamar gua.” Juanda hendak menekan tombol lantai di bawah, buru-buru dicegah dan Anjas menariknya keluar. “Ke kamar pengantin. Kita udah pada tanya sama om Danu … Dik, lu pegang Juan, kita seret ke kamar.” Dika segera memegang tangan kiri Juanda dan sebelah kanan di pegang oleh Anjas. Kedua menyeret Juanda sampai ke kamar pengantin, sedangkan Alma hanya jalan dengan santai bersama dengan Dalia yang terkekeh geli. “Mereka lucu kan?” Alma mengangguk kepala. “Kenapa kamu hemat banget ngomongnya? Aku gak kejam kok.” Dalia merasa jenuh bersama dengan Alma yang sedari tadi hanya mengangguk kepala saja. “Maaf, saya belum terbiasa.” “It’s Ok. Lain kali, bersikap santai saja. Meskipun aku ini kacungnya Juan, tapi di luar kantor, kita ini sahabatan.” Alma kembali mengangguk kepala. Kini dia masuk ke dalam kamar. Kaget melihat nuansa kamar romantis yang telah dihias oleh petugas hotel. Ada lilin-lilin yang tersusun membentuk jalan, di tengahnya ada kelopak bunga mawar yang membawanya ke kasur. Di atas kasur juga ada kelopak bunga yang berbentuk love, ada dua ekor burung dari handuk yang dililit. “Sampai di sini saja kita antar. Selamat melepas perjaka.” Anjas menepuk pundak Juanda lalu melangkah pergi. Pintu tertutup rapat, Juanda membuka jas seraya berkata, “Balik saja ke kamar lu.” “Mama tadi bilang kalau kamar yang saya pakai sudah ditempati orang lain.” Juanda menghela napas berat. Semuanya memang sudah diatur oleh orangtuanya. “Lu tidur di …” Juanda mencari sofa biasa, tak ada. Hanya sofa tantra. “Ini apa-apaan?” Dia mengambil ponselnya untuk menghubungi orangtuanya malah tak ada yang angkat. Lalu teringat dengan ucapan Dika hadiah di kamar. Juanda membuka pesan masuk dari Dika, ternyata tutorial menggunakan sofa tantra untuk pengantin baru. “CK!” “Kenapa?” tanya Alma penasaran. “Lu bisa tidur di lantai?” “Kita sudah sah, kenapa tidak tidur seranjang?” Alma kali ini benar-benar menekan rasa malu demi sebuah misi. “Seranjang?” pekik Juanda terperanjat. “Iya. Memangnya Mas mau di sofa itu?” tanya Alma menunjuk sofa tantra. Juanda mengacak rambutnya. “Gua ke kamar mandi.” Dia ke kamar mandi, tiba-tiba keluar lagi. “Jangan macam-macam!” Alma mengerut alis bingung. “Dia kenapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN