Teman Debat

1323 Kata
“Ngapain ke sini?” tanya Juanda melihat istrinya mendekat ke kasur. “Tidur.” “Cari tempat lain! Jangan di sini! Gak sudi sekasur sama lu,” ketus Juanda mencoba menguasai kasur dengan tidur di tengah. “Kita suami istri. Gak baik tidur pisah,” jawab Alma santai. Tak peduli Juanda mengepakkan kedua tangan juga kakinya untuk menguasai kasur. Dia tetap berbaring di atas tangan Juanda. “Lu ngapain sih?” Juanda kesal juga kaget. Di matanya Alma sangat bermuka tebal. Direndahkan tak membuatnya hina. Malah sekarang semakin berani memeluk pinggang Juanda. “Ini apa lagi?” Juanda menyingkirkan tangan Alma lalu menatap tajam binar mata yang tak pernah menunjukkan kesedihan ataupun kemarahan. “Jika, Mas, gak mau saya peluk, geser sedikit, biar saya bisa berbaring dengan nyaman.” Juanda gemas menyentil jidat Alma, lalu menarik dirinya ke samping—menyisakan tempat untuk Alma berbaring dengan nyaman. “Gimana rasanya dipeluk?” Alma memiringkan tubuhnya, menatap Juanda dengan tatapan menggoda. “Jijik.” Lekas Juanda memunggunginya. Alma hanya tersenyum. Untuk menghadapi suami sepertimu kadang saya harus menebalkan telinga dan menghapus semua rasa malu. Semoga saya bisa bertahan sampai akhirnya semua berjalan sesuai dengan apa yang saya harapkan selama ini. Alma memejamkan mata. Tak berapa lama kemudian, Juanda menoleh—mengamati Alma yang sudah tertidur. Dia pun membalikkan tubuhnya, kemudian melambaikan tangan di wajah sang istrinya. “Kenapa?” Juanda terkejut, membuang wajahnya—menatap langit-langit kamar. “Gak pengap tidur pakai cadar?” Alma membuka matanya. “Mau buka semuanya?” “Ngapain lu selalu tanya gua? Itu hak lu.” “Karena Mas suami saya.” “Suami di atas kertas. Ingat itu,” Juanda mendelik tajam. “Yang penting sah.” “Ck!” Juanda kembali memunggungi Alma. Keduanya saling memejamkan mata meskipun tak bisa tidur. Iya, Alma sedikit gugup karena untuk pertama kali harus berbagi kasur dengan laki-laki. Meskipun tindakan dia menantang, tapi sebenarnya dia benar-benar menahan kegugupan sejak tadi. Berbeda dengan Juanda. Dia malah kesal sendiri karena tak bisa menjadi leader dari permainan yang dibuat sendiri. Sebelum memutuskan untuk menyetujui permintaan ayahnya untuk menikahi Alma, dia sudah membayangkan akan membawa pernikahan ini ke arah kepalsuan. Tapi kenapa sekarang dia malah dikendalikan oleh Alma yang menuntut serius? Pada akhirnya waktu yang menentukan mereka harus benar-benar terlelap. Hingga menjelang subuh, suara azan dari ponsel Alma membuat telinga Juanda berdenyut. Segera dia menonaktifkan ponsel Alma lalu kembali terlelap. Lantas Alma sama sekali tak sadar dengan tindakan suaminya. Dia masih terlelap. Karena terlalu lelah dan tidur kemalaman jadinya subuh melayang begitu saja. Padahal dia sudah mengatur alarm agar tak melewatkan subuh, tapi apalah daya. Tindakan Juanda begitu cepat. “Ehm.” Alma melenguh. Matanya mengerjap. Perlahan terbuka seraya meraba-raba ponselnya. “Astagfirullah.” Dia terperanjat ketika melihat jarum pendek ada di angka 7 dan jarum panjang berada di angka 2. Panik, buru-buru turun dari ranjang—lari ke kamar mandi. Waktu subuh sudah keteter selama dua jam. “Ya Allah, saya lupa sudah bersuami.” Alma tersadar ketika keluar dari kamar mandi. Dia melihat suaminya tengkurap di kasur. Segera mendekat dan membangunkannya. “Mas, bangun!” Sekali dua kali dibangunkan tapi tak bergeming. Alma kembali ke kamar mandi untuk menampung air dalam gelas kosong. Lalu dia percikan pada wajah Juanda. “Apa sih, Ma?” Sering dibangunkan ibunya saat shalat subuh, dia mengira Alma itu adalah ibunya. “Mas, bangun!” Juanda tak menghiraukannya. Kedua matanya masih tertutup rapat. Alma pun kembali memercikkan air dan spontan Juanda menarik tangan Alma hingga air yang ada di tangannya tumpah ke wajah sang empunya. “Ck! ALMARHUM!” pekik Juanda kesal karena wajahnya tersiram air sampai bantal juga ikut basah. “Maaf, Mas, saya gak sengaja.” “Lu sebenarnya maunya apa sih?” tanya Juanda mengusap gusar wajahnya. “Itu … anu …” Alma sampai bergetar karena Juanda berteriak padanya. “Anu, anu, anu, anu, apa lu udah gatal mau gua sentuh?” Alma terperanjat saat Juanda menariknya ke atas ranjang. Begitu cepat membalikkan posisi sehingga Alma berada di bawahnya. “Lu mau gini kan?” Jantung Alma berdetak kencang. Jelas bukan ini yang dia maksud. Namun karena terlalu kaget sampai-sampai dia tak bisa mengucapkan tujuannya. Alma memejamkan matanya, kemudian membuka kembali dan menatap Juanda. “Shalat yuk!” “CK!” Juanda berguling ke samping, melempar bantal yang basah ke wajah Alma lalu tidur lagi. “Gua ngantuk. Jangan ganggu gua!” Alma hanya bisa berdengkus kasar. Dia harus wudhu kembali untuk melaksanakan shalat subuh. Sabar. Ini ujian. Begitulah Alma dalam menguatkan hatinya untuk terus bersabar. Usai shalat, Alma balik lagi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Dilihat Juanda masih tak beranjak dari kasur, dia pun tak berani untuk mengganggunya lagi. Karena percuma saja. Tukang tidur, sulit untuk diajak kompromi. Alma menghabiskan waktu dengan membaca Qur’an di ponselnya seraya menunggu suaminya bangun. Tapi makin ditunggu malah membuat perutnya keroncongan. Tak ada pilihan lain, Alma menulis pada secarik kertas bahwa dia akan turun ke bawah untuk sarapan. “Aa mana, Teh?” Laras masuk ke dalam lift. Di sana hanya ada kakak iparnya seorang. “Masih tidur di kamar.” “Kalian gak—” Laras menggantung ucapannya saat memindai Alma dari atas sampai bawah. Detik kemudian Laras malah mesem-mesem. “Teh, malam pertamanya gimana?” “Eh!” Alma malah kaget karena Laras mulai menjurus. “Gimana?” “Kenapa jadi tanya aku lagi sih? Aku kan tanya Teteh. Gimana malam pertamanya? Apa aja yang kalian lakukan?” cerocos Laras malah menjabarkan. Seketika Alma paham arah ucapan Laras dan dia hanya tersenyum. “Hanya mengobrol untuk mengenal karakter satu sama lain.” “Jadi kalian gak ehem-ehem?” tanya Laras penasaran. Justru membuat Alma terkekeh. “Lah malah ketawa.” “Gimana ya cara ngomongnya? Pokoknya suatu saat nanti insya Allah, kamu akan merasakannya.” Pintu lift terbuka, mereka jalan beriringan menuju restoran hotel. “Ma, Pa.” Laras menyapa kedua orangtuanya yang sedang sarapan pagi. “Juan mana?” tanya Ibu Dian pada mantunya. “Masih tidur di kamar.” “Kebiasaan.” “Kalian makan dulu! Biar Papa yang temui Juan.” Laras segera menarik tangan kakak iparnya menuju buffet. Memilih makanan yang tersedia di sana. Sementara itu, Pak Danu benaran pergi menemui sang anak di kamar pengantin. Pintu yang tak terkunci begitu mudah dibuka. Matanya menyapu sekitar kamar yang masih tertutup tirai. Segera dia buka dengan remote yang terletak di atas nakas. Juanda masih belum bangun meskipun kamar sudah terang. Tak sampai di situ, Pak Danu mengambil dua gelas kosong untuk mengisi air kran kemudian menyiram wajahnya anaknya. “f**k! Almarhum!” teriak Juanda. Dia pikir Alma kembali menyiraminya dengan air. Segera dia membuka mata, menatap tajam dan ternyata zonk. “Papa.” “Bangun!” titah Pak Danu. “Papa, ngapain sih ke sini?” “Papa tau selama tidak terjadi apa-apa antara kamu dan Alma. Jadi tidak perlu berlagak menjadi laki-laki paling lelah. Cepat bangun!” Juanda mengusap gusar wajahnya. Pagi-pagi sudah diceramahi oleh orangnya. Fix, kali ini dia harus pindah ke apartemen, bila perlu beli rumah agar tak ada yang mengganggu. “Papa, jangan sok tau!’’ “Papa ini senior. Cepat bangun!” Juanda terpaksa bangun. Dia mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang dianggap pengganggu tapi tak ada. “Istrimu lagi sarapan di bawah.” Juanda tak membalas. Dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Rencanya dia akan tidur sampai siang mumpung cuti, tapi papanya sangat menganggu sekali. Jika Alma mungkin bisa saja dia mengabaikannya, tapi ini Danu Saputra, jika tidak mengikuti perintahnya maka akan selalu diteror. Tak lama kemudian dia keluar dan melihat papanya masih duduk di kasur. “Papa, kenapa masih di sini?” “Tunggu kamu.” “Ya ampun, Pa. Aku bukan lagi anak kecil.” “Badanmu yang besar, otakmu masih anak kecil.” Lagi dan lagi Juanda kehilangan kata-kata jika berdebat dengan ayahnya yang selalu benar. “Papa ingin dalam satu tahun istrimu harus hamil.” “What?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN