Savira membasuh wajahnya dengan air, lantas dia menatap wajahnya dari pantulan cermin. Terlihat jelas ketegangan dari wajahnya yang basah itu. Bagaimana tidak tegang kalau malam ini dia akan tidur seranjang sama Arsen untuk pertama kali.
Memang sih mereka sudah pernah berhubungan, namun mereka tidak pernah benar-benar tidur di satu ranjang yang sama sampai pagi. Dan kini.., mereka akan melakukannya. Ini adalah pengalaman pertama kali Savira seranjang dengan pria.
Setelah mengeringkan wajahnya, Savira berjalan keluar dari toilet. Dia berdehem kecil melihat Arsen yang tengah duduk selonjoran di atas ranjang sambil menyenderkan punggungnya. Pria itu sibuk mengetik sesuatu di laptopnya.
Savira berjalan pelan menuju ranjang, dia lantas duduk dan meraih ponselnya. Posisinya saat ini memunggungi Arsen.
Manik Savira fokus ke layar ponsel, dia membalas satu per satu pesan yang masuk di dalam ponselnya dan meletakan ponselnya ke tempat semula. Waktu masih menunjukkan pukul 9 malam, biasanya Savira masih asik nonton drama di jam segini, atau menyelesaikan pekerjaan yang dia bawa dari kantor. Tapi karena tidak ada pekerjaan yang dibawa pulang, Savira jadi bisa langsung tidur. Mau nonton drama tapi takut Arsen merasa terganggu.
Savira merebahkan badannya dan berusaha untuk tidur, meski hanya pura-pura karena sejujurnya dia tidak bisa tidur kalau lampu masih menyala.
Terdengar suara bunyi laptop yang ditutup, lalu dapat Savira rasakan ranjangnya bergerak. Sepertinya Arsen beranjak turun.
Tek.
Lampu mendadak padam disusul dengan pergerakan Arsen yang kembali naik ke atas ranjang.
"Kamu sudah tidur?"
Seketika napas Savira berhenti begitu Arsen bertanya kepadanya.
"Kenapa, Mas?" Savira menoleh ke arah Arsen, tapi dia tidak dapat melihat wajah pria itu dengan jelas karena keadaan kamar benar-benar gelap.
Badan Savira membeku saat merasakan sentuhan tangan Arsen dibahunya. Perlahan meraba kancing piyama Savira dan membukanya. Savira tahan napas, jantungnya seakan hendak melompat dari tempatnya ketika tangan besar itu menggerayangi tubuhnya dengan sensual.
Savira mengulum bibirnya, menahan rintihan yang hendak lolos ketika tangan Arsen semakin aktif menjalar.
"Mas..,"
Deru napas Arsen terdengar berat. Sedetik kemudian hembusan napasnya semakin terasa menyapu curuk leher Savira hingga sesuatu yang kenyal dan basah menyapa kulit lehernya.
Savira melenguh, dia sampai tidak sadar kalau bajunya sudah lari entah kemana. Tangan Arsen begitu gesit dan cekatan.
Hanya sesaat Arsen melakukan pemanasan hingga akhirnya mereka mencapai puncak kenikmatan masing-masing. Arsen memang dominan, namun pria itu sangat pasif. Hanya suara Savira yang mengiringi permainan mereka hingga akhir. Ya, begitulah Arsen, tidak ada suaranya. Savira juga tidak tahu apakah pria itu benar-benar menikmati atau sekadar ingin menanam benih saja. Sebab setiap mereka 'bermain' keadaan kamar selalu gelap seperti ini.
* * *
Karena kehadiran Arsen di sini, Savira harus bangun lebih pagi untuk memasak sarapan yang lebih niat dari biasanya. Kalau biasanya dia hanya sarapan oatmeal ataupun roti bakar untuk mengganjal perut. Kali ini Savira harus repot-repot memasak nasi goreng dan telur dadar. Ya, walaupun statusnya hanya istri rahasia, tapi dia ingin berbakti Arsen selayaknya seorang istri ke suami.
"Pagi, Mas," Savira melempar sapaan ke Arsen yang baru saja keluar dari kamar.
"Hmm," balas Arsen berdehem, pandangannya pun sibuk ke ponsel di tangannya.
"Sarapan dulu, Mas. Aku udah masakin kamu nasi goreng," ujar Savira berusaha untuk membangun chemistry di antara mereka. Setidaknya keadaan saat ini bisa Savira manfaatkan untuk melakukan pendekatan dengan Arsen.
Arsen melirik arloji yang melingkar di pergelangannya. "Kayaknya saya harus segera berangkat. Hari ini ada meeting pagi di kantor."
Savira yang semula memasang wajah cerah perlahan menurunkan ekspresi. Jelas dia kecewa, sudah rela bangun lebih pagi untuk memasak sarapan. Tapi Arsen malah menolak untuk mencicipinya.
"Aku bekelin aja gimana, mas?" tawar Savira. Tidak harus sarapan bersama, Arsen ingin membawa masakannya ke kantor pun sudah buat dia senang. Setidaknya suaminya itu menghargai masakannya.
"Saya bisa suruh sekretaris saya untuk beli makan siang."
Pupus sudah harapan Savira. Dia melepas spatula di tangannya dan berjalan mendekati Arsen.
Satu alis Arsen terangkat begitu Savira mengulurkan tangannya lalu mencium telapak tangannya begitu saja.
"Hati-hati di jalan ya, Mas." Sesaat Arsen tercengang melihat Savira yang jadi perhatian. Kenapa dia bertingkah seolah mereka sungguhan sepasang suami-istri. Hmm.., memang mereka pasangan sah, tapi Savira tidak lupakan kalau pernikahan mereka terprogram dan tidak murni karena cinta. Jadi, seharusnya Savira tidak perlu repot-repot memberi banyak perhatian untuknya.
Savira mengantar suaminya itu sampai pintu utama. Setelah Arsen hilang di telan pintu, Savira kembali berjalan ke dapur. Dia menatap nasi gorengnya yang sudah jadi, ternyata porsinya lumayan banyak. Dan tidak mungkin Savira menghabiskan semuanya.
Kahfi!
Tiba-tiba Savira teringat dengan teman kantor sekaligus tetangga sebelahnya. Savira mengambil piring, lalu dia menuangkan seporsi nasi goreng berserta telur dadar ke atasnya.
Ting nong~
Savira berdiri di depan pintu unit apartement Kahfi, ditangannya terdapat nasi goreng yang hendak dia berikan kepada pria itu.
"Eh, ada apa, Ra?" tanya Kahfi begitu memunculkan dirinya dari balik pintu.
Savira nyengir. Dia lantas menyodorkan nasi goreng yang dibawanya, 'Nih buat sarapan."
Sontak saja sepasang mata Khafi langsung membinar, tanpa protes dia menerima piring dari Savira.
"Tumben bawain sarapan. Sering-sering dong biar gue enggak beli sarapan di luar mulu," celetuk Kahfi malah tidak tahu diri.
Savira terkekeh kecil. "Gue masaknya kebanyakan, habisin ya."
"Iya, siap. Thanks ya, Ra."
Savira mengangguk dan berjalan menuju unit apartementnya. Sekarang hatinya tidak begitu sedih karena masakannya tidak mubazir, ada perut Kahfi yang siap menampung nasi gorengnya yang kelebihan porsi.
"Pagi...," Savira menyapa begitu kakinya memasuki area lantai kantor tempatnya bekerja. Ternyata dia datang terakhir hari ini, rekannya sudah nampak sibuk di mejanya masing-masing.
"Pagi, Bu Vira." balas Kahfi mengejek.
Savira mendudukan diri dan menyalakan komputernya.
"Nanti malam karaokean yuk?" Tiba-tiba Kahfi menyeletuk. Seperti biasa, selagi atasan mereka tidak ada dikantor, dapat dipastikan suara Kahfi akan selalu menyeletuk sampai jam kerja selesai nanti.
"Kenapa lo?" tanya Khanza seolah sudah paham betul kalau Kahfi mengajak karaoke, berarti sedang ada yang tidak beres dengan cowok itu.
"Habis putus cinta mereun." Kale menyela.
"Enggak. Pacar aja enggak punya gimana mau putus cinta," jawab Kahfi meluruskan. Pandangan pemuda itu mengarah ke Savira yang fokus menatap komputernya. "Ra, nanti malam bisa enggak keluar?" imbuhnya membuat Savira spontan menoleh.
"Oh jadi yang diajak Savira doang nih," goda Arini jahil.
"Enggak gitu," Kahfi meluruskan. "Kalian mah udah pasti gas, kalau Savira kan belum pernah karaokean sama kita," lanjutnya.
"Paham, paham," Khanza manggut-manggut namun ekspresinya seakan mengejek Kahfi.
Savira terdiam, menimang ajakan Kahfi. Seharusnya dia bisa-bisa saja sih, sudah beberapa kali Savira jalan bareng mereka dan seru-seru saja suasananya. Mungkin karena umur mereka yang tidak terpaut jauh, jadi pembawaannya selalu santai. Hanya saja, Savira tidak lupa kalau Arsen sedang tinggal bersamanya, kalau dia telat pulang, nanti siapa yang masak makan malam untuk suaminya itu?
"Hmm, kayaknya aku enggak bisa ikut deh," jawab Savira dengan raut wajah tak enak hati.
"Takut ketauan sama pacar ya, Ra?" tanya Khanza. Omong-omong, bukan hanya Kahfi saja yang tahu kalau dia sudah memiliki pacar, namun yang lain juga sudah tahu dan itu semua karena mulut Kahfi yang tentunya tidak bisa menjaga rahasia.
Savira melukis senyum, dia tidak menjawab dengan kalimat karena kalau Savira jawab sudah pasti Kahfi akan menimpali dan semakin mengejeknya.
* * *
Savira: Mas pulang jam berapa?
Sudah satu jam Savira mengirim pesan tersebut, dan sudah satu jam juga dia duduk menunggu di meja makan yang sudah dipenuhi oleh jejeran lauk matang hasil masakannya.
Savira menghela napas panjang. Gadis sudah putus asa. Mungkin Arsen memang sedang sibuk di kantor. Jadi, Savira meraih sendok dan mulai menuangkan nasi ke dalam piringnya.
Baru Savira mengunyah suapan pertamanya, namun suara pintu apartementnya yang terbuka membuat dia menoleh dan mendapati Arsen yang melangkah masuk dengan wajah lelahnya.
Savira bangkit, dia berjalan menghampiri Arsen dan menyapa ramah. “Sudah pulang mas,”
Arsen berdehem kecil, pandangannya sibuk ke layar ponsel. Dia berjalan menuju kamar tanpa menatap Savira barang sedetik pun.
“Mas sudah makan malam?” tanya Savira seraya mengekori Arsen sampai ke dalam kamar.
“Belum.”
“Aku sudah masak makan malam, mas,” kata Savira dengan semangat. Kali ini dia optimis Arsen bakal makan bareng bersamanya sebab suaminya itu belum sempat makan malam di luar.
“Hmm,” dehem Arsen dengan pandangan setia di layar ponselnya. Kali ini pria itu nampak sibuk mengetik sesuatu di layar benda canggih miliknya.
“Mas mau mandi?” Savira berjalan menuju lemari pakaian Arsen dan membukanya, hendak menyiapkan piyama yang akan suaminya kenakan nanti.
“Biar saya saja yang ambil sendiri nanti.”
“Gakpapa, aku—“
“Enggak perlu.” potong Arsen sambil menutup lemarinya membuat Savira tersentak ditempat. “Jangan sentuh barang-barang saya sembarangan.” tekan Arsen menatap Savira tajam.
Savira menelan ludahnya dengan susah payah. Dia menunduk menghindari manik Arsen yang menghunusnya galak.
“Bisa tinggalin saya sendiri? Saya mau telepon istri saya.” ujar Arsen dengan nada dinginnya.
Tanpa banyak protes Savira segera mengindahkan permintaan suaminya. Dia kembali ke meja makan dan menunggu Arsen keluar dari kamar. Makanan yang tadi sudah sempat Savira makan, dia tunda sebentar. Savira tidak mungkin membiarkan Arsen makan sendirian, kan?
* * *
“Kamu nunggu saya?” Arsen datang dan bertanya bingung ke Savira yang duduk diam di kursi meja makan.
Savira mengangguk, menatap Arsen yang berpenampilan jauh lebih fresh dari sebelumnya. Pria itu juga mengganti pakaiannya dengan pakaian santai, rambutnya yang basah menjadi tanda kalau dia baru saja selesai mandi.
Arsen menarik kursi dan duduk di sebrang istrinya. Saat Savira hendak mengambilkan makanan untuk piringnya, tangan Arsen segera menahan gerak tangan gadis itu.
“Biar saya aja yang ambil sendiri.”
“Oh, oke, mas.” Savira hanya diam menatapi Arsen yang sedang memandang lauk makanannya dengan tatapan bingung. “Ada yang mas enggak suka?” tanya Savira.
“Kamu beli makanan sebanyak ini?”
Satu alis Savira terangkat. “Beli? Aku masak sendiri, mas.”
Walau samar, tapi Savira tahu kalau Arsen nampak kaget saat mendengar jawabannya. “Masak sendiri? Sebanyak ini?”
Savira mengangguk dengan senyum tertahan. “Tapi biasanya enggak sebanyak ini sih, aku masak cuma buat diri aku sendiri. Karena sekarang ada mas Arsen dan aku enggak tahu mas Arsen suka makanan seperti apa, jadi aku masak banyak.”
Arsen manggut-manggut, dia memilih untuk mencicipi tumis kangkung yang nampak menggugah seleranya. Dia hanya pernah beberapa kali makan tumis kangkung di restoran karena May jarang masak makanan lokal.
“Gimana, mas?” tanya Savira menunggu reaksi Arsen setelah memakan masakannya.
Enak. Rasanya jauh lebih enak dibanding tumis kangkung yang dia makan di restoran. Hanya saja Arsen malas untuk memberi apresiasi ke istrinya. Jadi ya dia mengangguk saja sambil bilang,
“Not bad.”
Savira senyum spontan. Setidaknya Arsen tidak mengatakan kalau masakannya enggak enak.
Arsen mencoba menu lain, ayam balado. “Sebenarnya saya kurang suka makanan pedas,” ujar Arsen sebelum mencicipi paha ayam itu. Ya, sekadar info saja untuk Savira agar istrinya itu tidak terlalu sering memasak makanan pedas nantinya.
“Sorry mas, aku enggak tau. Kalau gitu makan yang lain aja—“ kalimat Savira terputus karena Arsen sudah terlanjur memakan paha ayam itu ke dalam mulutnya.
Arsen mengunyah dengan serius dan dia mulai menyesali apa yang dia katakan pada Arsen tadi. Nyatanya, pedes buatan Savira tidak membuat lidahnya kapok. Arsen malah suka dan ingin memakannya lagi.
Savira memandang Arsen yang makan dengan lahap. Suaminya itu bahkan sampai nambah nasi dan terus mencicipi menu lain yang dia buat. Melihat Arsen yang makan dengan lahap, rasanya Savira tidak menyesal sudah menghabiskan banyak waktu dan tenaganya untuk masak banyak.
“Tadi aku chat mas tapi enggak di bales,” celetuk Savira tiba-tiba.
Sesaat Arsen menatapnya sebelum kembali fokus pada makanannya lagi. “Oh iya? Saya enggak lihat pesan kamu.”
“Mas kalau pulang kantor jam berapa?”
“Jam empat, tapi kadang telat.”
“Kirain kalau CEO bisa pulang lebih cepat, soalnya atasan aku selalu pulang duluan dari pada anak buahnya.”
Mendengar curhatan Savira, Arsen terkekeh kecil. “Mungkin kerjaan bos kamu memang sudah selesai.” balas Arsen. “Kamu kerja dimana?”
Savira nyengir lebar. Untuk pertama kalinya akhirnya Arsen melempar pertanyaan untuknya. Oh, tentu saja dia dengan semangat menjawab, bahkan sangat detail hingga menjelaskan bidang perusahaan tempatnya bekerja.
“Oh,” sayangnya, respon Arsen hanya seperti itu. “Sampai sekarang masih betah?”
Wajah Savira merengut. Kok Arsen nanya begitu?
“Masih, mas.”
“Saya dengar dari May, kalau satu bulan dari sekarang kamu belum pregnant, berarti kamu harus resign, kan?”