11. Pregnant?

1355 Kata
Sudah dua hari aku lembur di kantor. Benar kata Khanza saat itu, kalau tidak ada kerjaan bisa bergosip ria, tapi sekalinya ada proyek enggak bisa pulang. Saat ini di kantor hanya ada aku dan Arini saja, tiga pegawai lainnya sedang ada meeting di luar. "Ra, makan siang dulu," kata Arini sambil melepas pandangan dari layar komputernya, cewek itu merenggangkan otot-otot punggungnya hingga terdengar bunyi kretek. Aku terkekeh kecil melihat ekspresi Arini yang lega. Aku melirik jam dipergelangan, ternyata benar sudah memasuki jam makan siang. Saking fokusnya bekerja, aku tidak sadar waktu berlalu begitu cepat. "Iya, duluan aja, Rin. Aku lagi nanggung," jawabku lalu kembali fokus pada layar komputer. Arini bangkit dari kursinya, "Kamu mau nitip makan siang enggak?" tanya Arini sebelum hilang ditelan anak tangga. Kepalaku mendongak, lalu menggeleng, "Aku bawa bekel." Meski tidak selalu, tapi aku cukup sering membawa bekal makan siang dari rumah. Arini mengangguk paham, lalu menghilang dari pandanganku. DRT... Belum satu menit aku fokus, tapi getar pada ponselnya memecahkan konsentrasi. Aku meraih benda canggih itu dan melihat nama sih pemanggil, ternyata dari Kale. Segera aku menggeser ikon hijau dan menempelkan ponselku ke daun telinga. "Halo, Kal?" "Halo, Ra, lo dimana?" "Kantorlah," jawabku sambil membenarkan letak kacamataku. "Bisa cek email? Tolong revisi ya, kalau udah selesai kirim lagi ke gue." Aku mengangguk meski Kale tak dapat melihatnya. "Oke," jawabku kemudian memutuskan sambungan. Sesuai perintah Kale, aku membuka email darinya dan mulai melakukan revisi secepat yang aku bisa. Setelah selesai, aku kembali menghubungi pemuda itu. "Kal, udah aku kirim ya," kataku begitu panggilanku terhubung. "Cepet banget, thanks, ya," balasnya. "Lo enggak makan siang?" "Iya, nanti. Lagi nanggung, takut nanti Pak Bos dateng minta laporannya," "Tinggal dulu aja, Pak Bos enggak bakal ngantor hari ini, dia lagi ke Makassar," Sepasang alisku terangkat, sedikit lega mendengar informasi dari Kale. Karena jujur saja aku cemas kalau Pak Seno datang menagih laporan yang belum selesai aku buat. Soalnya sejak kemarin Pak Seno sudah menagih. "Enggak bohong, kan?" Terdengar Kale tertawa renyah. "Ngapain gue bohong, udah sana makan." Aku berdecih. "Ya sudah aku mau makan dulu," balasku kemudian memutuskan sambungan. Meski sedikit meragukan Kale, tapi pada akhirnya aku mengeluarkan bekal makan siangku dan memakannya. Karena saat ini aku hanya sendirian di kantor, jadi aku bisa makan dengan santai. Arini juga belum balik sedari tadi, sepertinya dia makan siang di luar. Saat sedang asik-asiknya ngunyah, tiba-tiba sesuatu dalam perut bergejolak naik ke atas, dengan cepat aku lari ke dalam toilet dan mengeluarkan isi perutku lagi ke wastafel. Aku membersihkan sisi mulutku dengan air, lalu memandang diriku dari pantulan cermin. Keningku mengernyit, wajahku nampak pucat, lengkap dengan perutku yang mendadak merasa mual. Aku kembali ke meja kerjaku dan menutup bekal yang masih tersisa banyak. Nafsu makanku mendadak hilang, perutku bahkan terasa tak enak. “Ra, kamu sakit?” Arini muncul dan langsung menanyakan keadaanku. Dia berjalan mendekat sambil memegang keningku. “Muka kamu pucet banget,” Aku mendesah, “Enggak tau, Rin, tiba-tiba perut aku juga mual. Padahal tadi gakpapa.” Pandangan Arini beralih ke kotak bekal yang baru saja aku tutup. “Kamu salah makan kali? Ini makan siangnya beli atau bikin sendiri.” tanyanya penasaran. “Bikin sen—“ belum sempat kalimatku selesai, tapi sesuatu dalam perutku kembali melonjak naik, membuatku segera berlari ke dalam toilet dan kembali memuntahkan isi perutku lagi. * * * Karena keadaanku belum membaik, Kahfi menawarkan diri untuk menyetir mobilku. Kebetulan dia juga sedang tidak bawa mobil hari ini. Aku juga tidak bisa menolak karena pening di kepalaku semakin parah. Ditengah perjalanan aku meminta ke Kahfi untuk mampir sebentar ke apotek dan beralasan ingin beli obat. Aku meminta Kahfi untuk menunggu di mobil selagi aku masuk ke dalam apotek untuk memberi testpack. Iya, aku membeli testpack mengingat bulan ini aku sudah satu minggu telat datang bulan. Ditambah dengan kejadian hari ini, setitik harapan jadi muncul di dalam benakku. Bisa jadi aku mual-mual karena hamil, kan? Setelah urusanku selesai, kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya mobilku sampai di basement gedung apartement. “Lo kebanyakan bergadang kali ya, Ra?” Sambil berjalan menuju lift Kahfi mengajakku untuk ngobrol. Baru saja aku hendak menjawab, tapi wajahku langsung membeku saat berpapasan dengan Arsen dari arah berlawanan. Arsen yang baru saja menatapku juga nampak kaget, tapi dia segera melanjutkan langkah tanpa mengatakan apa-apa, dia bertingkah seolah tidak mengenalku. Atau mungkin sengaja karena saat ini ada Kahfi di sebelahku? “Kita kan satu team, Ra. Kalau lo sekiranya enggak sanggup ya minta tolong aja, gue sama Kale juga sering sharing tugas,” imbuh Kahfi selagi kami menunggu lift terbuka. Dan ya, ada Arsen juga di sini. Dia juga menunggu pintu lift terbuka. “Hm, iya, Kaf.” jawabku seadanya. Ting! Pintu lift terbuka, aku melangkah masuk lalu disusul Kahfi dan Arsen yang berdiri di sebelah kanan dan kiriku. “Ra, laporan proyek pembangunan rumah pejabat yang di Karawang sudah rampung belum?” tanya Kahfi membuka suara di tengah kesunyian. Aku menoleh ke arahnya, “Belum, Kaf. Tapi tadi filenya udah aku kirim ke Kale, katanya dia mau selesaiin malam ini,” jawabku. Kahfi mengangguk-angguk lalu pintu lift terbuka, kami sudah sampai di lantai tujuan. Jantungku berdebar sambil melirik Arsen yang melangkah keluar mendahuluiku. Jangan bilang kalau Arsen akan tetap masuk ke apartement? Kalau Kahfi lihat bagaimana? “Eh, Kaf!” Aku menahan lengan Kahfi, membuat Kahfi menahan langkahnya yang hendak keluar. Aku mengubek-ubek isi tasku seolah mencari sesuatu. “Nyari apa, Ra?” tanya Kahfi. Aku tak langsung menjawab, sengaja ingin mengulur-ulur waktu agar Kahfi tidak lihat saat Arsen masuk ke dalam apartementku. “Nyari apa sih, Ra?” tanya Kahfi sekali lagi. “Kunci mobilku mana, ya?” “Oh, ini!” Kahfi langsung menyodorkan kunci mobilku yang sedari tadi dia pegang. Aku tersenyum. “Makasih, ya,” ujarku lalu melangkah dengan pelan menuju unit apartement kami. Aku menghela napas lega saat berbelok dan mendapati lorong apartement kami yang sepi. Entah Arsen sudah masuk ke dalam atau bersembuyi di suatu tempat. “Duluan ya, Ra,” ucap Kahfi sebelum masuk ke unit apartementnya. Aku melanjutkan langkah dan menempelkan card key. Begitu pintu ku buka, aku tertegun kecil mendapati Arsen yang berdiri di depan pintu sambil menatapku tajam, kedua tangannya yang melipat di depan d**a menambah kesan galak pria itu. “Mas Arsen?” Aku melangkah masuk dan menutup pintu. “Saya sudah pernah bilang ke kamu jangan sampai orang yang kenal kamu tau kalau kamu tinggal di sini!” ujar Arsen dengan dingin. “Yang tadi itu Kahfi—“ “Saya enggak peduli mau dia siapa.” “Dia rekan kerjaku, kebetulan tinggal di unit sebelah.” “Kebetulan?” Aku mengangguk dengan ekspresi penuh yakin. “Iya. Sumpah ini cuma kebetulan!” Arsen menghembuskan napas panjang. “Kamu harus pindah dari sini,” katanya. “Kenapa?” “Kamu itu istri rahasiaku, Ra. Tadi juga dia sudah ngeliat aku!” Ya, sudah pasti Arsen takut kalau sampai ada orang lain tahu bahwa dia beristri dua. Tapi, aku sudah terlanjur nyaman tinggal di sini. Aku menghela napas panjang. Ya sudah, mau bagaimana lagi. “Siapkan aku makan malam,” perintah Arsen. “Mas,” panggil ku menahan langkahnya yang hendak menjauh. “Kenapa?” “Kayaknya aku enggak bisa masak dulu. Mas bisa pesan aja enggak?” Kening Arsen mengernyit. “Kenapa?” tanyanya sekali lagi. Aku menggigit bibir bawahku. Mau mengatakan yang sebenarnya ke Arsen tapi aku ragu. Aku takut membuat Arsen berharap tapi ternyata setelah di cek, hasilnya negatif. Pasti Arsen akan kecewa, kan? “Hm.., aku lagi enggak enak badan.” “Kalau gitu aku makan di AirPort aja nanti,” katanya lalu melanjutkan langkah masuk ke dalam kamar. Aku mendongak dan segera mengejar langkah Arsen. “Kamu mau kemana, mas?” tanyaku penasaran. “Aku mau nyusul May,” “Sampai kapan?” “Cuma dua hari.” Aku terdiam. “Mau aku antar ke AirPort?” Arsen menoleh ke arahku, “Katanya kamu lagi enggak enak badan?” “Sebenarnya tadi aku mual-mual, terus.. aku beli testpack.” “Testpack?” Aku mengangguk dengan wajah menunduk. “Iya. Aku enggak yakin banget, cuma memang bulan ini aku udah telat satu minggu...”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN