4. Malam Pertama?

921 Kata
"Enggak sia-sia ya lo hidup hemat bin sekarat, hasilnya udah bisa beli mobil sekarang," celetuk Janari. Dia satu-satunya teman yang aku punya. Lebih tepatnya, kami berteman karena bekerja di kantor yang sama. Tapi sekarang hanya Janari yang bekerja, sementara aku jobless sejak beberapa minggu lalu. "Masih nyicil, Jan." Aku balas dengan sebuah dusta. Lagian enggak mungkin aku jujur kalau mobil ini pemberian dari suamiku. Janari pasti akan kaget setengah mati. Mendengar aku curhat tentang pria saja tidak pernah, masa iya tiba-tiba aku sudah menikah. Pasti Janari menuduhku sedang halu. "Ada cicilan mobil tapi berani-beraninya lo resign! Sekarang lo jadi pengangguran, gimana caranya bayar cicilan nih mobil?" ketus Janari, meski dia agak julit, tapi aku yakin dia berkata seperti itu karena khawatir. Aku terkekeh kecil, "Ini kan gue lagi nyari kerjaan, Jan," Yapz, sudah beberapa hari ini aku melakukan interview di beberapa perusahaan yang aku lamar, namun sampai detik ini belum ada panggilan kerja. Hufttt.., cari kerjaan memang sesulit itu, seandainya saja Arsen tidak menyuruhku untuk berhenti bekerja, mungkin aku tidak jadi pengangguran sekarang. Ya, walaupun aku tidak kesulitan uang, tapi tetap saja aku bosan tidak memiliki kegiatan. "Jan, gue nginep di kosan lo, ya." ucapku, bosan sendirian di apartement, toh, Arsen juga tidak pernah datang. "Oh, boleh," jawab Janari yang sedang fokus dengan ponsel di tangannya. "Tapi ngopi dulu, ya." imbuh Janari yang langsung aku angguki. Sesampainya di kafe langganan kami, aku lantas memarkirkan mobil dan menyusul Janari yang sudah masuk ke dalam kafe lebih dulu. Begitu tungkaiku masuk ke dalam ruangan minimalis itu, sapaan ramah dari para barista menyapa telinga. Aku celingukan sebentar sebelum menghampiri Janari yang sudah duduk di salah satu meja tepat di samping dinding kaca yang menjadi pembatas dengan trotoar jalan. "Udah gue pesenin. Latte, kan?" Aku mengangguk dan mengeluarkan ponselku dari dalam saku celana. "Eh, masa Tio nanyain tentang lo mulu tau, Ra," Janari meletakan ponselnya ke atas meja, membuatku melakukan hal yang sama. "Nanyain gimana?" "Ya, nanya katanya lo sekarang kerja dimana, terus nanya lo masih stay di Jakarta atau enggak. Buseeet deh! keponya ngelebihin emak-emak. Giliran pas lo masih kerja aja hobinya ngomel-ngomel terus, sekarang lo kabur malah dicariin," ujar Janari sedikit menggebu. Memang kalau soal membicarakan orang lain, Janari paling jago. "Terus sekarang posisi gue udah ada yang gantiin?" aku bertanya dengan topik yang berbeda. Tidak mau menanggapi soal Tio, sebetulnya aku juga kurang suka dengan leader timku itu. Dia hobi ngomel dan suka mencari-cari kesalahanku. "Belum. Gue sampai pusing ngehandle kerjaan lo, Ra!" keluh Janari. Kami menghabiskan waktu beberapa jam untuk bertukar cerita sambil ditemani kopi dan pemandangan lalu lintas Jakarta yang lumayan padat sore ini. * * * Pukul delapan malam, aku mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi menebus jalanan Ibu kota menuju gedung apartemenku berada. Malam ini aku tidak jadi menginap di kosan Janari sebab beberapa menit lalu Arsen mengirim pesan padaku. Pria itu menyuruhku untuk pulang karena saat ini Arsen sedang di apartement. Membayangkan Arsen menungguku, darahku berdesir deras. Aku cemas, takut dan gugup. Ini kali kedua Arsen menyandangi apartementku. Kalau hari itu Arsen datang untuk mengantarkan makan malam, lalu apa tujuan pria itu kali ini? Aku mengatur napas, berusaha tenang sebelum melangkah dengan mantap keluar dari lift. Jantungku berdebar keras seiring dengan tungkaiku yang berjalan menuju pintu unit apartemenku berada. "Sudah pulang?" Suara dingin itu menyapa indra pendengaranku, membuatku membeku beberapa saat sebelum mendongak dan menemukan sosok pria itu yang sedang duduk di sofa memungguiku. Dengan ragu aku melangkah mendekati, "Maaf, tadi aku habis ketemu sama teman." Ku perhatikan Arsen yang tak menampilkan ekspresi apapun. Dia menoleh ke arahku dengan gerak lambat, satu alisnya terangkat usai membidik penampilanku dari atas sampai bawah. Jelas dia kebingungan karena saat ini aku hanya memakai piyama. "Habis ketemu teman?" Arsen terlihat meragukanku. Aku mengulum bibir, "Hm, ya, tadinya aku mau nginap." "Bukan teman cowok, kan?" Detik itu juga rahangku terjatuh mendengar tuduhannya, aku lantas menatapnya jengkel. Memangnya dia kira aku cewek apaan bermalam di kosan cowok segala. Lagian, sebelum kami sepakat untuk menikah, aku melakukan check-up dan menjalani beberapa tes kesehatan sesuai permintaannya, dan hasilnya, aku bersih dari segala penyakit menular. "Bukanlah! Enak aja nuduh sembarangan!" balasku sewot. Kalau aku tadi bertutur kata santun dan menghormatinya, kali ini aku tidak begitu. Bahkan aku tidak segan-segan memelototinya. Arsen kembali meluruskan pandangannya ke layar televisi. "Mandi, setelah itu ada yang ingin saya bicarakan ke kamu," "Aku udah mandi," jawabku. "Mandi lagi," perintahnya menekan. Diam-diam aku mencibik, setelah itu berjalan menuju toilet untuk membersihkan diri. Setelah selesai, aku keluar dan mencari keberadaan Arsen. "Mas Arsen," panggilku sambil berjalan mencari batang hidung suamiku. Ekhm.., suamiku. Tidak salah, kan? Arsen memang suamiku, kami nikah sah secara agama dan hukum. Hanya saja pernikahan kami bersifat rahasia. "Mas Arsen?" Aku berdiri di ambang pintu kamar, memperhatikan Arsen yang sedang merapikan ranjang tidurku. Keningku mengernyit melihat pemandangan itu. Ada apa gerangan dia sudi melakukan tugas itu? Jujur, aku kaget karena orang sekelas Arsen tidak malu untuk melakukan pekerjaan rumah semacam itu. "Mas Arsen ngapain?" Aku bertanya sambil berjalan mendekatinya. "Aku ganti sprai ranjang," "Kenapa enggak suruh aku aja?" "Selagi saya bisa melakukannya, kenapa harus nunggu kamu?" Aku menggaruk tengkuk bingung. Ya, memang enggak ada yang salah dengan apa yang pria itu lakukan, aku hanya tidak habis pikir saja. Arsen berjalan ke sofa yang terletak di samping jendela, lalu dia duduk di sana. "Duduk," katanya membuatku segera mengindahkan perintahnya itu. "Ada apa?" Aku menatapnya serius. Nampak Arsen membuang napas panjang, ekspresinya juga terlihat sedang berpikir keras. "Kita lakukan malam ini," Alisku bertaut bingung, tidak mengerti dengan ucapannya, "Melakukan apa?" "Malam pertama kita."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN