2. Hari Pertama

1002 Kata
"Mas Arsen ada perlu apa datang ke sini?" Kudapati Arsen mengerjapkan matanya beberapa saat. Mungkin dia terkejut karena aku muncul dengan penampilan yang berantakan. Rambut yang masih basah dan tubuh yang hanya terbalut handuk kimono saja. Habisnya aku buru-buru menyelesaikan kegiatan mandiku karena tidak ingin membiarkan Arsen menunggu lama. Arsen meneguk ludah, dia berbalik badan dan berjalan ke arah dapur. Lalu meletakan paper bag yang dia bawa ke atas meja pantry. "Keringkan rambut kamu dan cepat ganti baju. Saya siapkan makan malam," Sepasang alisku kontan terangkat, tanpa sadar aku berjalan mendekati Arsen, "Nggak perlu, Mas. Nanti aku aja yang siapin makan malamku. Mas Arsen pulang aja kalau nggak ada keperluan apa-apa." "Kamu mengusir saya?" tanya Arsen menatapku dingin. Ups. Sepertinya aku salah bicara. Aku mengantupkan bibir, tidak berani berbicara lagi saat Arsen menunjukkan wajah mengerasnya kepadaku. "Tunggu apa lagi, Savira? Cepat ganti baju, lantainya jadi basah gara-gara kamu," ujar Arsen jengah. Aku menunjukan cengiran kuda saat menyadari lantai yang basah karena tetesan air dari rambut dan badanku. Tanpa berkata apapun, aku segera berlari ke kamar. Astaga. Aku malu sekali. Bisa-bisanya aku menampakan kekacauanku di depan Arsen. Pasti dia menyesal sudah memilih aku sebagai ibu biologis dari anaknya nanti. Setelah piyama berlengan panjang melekat di tubuhku, aku lantas keluar dari kamar. Kulihat Arsen sudah bersiap di meja makan dengan hidangan yang sudah dia siapkan. Aku hampir tidak percaya kalau dia benar-benar menyiapkan makan malam untukku. "Duduk," perintahnya begitu menyadari kedatanganku. Aku menarik kursi dan mendudukan diri di sebrang Arsen. Sebelum sesi acara makan malam dimulai, Arsen lebih dulu menyodorkan sebuah map coklat kepadaku. "Ini salinan surat perjanjian pernikahan kita. Kamu simpan baik-baik. Dan ingat, jangan sampai ada orang lain yang tau. Sekali pun itu anak panti," ujarnya dengan gurat wajah dan nada suaranya yang serius. Aku menerima map coklat itu dan memeluknya dengan hati-hati. Entah kenapa peringatan dari Arsen membuatku takut. "Kalau pernikahan kita sampai ketahuan orang lain gimana, Mas?" "Jangan sampai ketahuan. Orang lain nggak bakal ada yang tahu kalau bukan diantara kita yang kasih tahu." Oh, jadi dia menuduhku kalau aku yang akan cepu, begitu? "Saya pulang sekarang. Kedatangan saya cuma mau nganter salinan surat itu dan titipan dari Mama. Mama bilang jangan lupa dihabiskan makan malamnya. Sisanya sudah saya simpan di kulkas, tinggal kamu hangatkan lagi kalau kamu lapar." Aku mengangguk mengerti. Lihatkan seberapa royalnya Bu Wirna memberi perhatiannya padaku? "Mas," panggilan menahan langkah Arsen yang hendak pergi. "Kenapa?" "Hm.., aku boleh lanjut kerja enggak, Mas?" Walaupun Arsen akan memberiku nafkah rutin setiap bulannya, tapi tetap saja aku akan mati bosan kalau setiap hari terkurung di apartement mewah ini. "Boleh. Tapi kamu harus jaga sikap, kalau bisa jangan terlalu dekat sama rekan kerja. Dan juga, jangan pernah bawa siapapun ke apartement ini, jangan ada yang tahu kalau kamu tinggal di sini. Paham?" Aku mengangguk cepat. Tentu aku paham. Arsen memberikan tempat ini untukku bersembuyi ketika aku hamil anaknya dia nanti, kan? Setelah percakapan singkat itu selesai, Arsen langsung angkat kaki. Tapi sejak aku mengenal Arsen, ini adalah percakapan terpanjang antara aku dan dia. Dibalik wajahnya yang dingin dan kharismanya yang kuat, ternyata Arsen tidak seangkuh itu, buktinya dia mau menuruti perintah mamanya untuk datang kemari. Mengantar makan malam pula. Mungkin sedikit sifat royal perhatian Bu Wirna terwariskan ke Arsen. Jujur saja, dari sudut pandangku sebagai seorang wanita. Aku akui kalau Arsen sangat tampan. Dia adalah pria idaman seluruh wanita. Selain kaya harta, Arsen juga pintar dan berpenampilan menarik. Dengan tinggi 183cm, berbadan atletis, dan kulitnya putih terang, siapa yang tidak meliriknya jika dia lewat depan mata? Aku patut bersyukur karena anakku nanti akan mewariskan sebagian gen seorang Arsena Adyatma. Meskipun nantinya ... anakku tidak akan mengenal aku sebagai Ibu kandungnya. * * * Bangun jam 6 pagi sudah menjadi kebiasaanku. Aku bukan anak yang lahir dari keluarga kaya, jadi tidak ada yang namanya pemalas dalam kamus kehidupanku. Selesai mandi dan sarapan, aku pergi ke supermarket dengan mengendarai mobil mewah pemberian Arsen. Beberapa jam aku habiskan waktu untuk membeli perlengkapanku lalu kembali ke apartementku dengan sedikit kerepotan karena membawa banyak barang belanjaan. "Perlu bantuan?" Aku mendongak, menatap seorang pria yang berdiri di dalam lift memandangku iba. "Terimakasih," kataku ketika pria jangkung itu mengambil alih sebagaian paperbag di tanganku. "Lantai berapa?" tanya pria itu. "Empat belas," Pria itu mengangguk dan segera memencet tombol lift. Dan pintu lift pun tertutup. Suasana hening menyelimuti sampai lift kembali terbuka dan aku beranjak keluar. "Terima—" "Yang mana?" Dia memotong ucapanku. Matanya menatap jejeran pintu seolah bertanya dimana tepatnya aku tinggal. "Aku bisa bawa sendiri, kok," Entah dia memang berniat baik untuk membantuku, tapi aku sedikit takut. "Serius bisa?" tanyanya meragukan. Aku mengangguk dan mengambil barang milikku yang berada di tangannya. "Terimakasih ya," ucapku kemudian berjalan menuju unit apartementku dengan cepat. Wajahnya berubah pias saat menyadari langkah pria itu mengikutiku. Demi Tuhan, aku ketakutan! Tersisa lima langkah lagi untuk sampai di unit apartementku, tapi aku masih bisa mendengar jejak langkah yang mengekori ku di belakang. Tidak boleh, dia tidak boleh tahu dimana aku tinggal! Dengan cepat aku berbalik badan. "Kamu ngikutin aku?!" tembakku dengan galak. Pria itu praktis menghentikan langkahnya dan mematung, wajahnya menatapku penuh bingung. "Kamu ngikutin aku, kan?" tuduhku. Dia menggeleng tanpa membuka suara. "Jangan bohong!" sentakku galak. "Enggak. Gue enggak ngikutin lo." Akhirnya dia bersuara. Tapi aku tetap tidak percaya. Mana ada maling yang mau ngaku, kan? Aku mengibaskan rambut dengan sedikit kerepotan karena barang belanjaan di kedua tanganku. Lantas aku bertelak pinggang, bersikap seolah aku wanita kuat. "Aku udah nikah, jadi jangan ganggu!" Mungkin saja pria itu tertarik padaku, kan? Makanya dia mengikutiku sampai ke sini. Wajah pria itu mengerut, tatapan matanya berubah aneh. Tanpa menanggapi ocehanku, dia berjalan melewatiku dan berdiri di depan salah satu pintu apartement, tepatnya selisih dua pintu dari unit apartementku. Pria itu menekan password di pintu lalu pintu pun terbuka. Aku melongo di tempat. Malu setengah mampus. Dengan senyum miring yang tersungging di wajahnya, pria itu masuk ke dalam apartemennya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Sementara aku, rasanya aku ingin menghilang dari muka bumi ini sekarang juga!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN