Gyzell telah sampai di rumahnya. Dia keluar dari dalam mobil lalu membanting pintunya agar kembali tertutup dengan benar. Dia menekan tombol pada kuncinya sampai berbunyi ‘bib’ yang berasal dari mobil itu dan benda beroda empat itu sukses terkunci dengan rapat.
Dia membuka kunci pintu rumahnya dengan sangat perlahan, karena tidak ingin membangunkan seseorang yang berada di dalamnya. Dia tersenyum saat melihat seseorang yang paling dia rindukan setiap saat sedang terbaring di depan televisi. Kakinya saling bertumpu satu sama lain dan digoyang-goyangkan menandakan dia sedang mengalami bosan. Terlihat sangat lucu sekali.
“MAMA!”
Suara lelaki itu memekik sampai membuat Gyzell yang sedang melepas sepatunya terkejut. Bocah lelaki berusia 5 tahun itu berlari menghampiri Gyzell dengan senyum yang mengembang. Tangan mungilnya merengkuh wanita itu dari belakang.
“Alger sangat merindukan Mama,” ucapnya setengah berbisik. Dia menggosokkan wajahnya di permukaan punggung Gyzell yang selalu membuatnya merasa sangat nyaman.
“Anak Mama udah makan belum?” tanya Gyzell. Wanita itu sudah berjongkok di depan putranya untuk menyamai tingginya.
Bocah bermata bulat itu mengedip lucu. “Udah Mah, tadi sama Bibi dibikinin nasi goreng,” jelasnya.
Gyzell kembali tersenyum lalu mengacak puncak kepala sang putra gemas. “Oh iya, Mama bawa sesuatu nih buat kamu.” Gyzel memamerkan bungkusan plastik yang berisikan martabak manis yang dia beli di jalan tadi.
Alger bertepuk tangan senang. “Mama tau aja kalo Al lagi mau martabak manis.” Lelaki kecil itu mengambil alih bungkusan plastik putih yang berada di genggaman Gyzell.
Wanita itu tersenyum bahagia saat melihat Alger begitu cepat berlari menuju dapur untuk mengganti plastik itu menjadi wadah piring agar nyaman menikmati makanannya.
Ke dua bola matanya kembali berkaca-kaca. Hatinya begitu perih bila mengingat kejadian beberapa tahun silam. Alger yang tidak berdosa harus menanggung semuanya.
Alger Zeroun Egerton, seorang bocah lelaki malang yang tumbuh dengan kasih sayang seorang ibu. Terlahir karena ketidaksengajaan, bukan keterpaksaan. Hadirnya membuat hari-hari Gyzell semakin berwarna, bukan menjadi neraka. Kedatangannya sebagai anugrah terindah, bukan mala petaka yang menghancurkannya di masa depan.
Alger merupakan bocah lelaki yang aktif, selalu ingin tahu tentang dunia luar. Namun, Gyzell selalu membatasi ruang gerak bocah itu karena dia tidak ingin mulut para tetangga yang pedas menggores perasaan anaknya. Sudah cukup dulu saat mengandung Alger, Gyzell mendapat cacian dari semua orang. Biarkan itu menjadi kenangan, dan kini biarkan Alger hidup bahagia.
Meskipun tumbuh tanpa figur sosok ayah, tetapi Alger tidak pernah menanyakan sosok itu. Karena sosok itu telah tergantikan dengan adanya Trustin—kakeknya—yang sangat menyayangi Alger. Semua keluarganya sangat mencintai bocah itu, meskipun kehadirannya di waktu yang tidak tepat.
Gyzell mengusap air matanya yang luruh tanpa di sadari. Suara lengkingan dari dapur pun kembali terdengar dan sukses mengembalikan wanita itu kepada dunia nyatanya.
“Iya sayang, Mama akan segera ke sana!” teriaknya dari depan.
Alger memang bocah yang tidak pernah sabaran, apa-apa yang dia inginkan harus tercapai dengan segera. Namun, dia juga merupakan bocah yang cerdas, seringkali memenangkan lomba teater yang digelar oleh sekolahan lain.
Senyum Gyzell kembali terbit saat melihat martabak manis itu sudah tersusun rapi di atas piring dan ada minuman teh hangat sebagai pelengkapnya. Puranya itu memang pandai sekali berada di dapur, itu semua karena Gyzell selalu meninggalkannya, maka dari itu Alger sudah mandiri sejak dini.
“Silahkan duduk Mama Tuan Putri.”
Alger mempersiapkan kursi untuk Gyzell duduk lalu wanita itu menuruti perkataan putranya. Dia tersenyum saat Alger juga ikut duduk di samping bersamanya.
“Mama, apa Al boleh bercerita?” tanyanya dengan mulut yang penuh dengan martabak.
Gyzell mengusap permukaan bibir putranya yang terdapat noda kacang. “Boleh sayang, kamu mau cerita apa?”
“Mah, beberapa hari lagi Al ada pentas pertunjukan tahunan di sekolah. Kata Ibu guru, semua orang tua harus ikut. Apa Mama mau menemani Al di pentas itu?” kedua matanya mengedip lucu membuat hati Gyzell merasa tergores. “Please Mah, kali ini aja,” pintanya penuh dengan harapan.
Selama ini dia memang jarang sekali menemani Alger ke sekolah. Jika ada pentas pertunjukan di sekolahnya, biasanya Aleysia dan Trustin—mama dan papanya— yang selalu menemani putranya. Sesekali Gyzell pernah menemani, tetapi itu hanya sekali saat Alger sakit dan terus merengek kepadanya untuk ikut melihat bocah itu tampil di atas panggung.
“Mah.” Alger berucap lirih. Tangan mungilnya menyentuh permukaan kulit punggung tangan Gyzell dengan lembut. sentuhan hangat itu membuat Gyzell menatap putranya.
“Apa permintaan Al terlalu sulit untuk Mama?” tanyanya lagi dengan wajah yang sangat polos.
Gyzell menggeleng pelan, dia berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh membasahi ke dua pipinya dan semakin membuat Alger merasa bersalah.
“Permintaan Alger sangat sederhana kok. Mama yang tidak bisa membagi waktu antara bekerja dan merawat kamu.” Ke dua tangan Gyzell menangkup pipi putranya penuh dengan kasih sayang. “Maafkan Mama yang belum bisa membuatmu bahagia seperti orang-orang seusia kamu,” bisiknya.
Alger menggeleng. “Bagi Al, Mama adalah Mama paling hebat di dunia ini. berkat Mama Al bisa membeli banyak mainan, makanan yang enak, baju yang bagus, serta tempat tinggal yang begitu nyaman. Terima kasih Mama.” boch itu memeluk Gyzell dan wanita itu pun membalasnya dengan tidak kalah eratnya.
Setetes air mata kembali mengalir membasahi kedua pipi Gyzell, tetapi wanita itu buru-buru menghapusnya agar Alger tidak melihat cairan bening itu.
“Sekarang Alger puasin makan Martabaknya, terus ke kamar mandi buat sikat gigi, cuci tangan dan kaki. Abis itu bobo ya.” Gyzell mengurai pelukannya, mengusap puncak kepala Alger dengan senyuman yang lembut.
“Iya Mah, Al udah kenyang kok.” Lalu bocah itu beranjak dari kursinya lalu berlari ke lantai atas menuju dimana kamarnya berada.
Melihat tubuh mungil nan gembul itu berlari membuat tawa Gyzell tercipta. Tidak keras, karena dia takut jika Alger mendengar tawanya, bocah itu akan marah kepadanya.
Sebelum Gyzell membersihkan tubuhnya, dia terlebih dahulu membereskan meja makan yang terdapat remahan kacang tanah berasal dari martabak yang dibelinya tadi. Setelah selesai mencuci piringnya, barulah dia naik ke atas. Namun, sebelum itu Gyzell membawakan sebotol air putih untuk putranya agar bocah itu tidak usah repot-repot untuk turun ke bawah lagi saat tengah malam tiba.
Gyzell mengintip pada celah pintu, dia melihat Alger sedang mengganti pakaiannya dengan pakaian tidurnya agar lebih nyaman. Wanita itu mengetuk pintu bercat putih itu sebanyak tiga kali dan sukses membuat si penghuni kamar menoleh.
“Mama.” Alger menatap mamanya dengan senyuman.
“Jangan lupa air putihnya diminum.”
Alger mengangguk, “Iya Mama. terima kasih.”
“Sama-sama sayang.” Gyzell mengecup kening putranya. “Selamat tidur jagoan Mama. jangan lupa baca do’a sebelum tidur ya.”
Alger kembali mengangguk, “Iya Mama. Mama juga langsung tidur ya, jangan kerja terus.” Bibirnya yang mungil mengecup pipi kanan dan kiri Gyzell.
“Siap jagoan Mama. kalau gitu Mama tinggal dulu ya.”
Gyzell melangkah keluar dari kamar Alger, lalu menutup pintunya dengan rapat. Kamarnya dengan kamar Gyzell dengan kamar putranya hanya terletak bersebelahan. Karena dia tidak mau terlalu jauh dengan bocah itu.
Sebelum Gyzell benar-benar membersihkan tubuhnya, dia menyempatkan diri untuk berdiri di balkon kamarnya hanya sekedar menatap bintang di atas sana. Wanita itu menghirup udaranya dalam-dalam agar segala beban dan pikirannya berkurang.
Setelah dirasa perasaannya kembali tenang, barulah Gyzell membersihkan tubuhnya dari sisa debu dan kotoran untuk menyambut malam yang panjang untuknya.