Hessa duduk dipinggir pemakaman orangtua dan juga adiknya, rindu. Sudah jelas dia sangat rindu dengan sangat dengan orangtuanya. Tidak akan ada yang mau hidup seperti ini, hidup sendirian, tanpa ada yang menyangga dirinya ketika dia butuh. Ketika dia jatuh, ketika dia benar-benar hancur. Hessa hanya akan hidup sendiri. Tidak akan ada yang membantunya untuk berdiri ketika dia limbung nanti.
Mama dan papanya sudah pasti tenang di sana. Mengingat ketika dirinya dimanja, disayang oleh kedua orangtuanya. Kenyataan yang menyadarkan Hessa bahwa mereka sudah tiada. Kenyataan yang memang kejam bahwa hidup itu tidak selalu indah, cinta dan kasih sayang itu hilang seketika. Tapi sayang Hessa masih tetap sama, menyayangi kedua orangtuanya.
Hessa juga ingat betapa sayangnya dia terhadap sang adik yang ikut menjadi korban dalam kecelakaan itu.
Langit mendung seolah memahami isi hati Hessa tentang tangis yang tidak bisa keluar lagi. Air mata hampir mengering ketika mengingat kenangan indah bersama keluarga yang pergi meninggalkan dia terlebih dahulu.
Hari-hari terasa sangat indah, sebelum berangkat sekolah semua sudah disiapkan oleh sang mama. Dibangunkan dengan cara yang begitu baik, Hessa rindu. Sekujur tubuhnya kaku saat mendengar kabar mereka menjadi korban kecelakaan beberapa waktu lalu. Sampai sekarang Hessa juga tidak percaya bahwa itu memang menimpa orangtua dan adiknya.
“Ma, Pa, Hessa lagi tidur, kan? Nggak seperti ini kenyataannya?”Dadanya sesak sekali mengingat semuanya memang masih terasa seperti mimpi.
Tempat ia mengadu hanya di tempat ini. Tempat peristirahatan kedua orangtua dan adiknya. “Hessa masih ingin nyangkal ini, Ma, Pa. Hessa ngerasa bahwa dunia ini terlalu nggak adil buat, Hessa. Hessa lelah, lelah dengan hidup yang seperti ini. Kadang Hessa berpikir untuk hal yang tidak-tidak. Tapi Mama sama Papa selalu ajarin Hessa untuk terus semangat waktu itu. Hessa punya siapa? Hessa nggak ada siapa-siapa lagi. Hessa juga capek, nggak pernah cerita sama orang lain bagaimana rindunya Hessa sama Mama dan Papa. Adik juga sangat Hessa rindukan.”
Tidak ada yang pernah mau merasakan kehilangan. Karena kehilangan adalah pintu gerbang menuju kesengsaraan. Beberapa orang menganggap kehilangan mungkin hal yang tidak perlu ditangisi, apalagi bagi orang-orang yang punya rasa benci pada orang yang meninggalkan, ia akan merasa lebih tenang ketika orang tersebut pergi. Akan tetapi, Hessa tidak pernah ingin merasakan kejadian ini. Kehilangan baginya adalah sebuah awal untuk patah hati sampai kapan pun. Hessa tidak ada saudara yang bisa menjadi tempat berbaginya.
Menjelaskan patah hati pada orang yang tidak pernah merasakan adalah ha yang sia-sia. Mereka hanya akan mengatakan aku mengerti dengan perasaanmu. Tanpa mereka benar-benar memahaminya. Alasan itu membuat Hessa tidak pernah cerita pada siapa pun juga. Dia menyimpannya sendiri. Merasakannya sendiri jauh lebih baik dibandingkan bercerita pada orang yang pura-pura peduli. Hessa juga tidak ingin membebani orang lain.
Pulang dari sana, dia bersiap-siap untuk pergi bekerja. Hessa menyempatkan dirinya berkunjung ketika dia rindu. “Hessa berangkat, Ma, Pa.”
Dia pamit kepada kedua orangtuanya dan bangkit dari tempat duduk. “Adek juga pasti bahagia di sana, ya. Udah tenang di sisi Mama dan Papa. Kakak aja yang sekarang luntang-lantung di sini.” Hessa menyeka air matanya.
Selama diperjalanan dengan motornya, Hessa mencoba memompa semangatnya ketika hendak pergi ke daycare.
Sampai di sana dia memarkir motornya lalu membuka helm dan membawa tasnya ke dalam ruangan khusus para pengasuh. Dia mulai bertemu dengan anak-anak asuhnya sekarang. Beruntungnya dia punya dua pekerjaan, tapi kadang tubuhnya tidak kuasa menahan lelah dan kadang jatuh sakit. Tapi Hessa tetap memaksakan diri untuk bisa hidup lebih baik lagi. Meski tidak punya pendidikan tinggi, tapi Hessa tetap ingin sukses dan bisa hidup lebih baik dari kesusahan sebelumnya.
“Hessa, sarapan dulu, Nak! Kamu ke dapur langsung, ya!”
Hessa menoleh ketika ibu pengasuh mengatakan hal itu padanya. Hessa mengangguk dan menaruh tasnya di dalam loker yang disediakan. “Hessa, kamu jagain Yumna, ya! Soalnya Eva nggak masuk lagi sekarang.”
“Iya, Bun. Terus aku cuman jaga satu anak nih?”
“Iya, itu anak jaga baik-baik, ya. Pelan-pelan didiknya, dia nggak manja, dia juga nggak pelit. Anaknya mudah di atur, cuman kamu jaga baik-baik. Dia agak cerewet sih dalam nanya ini itu. Jadi Bunda harap kamu juga belajar dunia anak kecil, rasa ingin tahu dia beda sama anak-anak yang lain.”
Hessa juga sudah tahu kalau Yumna itu adalah anak yang baik. “Baik, Bunda. Nanti aku usahakan.”
“Kamu jangan telat juga kasih makan siang, nanti Papanya bisa telepon ke sini. Kita maklumi kalau dia, soalnya cuman dia yang nggak punya, Mama. Mamanya meninggal waktu lahirin dia. Papanya pernah cerita alasan dia dimasukin ke sini dulu, dia juga udah pernah dicubit sama pengasuh pribadinya. Papanya percaya sama kita, jadi usahakan kamu juga baik sama dia. Jangan ngumpat, dia biasa ngadu ke Papanya. Terus jangan ngomongin macam-macam, bicara seperlunya aja. Dia sebentar lagi datang, tadi papanya sudah telepon. Kamu buruan sarapan, ya! Nanti tugas kamu nemenin dia main.”
Hessa pergi ke dapur, sedangkan Ibu Titin—ketua dan sekaligus pemilik daycare ini ke depan dan melihat ada beberapa anak sudah datang terlebih dahulu.
Kebetulan sekali Yumna baru turun dar mobil diantar oleh papanya. “Pagi, Pak.”
“Selamat pagi, Bunda. Bunda sehat?”
“Sehat. Tumben pagi banget nganternya, Pak?”
“Ada rapat di kantor, Bunda. Jadi Yumna juga minta dianterin cepet-cepet.”
Yumna bersalaman pada Bunda. “Ohya, pengasuh Yumna yang biasa ke mana, Bunda?”
“Eva lagi ngidam, Pak. Jadi untuk saat ini dia belum bisa masuk kerja. Suaminya juga ngelarang dia masuk dulu. Katanya sih mual gitu.”
“Oh udah nikah ternyata?”
“Iya, udah lama, Pak. Baru dikasih sama Tuhan, Eva digantikan Hessa untuk sementara waktu. Bapak nggak keberatan?”
Teguh tersenyum dan mengangguk pelan. “Sebenarnya saya lebih suka kalau Eva yang asuh sih. Cuman kalau nanti pengasuhnya agak lebih baik, ya udah lanjut aja. Kalau bisa lebih dekat juga mungkin saya pekerjakan di rumah pribadi. Untuk Yumna dan bisa awasi dia sekolah nanti, Yumna tahun ini udah masuk sekolah.”
“Si cantik pintar mau sekolah?” Titin tersenyum pada Yumna yang sangat cantik dan ada kemiripan dengan Teguh.
Yumna mengangguk. “Iya dong, nanti mau sekolah. Papa bial kelja aja.”
“Papa berangkat, ya.”
Teguh berjongkok di depan Yumna dan anak itu bersalaman dengan sangat pintar. Titin masih bersama dengan Yumna. “Sama Bunda dulu, ya. Kakak Hessa masih sarapan.”
“Iya, Bunda. Bunda udah salapan?”
“Udahh dong sayang. Una udah belum?”
Yumna mengangguk dan mobil itu berlalu meninggalkan tempat penitipannya Yumna. “Sudah tadi sebelum belangkat. Telus ada Papa isikan jajan buat Una di tas.”
“Nanti kita makan siangnya yang enak lagi, ya.”
Makanan anak-anak di sini beda-beda. Jadi untuk bayaran pun sangat mahal. Karena makanannya di kelompokkan ke dalam masing-masing kesukaan mereka. Ada yang alergi seafood, ada pula yang alergi daging dan beberapa makanan lainnya. Jadi setiap anak sudah punya catatan tersendiri, sehingga bagian dapur harus benar-benar memperhatikan anak-anak di sini. Dan juga ada ahli gizi yang di dalam daycare ini. “Siapa yang ikatin rambutnya? Lucu banget,”
Yumna memegang rambutnya yang dikepang dua. “Papa, Papa kan selalu ikatin gini. Kadang banyak.”
Titin sengaja bertanya karena dia suka sekali dengan gaya bicara Yumna yang sopan dan lucu. “Una bisa ikat sendiri?”
Yumna menggeleng sambil tertawa. “Una nggak bisa, Bunda. Nanti malah lusak telus jelek lagi kalau Una yang ikat.”
Siapa yang tidak suka pada Yumna yang sangat baik dan suka berbagi dengan teman-temannya kalau dia membawa makanan ataupun minuman lebih. Para pengasuh juga kadang rebutan untuk mengasuh Yumna karena tidak rewel. Namun Titin memilih yang terbaik karena mengingat Yumna adalah anak yang tidak punya mama. Jadi harus lebih diperhatikan dan tidak boleh sang pengasuh itu mengasuh dua atau tiga anak. Hanya Yumna yang memiliki satu pengasuh khusus, tidak menjaga anak-anak yang lain. Kecuali ketika makan dan mandi, pengasuh akan bergiliran dengan tugas itu. Tapi ketitka tugas keseharian seperti bermain dan menemani tidur, sudah pasti hanya satu yang mengurusnya.