Bab 8. Menunggu Aris Pulang

1171 Kata
Malam itu, Resa menunggu sang suami dengan perasaan tidak tenang. Dia sudah mengatakan dengan jelas. Dia akan memaafkan Aris jika pria itu pulang. Namun, hingga kedua buah hati mereka tertidur, pria itu belum menampakkan diri. Resa mengepalkan kedua tangannya. Wanita itu menarik napas panjang—berusaha untuk bisa tetap mengendalikan emosi. Apa Aris benar-benar tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan pernikahan mereka? D*da wanita itu bergerak naik turun dengan kentara. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa dia harus menyerah? Resa mendongak—menatap bulan yang malam ini terlihat begitu redup. Cahayanya tidak terlihat terang. Wanita itu meraup oksigen lebih banyak lagi lalu membulatkan mulut untuk menghembuskan karbondioksida. Mengingat dua buah hatinya yang masih kecil-kecil, hatinya merintih. Resa merasakan d*danya semakin sesak. Rasa panas itu dengan cepat menjalar naik hingga kedua matanya berair seketika. Resa menyusut bulir bening yang sudah menggantung di sudut mata dan akan turun begitu dia mengedip. Wanita yang sedang merasakan sakitnya pengkhiatan sang suami itu merebahkan tubuh di bangku kayu panjang teras rumahnya. Tidak sama sekali merasakan dingin, karena rasa sakitnya lebih buruk dari sekedar dinginnya malam. *** Aris menyugar rambutnya kasar. “Aku harus pulang. Anak-anak pasti menungguku.” “Anak-anak atau istrimu?” tanya Vera kesal. Aris mendesah. “Ayolah, Ver. Aku sudah berjanji padamu. Aku akan menceraikan Resa dan menikahi kamu. Apa kamu tidak percaya padaku? Apa aku perlu menandatangani surat perjanjian?” tanya pria itu kesal. Aris mengangkat tangan kiri lalu sedikit memutar. Sudah jam 10 malam. Mungkin Syifa dan Jannah sudah tidur—pria itu membatin. Tapi dia tetap harus pulang. Entah mengapa, dia merasa tidak tenang berada di tempat Vera malam ini. Dia tahu apa yang akan dia hadapi di rumah nanti. “Sepertinya itu ide yang bagus,” kata Vera membuyarkan lamunan Aris. Aris menoleh. “Apa?” “Surat perjanjian.” Lalu Vera beranjak dari sofa. Wanita itu berjalan masuk ke dalam apartemennya. Mereka memang sudah tidak lagi berada di kamar hotel. Tidak ingin menjadi bahan pergunjingan karyawan hotel setelah peristiwa Resa datang memergoki mereka, akhirnya Aris memaksa Vera untuk meninggalkan hotel. Aris memutar kepala mengikuti pergerakan Vera dengan sepasang matanya. Pria itu mengernyit. Vera kembali tidak lama kemudian dengan membawa kertas, pena dan juga materai. Aris yang melihat semakin mengernyit. “Kamu serius? Kamu meragukanku?” “Iya,” jujur Vera. "Aku tidak bisa mempercayaimu sebelum kamu benar-benar menceraikan istrimu dan menikahiku." “Kamu bilang kamu mencintaiku. Bagaimana bisa kamu tidak percaya padaku?” “Kamu juga bilang kamu mencintaiku. Bagaimana bisa kamu terus mempermainkanku? Kamu hanya memberiku janji-janji manis. Sudah berapa kali kamu mengatakan akan segera menceraikan istrimu? Apa aku perlu menghitungnya? Mungkin aku akan butuh jari kakiku karena terlalu seringnya kamu berjanji tanpa menepati,” ujar Vera panjang lebar. Wanita itu kembali duduk di sofa lalu mendorong punggung ke depan. Wanita itu meletakkan selembar kertas kosong kemudian mulai menulis. Aris memperhatikan apa yang dilakukan oleh Vera dengan mulut setengah terbuka. Sungguh … dia tidak menyangka Vera benar-benar akan mengikuti sarannya. Saran yang diucapkan tanpa berpikir panjang. Keluar dari mulutnya begitu saja. Aris menghentak karbondioksida keluar dari mulutnya. Suara yang cukup keras membuat Vera melirik. Hanya sekejap mata karena wanita itu memilih melanjutkan kembali pekerjaannya. Dia tidak peduli dengan pikiran Aris. Pria seperti itu harus diberi ketegasan. Vera mencintai Aris. Itu kenyataan. Jika tidak, tidak mungkin dia sejauh ini berhubungan dengan pria yang sudah memiliki istri. Namun, bukan berarti dia bisa dipermainkan Aris hanya karena cintanya yang begitu dalam. Dia masih bisa menggunakan otaknya dengan baik. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau. Aris! “Sudah … ini, tanda tangan di atas materai. Baru setelah itu aku melepasmu pulang menemui istri kucel mu itu.” Vera menggeser kertas yang sudah tidak lagi kosong, ke hadapan Aris. Kepala wanita itu menoleh—menatap tajam pria yang duduk di sampingnya. “Kenapa? Apa sekarang kamu berubah pikiran? Katakan saja kalau kamu berubah pikiran. Aku akan menggugurkan anak ini dan mencari pria yang jauh lebih baik darimu. Aku juga akan menarik investasiku di tokomu. Kita lihat saja apa yang akan terja—” “Berhenti bicara,” potong Aris. Pria itu menatap kesal sang simpanan lalu meraih kertas di atas meja. Pria itu mulai membaca. Sepasang mata Aris mengedip membaca satu per satu sanksi yang dituliskan oleh Vera jika dia—sebagai pihak pertama mengingkari janji untuk menceraikan Resa dan menikahi Vera. Aris menelan ludah. Pria itu menoleh hingga tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata Vera. Vera mengangkat kedua alisnya. “Cepat tanda tangan. Istri kucelmu itu pasti sudah menunggu.” Aris menarik lalu menghembuskan napasnya. Pria itu geleng geleng kepala sebelum membungkuk, kemudian tangan kanannya meraih pena yang disodorkan oleh Vera. Aris menghela napas sekali lagi sebelum akhirnya membubuhkan tanda tangan di atas materai, yang berarti bahwa dia menyetujui semua klausa yang tertulis di atas selembar kertas tersebut. Aris menoleh. “Puas sekarang?” tanya pria itu sambil menggeser kertas dan pena ke depan Vera. Vera tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. Wanita itu menggeser posisi duduk hingga tak ada lagi jarak di antara keduanya. “Karena kamu sudah mau menandatangani surat perjanjian itu, maka aku akan memberimu hadiah.” “Aku harus pulang. Besok saja.” Sepasang alis Vera terangkat. “Benar tidak mau?” Wanita itu tersenyum nakal. Tangannya meraih sebelah tangan Aris kemudian membawanya ke d*danya. “Yakin tidak mau?” tanya menggoda wanita itu. Aris susah payah menelan ludahnya. Vera menggerakkan telapak tangannya—meremas, hingga dia bisa merasakan sesuatu yang kenyal namun lembut. Pria itu kembali menelan ludah ketika melihat Vera menyapukan lidah pelan di bibirnya. Pria itu mendesah. Persetan dengan istri dan anak-anaknya. Hasratnya sudah kembali naik dan dia harus menuntaskannya. Pria itu kemudian meraih tengkuk Vera. *** Resa tersentak. Kedua mata wanita itu terbuka lebar. Jantungnya berdegup kencang. Dia mimpi buruk. Resa mengatur napas yang memburu. Wanita itu memutar kepala lalu mendesah ketika sadar jika dirinya masih berada di teras. Resa mengangkat tubuhnya. Sepasang mata wanita itu kembali mengedar. Menjerit dalam hati ketika masih tidak menemukan mobil suaminya. Aris benar-benar berniat mengakhiri pernikahan mereka. Pria itu tidak sama sekali peduli pada kedua anak mereka. Pria itu sama sekali tidak memikirkan sakit yang dia rasakan. Resa beranjak. Wanita itu sudah setengah memutar langkah ketika ujung matanya menangkap cahaya sorot lampu. Resa kembali berbalik. Wanita itu berdiri memperhatikan sorot lampu yang berasal dari sebuah mobil. Resa menarik napas sepanjang mungkin. Berharap dengan melakukan hal itu, dia bisa menekan gejolak emosinya. Setidaknya … Aris masih pulang. Resa menekan katupan rahangnya kuat-kuat. Bola mata wanita itu bergerak mengikuti pergerakan mobil yang sebentar lagi akan tiba di depan teras. Aris mengedip menatap sosok perempuan yang berdiri di teras sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pria itu menghentikan laju mobil, kemudian mematikan mesin. Aris melepas seatbelt sementara sepasang mata pria itu masih menatap ke arah sang istri. Kedutan terlihat di sekitar rahangnya kala pria itu menyadari penampilan berbeda Resa. Resa masih berdiri di tempatnya tanpa mengalihkan fokus pada sosok yang kini sudah turun dari dalam mobil lalu mengayun langkah kaki ke arahnya. “Kita harus bicara sekarang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN