Bab 5. Usaha Resa 2

1128 Kata
Aris mengernyit memperhatikan Resa yang berjalan melewatinya. Agak heran karena Resa tidak menoleh ke arahnya sedikit pun. “Kamu mau ke mana?” Akhirnya Aris bertanya. Pria itu sedang memakai ikat pinggang. “Oh … aku mau mengantar Syifa. Dia ada kelas pagi hari ini.” Resa yang berdiri di depan meja dengan kaca yang cukup besar, meraih lipstik lalu mengoles dua belah bibirnya. Sementara Aris masih memperhatikan sang istri. Bola mata pria itu bergulir dari atas hingga bawah. Memperhatikan penampilan berbeda sang istri. “Tumben. Dimana daster kucel mu itu? Biasanya juga pakai daster.” Akhirnya Aris bertanya. Resa memutar kepala, lalu tersenyum. “Sudah kujadikan lap.” Memutar kembali kepala ke arah kaca, Resa merapatkan bibir lalu menggerakkannya. Tangan wanita itu meletakkan kembali batang lipstik ke atas meja. “Sudah tidak terlihat pucat lagi sekarang.” Resa berbicara pada dirinya sendiri. Perempuan itu menepuk-nepuk pipinya. “Kalau sudah tidak ada daster, lalu kamu mau pakai apa sekarang kalau di rumah?” tanya Aris yang sudah selesai bersiap. Pria itu berdiri di belakang istrinya. Menatap pantulan wajah mereka dari cermin. “Nanti aku beli beberapa dres setelah pulang dari sekolah anak-anak.” Resa menatap sang suami dari dalam kaca. “Jangan khawatir, aku pakai uang tabunganku sendiri, kok.” “Uang tabunganmu itu juga berasal dariku, Resa. Memangnya kamu kerja?” Resa mengedip. Kepala wanita itu kemudian bergerak turun naik. “Maaf.” Aris mendesah. “Jangan terlalu boros.” Resa menarik napas pelan. “Aku akan beli di pasar. Yang murah,” sahut Resa kemudian. “Lagian, untuk apa kamu beli dres?” Resa menatap lekat sepasang mata sang suami dari pantulan kaca di depannya. “Aku sedang berusaha mempertahankan suamiku. Mas bilang bosan padaku, makanya aku mau berubah supaya Mas tidak bosan lagi melihatku.” Resa menahan rasa sakit di dalam hatinya. Napas wanita itu tertarik, lalu terhembus samar. Sementara Aris membalas tatapan mata sang istri. “Kamu tidak perlu berusaha sekeras itu. Tidak ada gunanya.” “Mas.” Resa memutar tubuh. Langkah kaki wanita itu tertarik ke belakang hingga tubuhnya tertahan tepi meja, lalu dua tangan wanita itu berpegangan pada benda di belakangnya kuat-kuat. Resa menahan panas yang dengan cepat menguasai sepasang netranya. “Syifa dan Jannah. Mereka membutuhkan orang tua mereka. Aku tahu … aku tidak cantik. Tapi, wanita tidak cantik ini lah yang kamu nikahi dan memberimu dua keturunan.” Aris mengalihkan tatapan dari sepasang mata berlapis cairan bening yang menyorotnya. “Semua sudah berubah.” “Hati Mas yang berubah. Aku tidak.” Resa menelan salivanya. “Pikirkan anak-anak, Mas. Jangan hancurkan keluarga ini hanya karena seorang perempuan.” “Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan supaya Mas tidak lagi bosan denganku?” “Sudahlah. Aku tidak ingin membahasnya sekarang. Hapus lipstikmu sebelum pergi. Jangan berdandan seperti seorang perempuan murahan.” Lalu Aris memutar tubuh setelah meninggalkan kata-kata yang menyakitkan untuk Resa. Resa menahan tangis. Sepasang mata yang nyaris tidak bisa lagi menahan lapisan beningnya itu, menatap kepergian sang suami dengan hati pilu. Apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan cinta Aris kembali? Resa menghapus cairan yang akhirnya turun dari sudut matanya. Wanita itu berulang kali menarik lalu menghembuskan napasnya. Tidak. Resa tidak menuruti perintah Aris. Wanita itu tidak menghapus lipstik yang sudah membuat bibirnya berwarna merah menyala. Resa kemudian meraih tas selempang di atas meja. Memastikan tidak ada lagi air mata yang membasahi pipi, wanita itu berjalan keluar kamar sembari memakai tasnya. *** “Bunda! Syifa berangkat sama ayah. Kata ayah, tidak apa-apa hari ini mengantar Syifa ke sekolah.” “Jannah juga mau diantar ayah naik mobil.” Resa menatap sang suami dengan lipatan di dahi. “Kamu tidak usah keluar rumah. Anak-anak aku yang antar.” Lalu Aris mengulurkan kedua tangan yang langsung disambut oleh Jannah dan juga Syifa. Dua kakak beradik itu tertawa senang. Sudah cukup lama mereka tidak pernah diantar sang ayah ketika berangkat ke sekolah. Resa berjalan menghampiri kedua putrinya. Perempuan itu mengulurkan tangan kanan yang langsung disambut oleh Syifa, lalu Jannah bergantian. Kedua putrinya itu mencium punggung tangannya. “Hati-hati di jalan.” Resa menatap sang suami. Wanita itu kemudian mengikuti Aris dan kedua putrinya berjalan keluar rumah. Berdiri menunggu hingga ketiga orang terkasihnya naik ke dalam mobil, lalu mobil itu bergerak keluar pekarangan rumahnya. Resa menurunkan pandangan. Percuma dia berdandan. Suaminya tetap dingin. Akhirnya wanita itu memutar tubuh, lalu berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Aris yang masih bisa melihat pergerakan sang istri masuk ke dalam rumah melalui kaca yang menggantung di depannya—menahan tawa. Kepala pria itu menggeleng perlahan. *** Siang itu, Aris sedang sibuk di tokonya. Banyak pelanggan datang yang memesan material di tempatnya. “Bisa ... bisa. Sore ini bisa langsung diantar ke alamat. Jangan khawatir.” Aris menjawab pertanyaan seorang perempuan yang dia perkirakan sudah berusia di atas 60 tahun. “Benar, ya? Jangan sampai meleset. Ada banyak tukang yang sedang mengerjakan rumah putraku. Jangan sampai pengiriman materialnya terlambat.” “Tentu, Bu.” Lalu Aris memutar kepala. “Pono!” panggil berteriak pria itu saat melihat salah satu pekerjanya. Yang dipanggil langsung memutar tubuh, lalu bergegas menghampiri Aris. “Ya, Bos.” “Ini. Siapkan barang-barang ini sekarang juga. Atur pengirimannya sore ini.” Aris mengulurkan satu lembar kertas berisi daftar pesanan material dari wanita kaya di depannya. Tentu saja dia bisa menebak jika perempuan di depannya ini bergelimang harta. Terlihat dari perhiasan yang dipakai. Pun wanita itu langsung membayar lunas semua pesanan materialnya. “Wah, banyak sekali. Lagi bangun toko ya, Bu?” Pono yang penasaran setelah membaca daftar belanjaan sang pelanggan, tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. “Bukan. Bukan toko. Tapi rumah putra saya. Buat persiapan kalau dia sudah menikah nanti.” Lipatan muncul di kening Aris begitu mendengar apa yang baru saja wanita di depannya katakan. Pria itu kemudian berdehem hingga fokus sang ibu beralih padanya. “Um … putra Ibu sudah punya calon?” tanya Aris sambil menahan ringisan ketika melihat tatapan mata pelanggannya memicing. “Kenapa memangnya? Kamu mau mencarikan putraku calon?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut sang pelanggan, membuat sepasang mata Aris membesar seketika. “Belum punya?” Pelanggan toko material milik Aris mendesah, lalu kepalanya menggeleng. “Dia itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sampai lupa mencari pasangan.” Wanita itu menjawab. “Um … apa, maaf. Putra Ibu … duda?” Alis Aris terangkat. Jika putra sang ibu duda, dia akan mencoba mengenalkannya dengan Resa. Melihat penampilan sang pelanggan, Aris pikir—hidup Resa pasti tidak akan menderita jika menikah dengan anak ibu ini. Dengan begitu, dia tidak akan terlalu merasa bersalah karena menceraikan Resa. Aris tersenyum saat pemikiran cemerlang itu muncul. Sayang, senyum pria itu tidak bertahan lama tatkala mendengar jawaban dari sang pelanggan. “Duda apa? Putraku masih perjaka. Tong … tong.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN