Bab 1
"Anda yakin mau mengurus ini sendiri Tuan? Bukankah pekerjaan remeh seperti ini tidak pantas untuk Anda kerjakan sendiri?" Tanya lelaki bertubuh gempal yang langkahnya agak terseok mengikuti langkah lelaki berkaki jenjang yang ia panggil Tuan.
"Saya sangat mencintai perusahaan saya! Dan saya sendiri yang harus mencabut semua rumput liar yang tumbuh di dalamnya, mencabutnya tidak bersisa sampai ke akarnya!" ujar lelaki berahang tegas dan berhidung mancung itu.
"Tapi ... apa Tuan yakin bisa hidup di sana? Di sana itu desa terpencil tuan, semuanya akan terasa berbeda dengan kehidupan Tuan di sini," Lelaki berkulit sawo kelewat matang itu berusaha menggentarkan niat lelaki berkulit putih bersih itu.
"Sudah kubilang aku akan membersihkan perusahaanku, mencabut semua rumput liar yang merugikan sampai keakarnya yang paling dalam sekalipun," tegas lelaki bermata hitam legam itu, sorotnya tajam membuat nyali setiap orang yang memandang ciut seketika.
"Iya, iya, Tuan." Sudah tidak ada kata yang bisa diucapkan selain 'iya' jika sang Tuan sudah berkehendak.
"Persiapkan segalanya, aku akan berangkat besok pagi! Dan aku pastikan semua akan menyesal karena sudah berani bermain-main dengan Tirta Bagaskara!" ucapnya dingin sebelum menaiki mobil mewah yang pintunya sudah terbuka sejak ia masih dalam perjalanan ke luar kantornya. Sang sopir bergegas menuju kemudi seteselah kembali menutup pintu mobil sesaat setelah sang Tuan duduk dengan nyaman di kursi belakang.
Mobil melesat sesaat, meninggalkan lelaki tambun yang tengah mengusap wajahnya lalu menghela nafas berat, seberat urusan yang harus ia tangani setelah ini.
Kepergian CEO perusahaan tentunya sedikit banyak akab berpengaruh pada beban kerjanya nanti. Namun, mau bagaimana lagi jika bos sudah berkehendak tidak ada kata lain selain 'yes, Bos!'
Semuanya berawal dari morat-maritnya hasil produksi batik yang menjadi bahan utama fasion produksi perusahaan milik sang Tuan besar Tirta Bagaskara. Perusahaan yang tengah maju pesat dalam pembuatan pakaian modern berbahan kain tradisional, baik itu batik, tenun, songket dan lain sebagainya, penjualannya bukan hanya di dalam negeri tapi juga jauh sampai ke mancanegara.
Sebagai perusahaan besar tentu saja, perusahaan milik Tirta Bagaskara telah menanamkan modal yang tidak sedikit pada berbagai bidang rumah produksi, salah satunya untuk pembuatan batik tulis asli Pekalongan, selama ini pasokan kain batiknya selalu memuaskan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tetapi belakangan ini terjadi penurunan yang sangat signifikan hingga mengakibatkan perusahaan Tirta Samudra mengalami kerugian.
Alasan itulah yang membulatkan tekad sang CEO perusahaan untuk menyelidikinya, seperti yang ia katakan, ia sendiri yang harus mencabut akar permasalahannya.
Dia memang seorang yang perfectionis, semua harus sempurna. Dan tidak akan puas jika tidak menanganinya sendiri. Dialah Tirta Bagaskara pemuda dua puluh sembilan tahun, Muda, tampan dan kaya raya. Sempurna.
***
"Bangun!" suara yang memekakkan telinga di pagi buta, disusul dinginnya air sumur yang membasahi wajah hingga dadanya.
"Bulek, kenapa aku disiram, tho?" gadis cantik berkulit eksotis menyeka air yang mengaliri wajah ayunya. Ia segera bangkit dari tidurnya yang baru terasa sekejap mata.
"Kenapa-kenapa! Bangun! ngeliwet—menanak nasi— sebentar lagi subuh, nanti kalo adik-adikmu berangkat sekolah tapi nasinya belum mateng awas kamu, ya!" Dengan suara cemprengnya wanita yang dipanggil Bulek itu berseru.
Gadis cantik berusia dua puluh dua tahun itu meninggalkan ranjang besi berkasur lepeknya, satu-satunya tempat melepas lelah setelah seharian bahkan nyaris sehari semalam mengais rejeki dengan menggoreskan pucuk canting berisi malam—lilin khusus membatik— pada kain mori—kain putih yang akan di batik lalu diwarnai—.
Tubuhnya sedikit mengigil akibat air dingin yang lebih dulu menyapanya sebelum matahari menyapa, ia berjalan ke dapur tradisional di bagian terbelakang rumah. Bersiap menyalakan api di tungku untuk menanak nasi.
Bukan, bukan keluarga itu belum tersentuh moderenisasi hingga masih memasak menggunakan tungku, ini hanya untuk mengirit pengeluaran. Bukankah lebih hemat menggunakan kayu bakar yang dicari di kebun dari pada membeli gas elpiji? Toh yang melakukan semua pekerjaan itu bukan sang nyonya rumah yang biasa di sapa Bulek, tetapi gadis muda yang hanya memiliki keluarga ini sebagai saudaranya.
Biasanya usai memasak nasi dan berbagai lauknya untuk sarapan keluarga itu, gadis bertubuh tinggi langsing dengan lesung di kedua pipinya itu akan mencuci baju dan piring kotor milik seluruh anggota keluarga, baru setelahnya dia pergi ke pabrik batik tulis untuk membatik, jemarinya yang lentik akan menari dengan piawai membuat berbagai motif di atas kain. Semua itu ia lakukan sebagai imbal balik karena mereka sudah merawatnya sejak kecil, juga sudah menyekolahkannya sampai sekolah menengah pertama.
Kedua orang tuanya meninggal kerena kecelakaan saat dia masih duduk di kelas enam sekolah dasar, sejak saat itulah pengasuhannya berpindah pada adik kandung dari ayahnya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Kamu harus nurut sama Pak'lek! Pak'lek ini satu-satunya wali kamu, kalau Pak'lek tidak mau menikahkan kamu, kamu enggak akan bisa menikah nanti!" Selalu kata itu yang Pamannya katakan saat gadis itu mengeluhkan sesuatu, maka tidak ada pilihan lain selain menurut, termasuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Menghabiskan waktunya untuk mengurus rumah, dan bekerja. Ya, bekerja sebagai buruh batik di rumah produksi batik terbesar di desanya, dan beruntungnya rumah produksi itu milik Pamannya sendiri, hingga upah yang ia terima pun tidak jelas nominalnya, hanya sekedar untuk membeli keperluan pribadinya saja kadang tidak bisa, yang penting bisa makan dan tidur di tempat layak saja sudah cukup baginya, biarlah tenaga yang ia keluarkab sebagai bukti baktinya pada keluarga Pamannya.
Dialah gadis ayu, berparas menawan khas wanita jawa dengan hidung tidak terlalu mancung dan bibir tipis kemerahan alami, kulitnya tidak putih tapi juga tidak hitam, berrambut ikal legam menjuntai hingga punggungnya.
Namanya Canting, nama gadis itu, memang sama seperti alat yang digunakan untuk menoreh lilin saat membatik. Konon nama itu tersemat karena ia lahir ketika ibunya tengah membatik, juga karena ia terlahir di kampung batik.