BAB 6: THE OBSTACLE

1895 Kata
Kane segera membawa Lian ke lift lain di lantai itu, lift yang dikhususkan untuk para dokter, petinggi, dan staf rumah sakit. Seringkali ada beberapa kasus yang membuat para tenaga kesehatan itu harus bergerak cepat. Dan mengantri di lift umum atau berlari naik turun di tangga darurat sungguh bukanlah penyelesaian. Dan pagi itu, hanya mereka yang menumpangi lift tersebut. Begitu pintu lift tertutup, Lian menyerongkan posisi berdirinya, bersidekap menatap Kane. Yang menyebalkan, Kane justru mencengir lebar. “Li, lo merhatiin tampang mantan lo ga tadi? Untung aja ga kena infark miokard,” kekeh Kane. Tawanya begitu renyah terdengar. “Gila juga tuh orang nyalinya, ga liat-liat siapa yang dia kerjain. Untung aja ketemunya sama gue, coba ketemu sama Paduka Liang atau Dokter Zhen, bisa dipretelin jantungnya!” Kekesalan Lian menguap begitu saja. Ia menghempaskan punggung ke salah satu dinding lift, ikut terkekeh singkat. “Tapi, lo juga sama gilanya Dok.” “Hah? Ih gue ga pernah manfaatin cewek, Li.” “Bukan itu!” “Terus?” “Seenaknya manggil gue Sayang di depan Ardi lambe turahnya RSPI. Lo pikir yang lo lakuin tadi tuh menyelesaikan masalah?” “Astaghfirullah,” lirih Kane seketika. “Istighfar kan lo sekarang?” “Musti buru-buru cabut nih gue! Gue dhuha di kosan aja kali ya, Li?” “Auk amat!” “Mati gue Li! Jangan sampe gue musti nyari rumah sakit lain buat lanjutin PPDS.” “Pikirin amat!” “Wah! Lo ….” Kane baru saja ingin melayangkan aksi protes karena sikap masa bodo Lian. Bukannya Kane baru saja membantunya? Sayangnya, belum sempat ia lakukan, bel lift berbunyi diikuti pintunya yang perlahan terbuka. “Kayaknya mending gue dilaporin atas kasus penyerangan pasien daripada bikin lo disidang Papa. Iya kan Dok?” sinis Lian seraya melangkah keluar lebih dulu. Kane mengikuti langkahnya di belakang. Entah mengapa Kane tak menyukai nada bicara Lian. Apa Lian menganggapnya tak tulus? “Ya ga gitu, Li.” “Lain kali ga usah bantuin gue kalau cuma buat tebar pesona, Dok. Cukup sekali gue berurusan sama b******n, ga kepingin lagi!” tandas Lian. “Hah?” ‘Gue bukan b******n, Li. Apalagi tau lo siapa.’ *** “Aduh!” “Aduh!” Kane dan seorang perempuan yang tak sengaja ditabraknya sama-sama tersungkur. Keduanya tengah berlari di salah satu koridor rumah sakit, tak menurunkan kecepatan saat belokan 90 derajat berada di hadapan mereka. Beberapa brosur yang perempuan itu bawa tercecer di lantai. Kane segera beringsut, merapihkan kertas-kertas tersebut. Sekilas terbaca jika dokumen yang tengah dipungutinya adalah spesifikasi dari beberapa obat paru. “Maaf ya,” ujar Kane, masih sambil memunguti brosur-brosur dari atas lantai. Tak ada jawaban. Kane sontak menghentikan bantuannya, mengangkat pandangan, mendapati perempuan itu memunguti kertas yang sama dengan wajah kesal. ‘Berliana Seira?’ Tulisan yang tertera di nametag. “Resek!” Kane mencengo. ‘Buset! Kan gue udah minta maaf ya?’ “Siapa?” tanya Kane, pura-pura polos. Tangannya mengulur, menyodorkan tumpukan brosur pada perempuan di hadapannya. Lian mengambil dokumen dari tangan Kane, lalu menantang tatapan Kane. ‘Oh My God!’ “Ya lo lah. Emang gue tabrakan sama siapa?” ketus Lian yang mencegah Kane agar tak keterusan mencengo. “Kan gue udah minta maaf.” Lian mendengus keras. Ia lalu berdiri dari posisi bersimpuhnya. Kane menyusul. ‘dr. Kane? Oh ini si playboy RSPI?’ Lian hanya memberi Kane seringai sinis, sementara Kane menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan. Detik selanjutnya Lian pergi begitu saja, meninggalkan Kane yang tersenyum-senyum sendiri. ‘She’s beautiful!’ Saat itu, Kane tak tau jika Lian adalah putri ketiga pemilik rumah sakit tempatnya bekerja. Kane menghempaskan napas usai mengakhiri lamunannya ke masa sekitar tiga tahun yang lalu. Ia melanjutkan langkah menuju masjid yang berada di rooftop rumah sakit. Saat ia melepas sepatunya, Lian baru saja selesai bersuci dan masuk ke ruang shalat untuk wanita. Kane kembali terpekur, mengingat salah satu sifat gadis itu yang dikaguminya sejak Lian ikut mengabdikan diri di rumah sakit ini. Belum pernah sekalipun Kane melihat Lian melewatkan waktu dhuhanya terkecuali saat Lian tengah berhalangan. ‘Dimana dah gue nemu cewek baik tapi jutek, ngeselin, gemesin dan rajin ibadah kayak gitu? Kenapa lo harus bermarga Raiden sih Li?’ Kane masuk ke dalam masjid, bersuci, lalu menegakkan empat rakaat sunnahnya sebelum meninggalkan rumah ibadah tersebut. Sepatu Lian masih di sana, namun rasanya Kane hanya akan membuat gadis itu tak nyaman dengan keberadaannya bukan? Ia melangkah lebih dulu, berdiri di depan pintu lift. Saat Kane tiba di lantai dasar dan menyusuri koridor hingga ke pintu utama rumah sakit, beberapa staf tersenyum penuh makna padanya. Rasa lelahnya yang mulai terasa membuat Kane enggan menanggapi. Ia berjalan terus hingga dihadang seorang pria yang tubuhnya lebih tinggi dan atletis darinya. “Minggir, Ger! Mau balik gue,” ujar Kane pada Gary, sekretaris pribadi Zhen yang juga menjabat sebagai komisaris utama salah satu anak perusahaan Raiden Holdings. “Sampe ga nanya kabar gue pulang honeymoon! Lo panik?” Gary malah balas bertanya. “Oh iya, lo abis pesiaran ya? Gimana? Rekening aman?” “Kagak!” “Bagus deh!” “Kok bagus?” “Gue ada temennya.” “Jadi beneran lo sayang-sayangan sama Lian?” tanya Gary tanpa tedeng aling-aling. Staf admission yang mendengar tuduhan itu menahan kekehannya. “Bahasa lo kayak orang bener aja!” “Jawab dong Dok. Biar gue bisa klarifikasi.” “Menurut lo cewek selevel Lian mau ngeliat gue?” “Cewek selevel Megi aja mau gue kawinin.” “Susah ngomong sama lo, Ger.” “Makanya ga usah muter-muter. Tinggal jawab aja susah amat! Amat aja ga susah!” “Lo tanya aja sama Lian.” “Kenapa?” “Karena kalau gue jawab iya, nanti salah. Kalau gue jawab ngga, predikat playboy gue makin jadi.” “Kalau itu sih sampe mba kunti yang nungguin basement dua juga tau, Dok.” “Iya sih. Kayaknya waktu dia masih eksis di alam fana, gue pernah godain dia.” Gary malah tergelak, memang tak akan ada habisnya saling sambut guyonan dengan Kane. “Nih, Dok,” ujar Gary lagi, menyodorkan sebuah paper bag pada Kane. Kane mengintip isinya, tersenyum hangat. Sebuah pigura bertema pesiar. “Thanks, Ger. Kebetulan foto gue sama nyokap piguranya patah, belum sempat beli.” “Sama-sama, Dok.” “Gue balik ya?” “Jadi gue ga dapat konfirmasi nih?” “Ga ada yang perlu dikonfirmasi, Ger!” tandas Kane seraya berlalu pergi. *** Malam harinya, usai jogging tipis-tipis dan makan malam, Kane kembali ke rumah sakit. Waktu menunjukkan beberapa menit menjelang pukul delapan malam, masih ada sekitar satu jam sebelum shift jaganya. Ia terus melangkah, menyambangi kafe rumah sakit dengan salah satu pengunjungnya adalah Lian yang tengah menikmati makan malam ditemani sang Ibu, Alisha. Alisha biasa datang ke rumah sakit ini bersama ataupun sekedar untuk menjemput sang suami. Kane tak menegur Lian, hanya menganggukkan kepala pada Alisha saat tak sengaja tatapan mereka bersirobok. Begitu cappuccino panas pesananannya selesai, Kane melangkah kembali, menaiki lift menuju sky garden untuk menikmati waktu yang tersisa. Sebuah taman nan hijau berdinding kaca dengan beberapa jenis bunga bermekaran. Tak hanya Kane yang suka menikmati waktu di sini, beberapa dokter dan staf lainnya juga sangat menyukai area hijau itu. Ditambah lagi taman tersebut tak dibuka untuk umum, membuat keberadaan ruangan itu tetap indah, asri dan terawat. Kane menghempaskan bokongnya di salah satu sofa kulit, tempat duduk itu menghadap ke jendela kaca dengan pemandangan kota Jakarta di malam hari. Memori Kane kembali melayang, ke sebuah masa lain, juga di sekitar tiga tahun yang lalu. “Bulik? Kok ke sini? Sakit tah?” “Ngga, Mas.” “Terus?” “Mas udah selesai shiftnya?” “Iya sudah.” “Yuk makan siang sama Bulik di kafe. Mas pasti belum makan kan?” Kane mengangguk, hatinya sedikit mencelos, pikirannya pun menerka-nerka. ‘Ada apa?’ Begitu dua hidangan tersaji di hadapannya, Kane membiarkan Rina, tantenya, melap peralatan makan sebelum Kane gunakan. “Makasih, Bulik.” “Makan, Mas. Kalau kurang pesan lagi, nanti Bulik yang bayar.” Kane terkekeh, lalu mengangguk saja. Padahal harusnya ia yang mentraktir adik ibunya itu. Perempuan yang sudah merawatnya dari masa remaja hingga sebesar kini. “Bulik ke sini karena Mas belum pulang-pulang ya?” tanya Kane sebelum memasukkan suapan pertamanya. “Kurang tepat sih Mas.” “Terus?” “Karena belakangan Mas jarang pulang,” keluh Rina. “Soalnya lagi banyak kerjaan, Bulik,” dusta Kane, dan Rina sangat menyadari itu. “Mas Kane?” “Hmm?” “Bulik mau cerita dan nanya beberapa hal ke kamu, bisa kamu jawab dengan jujur?” Suapan Kane terhenti, seketika mood makannya hilang entah kemana. Ia pun mengangguk lesu. “Ini soal Amy.” ‘Deg!’ “Kemarin Bulik ketemu teman Bulik. Anaknya dia itu staf marketing di kantor Amy. Terus Mas, masa anaknya cerita kalau Amy ngerusak pertunangan orang lain. Si cowoknya itu Oki, teman satu divisinya, pacar Amy sekarang. Dan katanya, waktu di nikahan salah satu kenalannya, Amy malah nge-bully si mantan tunangannya Oki. Jadi maling teriak maling gitulah Mas kasarnya,” lanjut Rina, memberi prolog. “Teman Bulik bilang, mantannya Oki itu baru-baru ini nikah sama anak pemilik rumah sakit ini. Kamu tau, Mas?” Kane … beku! Rina menghempaskan napasnya, getir. Melihat wajah keponakannya saja Rina sudah mendapatkan jawaban. “Ya Allah … bikin malu banget itu anak!” sambat Rina. Raut wajahnya berubah gusar. “Suaminya si Mbak itu ….” “Namanya Isla, Bulik.” “Oh, suaminya si Mbak Isla, Mas Kane kenal?” “Konsulen Mas, Bulik.” “Astaghfirullah! Mau ditaruh dimana ini muka Bulik, Mas?” Kane diam, tak berani berkomentar. Apa yang dirasakan Rina sangat ia pahami. Setiap kali bertemu Isla dan Zhen pun Kane masih merasa tak enak hati karena perilaku Amy. Apalagi Amy sempat menyebar fitnah yang tidak-tidak jika Direktur Utama Rumah Sakit berselingkuh dengan Isla, ditambah keberadaannya menjadi salah satu alasan hubungan Isla dan Zhen sempat berada di titik kritis sekitar seminggu menjelang pertunangan keduanya. “Terus, kamu gimana Mas?” “Gimana apanya Bulik?” “Lah kamu kan kerja di sini toh Mas.” “Ga apa-apa, Bulik. Dokter Zhen profesional kok. Beliau ga mencampur adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan.” “Yakin kamu Mas?” “Iya, Bulik. Mas malah dapat program bantuan pembiayaan pendidikan spesialis. Ga di blokir tuh sama beliau.” Baru saja Rina hendak menimpali, Lian masuk ke kafe itu. Karena Rina dan Kane duduk di meja pertama, tentu saja Lian melewati tempat mereka. Lian mengangguk sopan, disambut anggukan pula oleh Kane. “Kamu kenal Mas?” tanya Rina kemudian. “Adiknya dr. Zhen, Bulik.” “Oh. Ayune,” gumam Rina. Ia lalu tertegun, kedua iris matanya membelalak dan hatinya mengucap istighfar. “Mas,” cicit Rina kemudian, baru sadar jika ada skenario yang menyedihkan di sini. “Iya, itu Lian yang Mas ceritain ke Bulik beberapa hari lalu. “Mas paham kok Bulik. Bulik pasti kepingin bilang supaya Mas di sini meniti karir aja kan? Jangan bersinggungan secara pribadi dengan keluarga Raiden. Mas pun malu Bulik. Tapi, sejauh ini, RSPI adalah tempat terbaik untuk Mas mewujudkan cita-cita Mas. “Bulik tenang aja. Mas belum ngikutin nasihat Bulik untuk pedekate sama Lian kok. Lian ga tau soal perasaan Mas. Mas ga jadi maju aja, Bulik. Ga apa-apa.” “Mas Kane … ya Allah, maafin Bulik yang ga ngedidik Amy dengan benar, Mas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN