BAB 2: THE DOCTOR

1730 Kata
“You know what? Bini gue minta cerai!” Kane terbatuk, tersedak iced americano yang sedang asik-asik disesapnya. Tersedaknya pun tak tanggung-tanggung, batuknya tak kenal ampun, air matanya sampai tergenang, rhinorrhea-nya pun ikut-ikutan dipenuhi ingus. Sementara Luca, sang pemberi kabar buruk itu malah menikmati setiap suapan nasi padangnya, seolah kabar perceraian yang diminta sang istri tak mengganggu kewarasannya. “Kok bisa, Dok?” tanya Kane, masih sambil terbatuk meski tak lagi seheboh sebelumnya. “Ya bisalah. Apa sih yang ga bisa terjadi di zaman edan ini?” Kali ini, terdengar sedikit nada getir di kalimat Luca. “Mungkin mitos itu benar adanya … dokter harusnya nikah sama dokter juga.” “Vika selingkuh Dok?” “Lo pikir pasangan yang cerai di dunia ini semuanya karena selingkuh?” “Ya kagak tau juga, belum pernah survey tuh,” jawab Kane sebelum menyuap Samyang cup beserta segigit sosis keju. “Gue pikir … dia bisa ngerti kesibukan gue. Pacaran tiga tahun ternyata cuma bisa bikin kami bertahan selama setahun di pernikahan. Mana dia diam aja, kan gue ga tau kalau dia melihara api dalam sekam. Hangus dah 400 juta gue. Untung ga sampe ngambil pinjaman nikah, bro!” Entah kenapa Kane jadi ga bersemangat ngunyah nasi padang terdabes yang biasanya bikin dia makan lahap sampai ga lihat tetangga lewat. “Bingung harus berkata apa,” gumam Kane dengan mulut yang masih terisi setengah penuh. “Peganganlah!” Luca menyuap lagi makan malamnya, kepingin tidur cepat, rasanya luar biasa lelah setelah mengasisteni Zhen melakukan operasi bypass tadi. Bukan … bukannya Luca cengeng, masalahnya operasi terakhir tadi adalah operasi keduanya hari ini, dan berturut-turut. Harap digaris bawahi, berturut-turut dengan total waktu tujuh jam. Kaki pegal, punggung nyeri, kantung kemih nyaris meledak. Sudah biasa! “Ga bisa dipertahanin, Dok? Baru setahun lho kalian nikah,” ujar Kane lagi. “Mas Anang udah nikah 13 tahun ujung-ujungnya cerai juga!” “Mas Anang dibawa-bawa!” “Ya udah, Mbak KD.” “Stress lo Dok!” “Yang lebih ekstrim, Lidya Kandau dan Jamal Mirdad, 29 tahun nikah, divorce juga. Mending gue mah baru setahun nikah langsung cerai.” “Gue sih sayang duit pestanya, Dok,” canda Kane. “Nah kan tadi gue bilang, hangus 400 juta gue. Masih dapet rumah satu kayaknya di Bekasi. Bujug bener!” Kane ngunyah lagi. Kriuk kriuk, menikmati paru goreng kesukaannya dengan khidmat. “Lo udah punya cewek lagi?” tanya Luca. “Ga usah bahas gue. Bukan gue star-nya malam ini, tapi lo. Jadi, kenapa lo cerai? Hot news nih, biar bisa gue sebarin sejagad RSPI! New HOT DUDA is in the house!” “Cakep!” Kane akhirnya terkekeh. “Ya ampun Dok, bisa-bisanya sih lo permintaan cerai dibikin bahan bercandaan.” “Well … mau gue tangisin pun Vika ga bakal berubah pikiran. Kayaknya gue udah ga ada di hati dia. Gue sendiri yang bikin dia ilfil,” ujar Luca setenang mungkin, meski dari nada suaranya Kane tau Luca memendam kesedihan. “Kemarin gue ribut besar sama Vika. Vika akhirnya pengen tobat nasuha punya suami dokter kayak gue. Ga ada bahagia-bahagianya kata dia.” “Dia bilang gitu?” “Hmm,” gumam Luca seraya mengangguk. “Karena lagi emosi aja kali Dok?” “Apapun alasannya. Sama aja kayak orang mabok, itu perkataan yang jujur kok. Dia bilang awalnya dia ngerasa bangga banget bisa nikah sama gue. Dokter gitu kan. Siapa yang ga bangga jadi istri dokter. Punya level tersendiri. Bisa buat nyombong saat diperlukan. Tapi ternyata, setahun bersama gue, dia sadar kalau nikah sama dokter cuma bikin kesepian dan menderita.” Luca mendengus, pedih. “Ya gue bisa bilang apa?” “Masih bisa diomongin kali Dok?” “Diomongin gimana? Jelas-jelas kemarin gue berantem gara-gara nerima panggilan sidang cerai! Gue aja ga tau kapan dia ngegugat gue.” Kane … mencengo. ‘s**t! Ngeri amat ya nikah.’ “Lo ngerasain sendiri kan biadabnya jadwal residensi? Nah lo bayangin gimana bertahannya Vika selama dua tahun pertama kami pacaran dulu. Begitu gue dapat gelar spesialis, dia pikir bakal agak senggang. Taunya, yah mana ada trauma team senggang?” Vika dan Luca mulai berpacaran saat Luca baru mengenyam residensi tahun ketiganya. Lalu menikah saat Luca memulai program fellowship tahun kedua. Luca pikir, semakin lama mereka bersama, Vika bisa memahami perannya sebagai seorang dokter trauma. Nyatanya … mungkin Vika berusaha, namun kesabarannya lambat laun kian mengikis. Kane mendengkus. Ya, ia sangat paham, mengatur life balance bagi dokter residen dan fellowship di lini trauma bukanlah perkara mudah. Terlebih menjadi pasangan mereka. Perempuan mana yang mau dinomor duakan oleh suaminya? Bahkan saat Ayah mertua Luca dilarikan ke rumah sakit karena stroke, Luca tak bisa melihatnya hingga pria itu menghembuskan napas terakhir. Satu atap, di rumah sakit yang sama, namun sang menantu justru tengah berusaha menyelamatkan nyawa lain. Naas sekali memang. Baru saja Kane menghabiskan suapan terakhirnya, seorang perawat membuka pintu ruang jaga. “Kecelakaan tunggal kendaraan roda empat, Dok. Supirnya tewas di tempat, seorang penumpang mengalami major trauma karena tak memakai seat belt,” ujar Rafi, sang perawat. Luca dan Kane mengangguk bersamaan. “Siapkan kateter, USG dan tabung oksigen,” ujar Kane. Kedua dokter itu berdiri dari duduknya, menenggak segelas air, membuang bungkus makanannya lalu gegas meninggalkan ruang jaga, menyusul sang perawat. Tak berselang lama, pasien pun tiba, terbaring dengan dua orang petugas ambulans yang berlari mendorong brankarnya. “Tanda vitalnya?” tanya Kane. “BP awalnya 100/40, lalu turun menjadi 80/40,” jawab salah satu petugas. “Saturasi?” “88, Dok.” “Beri infus dan oksigen, sepuluh liter.” “Siapkan FAST juga!” pinta Luca. “Pindahkan ke ranjang!” “Infus di kedua sisi dan lakukan tes lab.” Kane memberi instruksi selanjutnya pada Rafi. “Maaf Pak, kami akan menggunting baju Bapak,” ujarnya kemudian pada sang pasien. Sementara perawat lainnya menutup tirai yang membatasi bilik tersebut dengan bilik pemeriksaan lainnya. Begitu kain yang menutupi tubuh pasien terkoyak, beberapa memar besar nampak di bagian perut, pun membengkak. “Ini parah,” gumam Kane. “BP?” tanya Luca. “80/40, Dok,” jawab Lisa, perawat lainnya. “Anda bisa mendengar saya, Pak?” tanya Luca kemudian pada pasien. Pasien itu diam saja, namun saat Luca menekan perutnya, pria itu merintih hebat. “Mesin sonografi siap, Dok,” ujar Valen, seorang dokter internship yang bertugas malam itu. “Sudah hubungi Dokter Deni dan Dokter Rama?” tanya Luca seraya meraih transducer dan memberi gel di permukaan alat. “Sudah, Dok. Keduanya menuju kemari.” Luca mengangguk, lalu mulai menjalankan transducer di perut pasien. “Hemoperitoneum masif. Hati dan limpa terluka.” Luca memindahka transducer-nya ke bagian d**a. Mencari kemungkinan pendarahan lainnya. “Pendarahan di PLAPS, Dok!” seru Kane. Kedua dokter itu memeras otaknya, mencari skenario terbaik untuk membuat sang pasien bertahan hingga dokter utama tiba. “Saturasi oksigen menurun, Dok,” ujar Valen. Pasien pun terlihat kehilangan kesadarannya. “Siapkan intubasi,” perintah Luca pada Kace. “Saya pasang chest tube.” “Tambahkan dua kantung darah tambahan darurat dan siapkan sepuluh kantung darah berseta FFP,” instruksinya kemudian setelah selesai memasang chest tube. “Lakukan CT.” “Segera kirim ke OR!” Suara salah satu dokter utama yang baru saja tiba terdengar lantang. “Status?” “Cedera benda tumpul, vital tidak stabil, hemotoraks, dan hemoperitoneum, Dok,” jawab Kane. Deni, Dokter Spesialis Bedah Umum, memeriksa cepat, lalu menggeleng. “Bawa sekarang ke OR!” “Tapi pasien belum CT, Dok,” ujar Luca. “Kalau di CT sekarang pasien mati dalam prosesnya, saturasi masih menurun, pendarahan tak bisa dihentikan, jantungnya pasti berhenti sebelum CT selesai! Bawa ke OR!” kali ini Rama, seorang Dokter Spesialis Bedah Toraks yang bicara. “Luca, bersiap!” ujar Rama lagi. Luca mengangguk. Operasi ketiga di hari yang sama. “Dokter Anastesi?” tanya Deni pada Lisa. “Sudah bersiap di OR1, Dok.” “Oke, segera pindahkan pasien!” *** Sebenarnya, shift kerja Kane sudah berakhir sejak pukul sembilan malam tadi. Namun, kedatangan pasien trauma yang butuh penanganan cepat seperti kejadian barusan kerap membuatnya kembali masuk ke IGD. Kane melenggang keluar dari ruang jaga dengan membawa sling bag-nya. Waktu menunjukkan nyaris pukul sebelas malam, namun ia masih enggan kembali ke peraduan. Sudah sejak mengenyam masa residensi ia memilih tinggal di sebuah kosan sederhana yang tak jauh dari rumah sakit tempatnya mengabdi. Dokter residen tahun ke dua itu naik ke lantai teratas rumah sakit. Ada sebuah jembatan kaca yang menguhubungi Rumah Sakit Permata Indah dengan induk perusahaan berada, yaitu Raiden Tower. Titian itu baru satu tahun terakhir berfungsi, dan menjadi salah satu tempat healing bagi para dokter yang terlampau letih dengan rutinitasnya setiap hari. Kane menyandarkan tubuhnya di pagar pembatas antara pijakan dengan dinding kaca, menikmati kerlap kerlip lampu kota dan kendaraan yang berlalu lalang di bawah sana. Pandangannya menyapu ke setiap sudut gedung, kota kecil ini memang tak pernah ada matinya. Hingga ... Kane mendapati seseorang di sky garden yang terletak di salah satu ujung jembatan. Perempuan itu duduk di salah satu anak tangga, menghadap ke dinding kaca yang menghadirkan pemandangan yang sama dengan yang tengah Kane nikmati. Ia … mengenakan gaun pengantin. ‘Gaun pengantin?’ Kane mengikuti rasa penasarannya, menapakkan langkah, mendekat ke sky garden. Begitu sensor mendapatinya, pintu otomatis pun terbuka lebar. Kane masuk ke taman, melanjutkan derap sunyi, mengikis jarak dengan sang wanita. ‘Lian?’ Baru saja Kane ingin menegur Lian, suara tangis Lian menyapa pendengarannya. Langkahnya terhenti sempurna. Kane menyandarkan diri di dinding tangga, mendengarkan isak yang tak dikendalikan Lian sama sekali. “Lo jahat Savi! Lo jahat!” ‘Savi?’ “Lo b******k! Lo manfaatin gue untuk tidur sama cewek lain, untuk manjain cewek lain, untuk ngeruk harta gue tanpa sekalipun mikirin perasaan gue. Lo biadab! Jahat! b******n!” ujar Lian lagi. “SAVI b******n!” Kane menghempaskan napas, rasanya tak bijak jika ia terus mencuri dengar. Perlahan … Kane menjauh dari Lian, meninggalkan taman. Sebuah vending machine ia sambangi untuk mengambil sekaleng kopi. Kane lalu mengeluarkan tiga butir permen lunak dengan isian coklat, juga sebungkus kecil tissue. Tangan kanannya kemudian membuat pena menari di atas selembar pocket notes, menuliskan beberapa kata agar penerima bingkisan kecil itu tak mengira dirinya hantu. Kane lalu masuk kembali ke sky garden. Meninggalkan bingkisan kecilnya di ujung jalan keluar. Gaun itu terlampau indah untuk kamu gunakan saat menangis. Keep smiling, Lian! Cheer up! -dr. HEART-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN