Entah mengapa selalu berakhir seperti ini. Setiap hubungan kasih yang ia jalin pasti layu sebelum berkembang. Mungkin yang Kirani bilang memang benar adanya … butuh kesabaran level tinggi untuk menjadi kekasih seorang Kane. Sudahlah sibuk bukan main, dompet tipis, stylish pun tidak. Meski wajahnya tampan, jika parameter lain tak mendukung ya untuk apa? Ga akan bisa membahagiakan siapapun yang menjadi pasangannya.
Satu unit taksi yang Kane pesan online akhirnya berhenti di hadapannya. Ia masuk ke jok tengah, mengiyakan pertanyaan sang driver, lalu menutup mata. Pikirannya berkecamuk. Jika dirunut, entah sudah berapa banyak mantan pacarnya. Kisah cintanya hanya berlangsung sebentar-sebentar saja. Hitungan bulan pasti sudah berakhir. Hubungannya yang paling lama adalah dengan seorang teman seangkatannya yang kini meniti karir di sebuah rumah sakit di Surabaya. Yang lainnya ... ah sudahlah, mungkin putus cinta adalah salah satu kutukan bagi Kane.
Bukan itu saja, wajahnya yang good looking, tubuhnya yang proporsional meski tidak atletis, pembawaannya yang ramah dan friendly justru kerap membuat kaum hawa salah paham. Tak jarang mereka menyatakan perasannya pada Kane. Namun, begitu Kane menolak halus, justru ia yang mendapat gelar playboy karena issue hobi PHP bahkan meng-ghosting para wanita. Ada-ada saja!
Kane menghempaskan napas, merasa kehidupan cintanya sungguh tak masuk akal.
Namun … tidak dengan profesinya. Menjadi seorang dokter adalah hal yang paling masuk akal baginya. Kane mencintai pekerjaannya. Sangat!
Menjadi seorang dokter adalah impiannya sejak SMP. Di masa pubertasnya, ia hidup dengan seorang Ibu yang mengidap kanker rahim. Bertambah hari sel-sel kanker itu tumbuh tanpa mengenal kata kasihan. Kane menyaksikan sendiri bagaimana Ibunya kesakitan saat sang Ayah melarikan beliau ke rumah sakit. Ia gelisah menunggu kabar. Hingga beberapa jam kemudian, Ayahnya mengabarkan jika sang Ibu sudah tutup usia.
“Kane kesepian ya jadi anak Mama?”
“Hah? Ngga.”
“Mama kira kesepian.”
“I’m fine, Ma.”
“Kane lagi apa sih, Nak?”
“Gambar. Ada PR Biologi.”
“Bagus gambarmu.”
“Mama kan juga pintar gambar.”
Ifa, sang Ibu, mengelus lembut kepala putranya.
“Nanti pas SMA sambil les manga mau?” tanya Ifa lagi.
“Buat apa? Kane ga kepingin jadi komikus lagi.”
“Lho, kenapa? Memang sekarang Kane cita-citanya apa?”
“Jadi Onkolog. Mau nyembuhin Mama.”
Getir. Setiap kali moment deep talk terakhir dengan Ifa berputar di ingatannya … rasa pahit dan sesak itu kembali menyapa.
Kane adalah putra tunggal dari Ifa Adsila dan Fathan Bakhtiar. Dulu, saat Ifa masih hidup, keluarganya adalah surga bagi Kane. Seluruh perhatian keduanya tumpah padanya. Meski pasangan itu tak serta merta mengabulkan semua keinginan Kane, namun cara mereka mengasuh, mendidik, dan menyayanginya membuat Kane bangga memiliki Ifa dan Fathan sebagai orang tua.
Hingga tsunami itu menghancurkan makna kebahagiaannya. Ifa pergi tanpa sempat mengatakan apapun baik pada Kane ataupun Fathan. Rasa sakit itu tiba-tiba saja tak tertahan, membuat Ifa berada di ambang kesadaran, lalu pergi selamanya beberapa jam kemudian. Rumahnya terasa kosong, tak lagi nyaman dan hangat seperti sebelumnya.
Fathan menenggelamkan diri dalam kesibukan. Kane yang dalam usia tanggung seperti itu seharusnya memiliki sosok Ayah sebagai teman, justru sendiri menghadapi hari-harinya. Untunglah ia tak berubah menjadi anak nakal pelanggar etika.
Di satu hari, Kane jatuh sakit. Fathan sudah tiga hari tak pulang ke kediamannya, hanya bolak balik mengirimi Kane uang untuk sangu sekolah dan membeli makan selama Fathan tak bersamanya. Entah apakah kebetulan, adik sang Ibu – Rina, datang berkunjung. Melihat keadaan keponakannya yang tak terurus, Rina menahan geramnya, kecewa akan sikap Fathan. Kepergian Ifa bukanlah kesalahan Kane, lantas mengapa darah daging kakaknya itu justru disia-siakan?
Setelah pembicaraan yang cukup alot, akhirnya Kane menyatakan bersedia tinggal bersama Rina. Ia melanjutkan jenjang SMAnya bersama keluarga kecil itu. Kane tak pernah menyangka jika keputusannya mengikuti Rina justru membuat Fathan melupakannya. Beralasan sibuk, sungguh jarang sang Ayah menghubungi, meski sekedar bertanya bagaimana kabarnya.
Setahun berselang, Fathan datang berkunjung. Rasanya teramat bahagia bagi Kane. Ayahnya yang ia rindukan akhirnya datang untuk melihat keadannya. Sayangnya, anggapan itu tidaklah benar. Fathan justru datang tak sendiri, melainkan dengan seorang perempuan yang Kane tak kenali siapa. Fathan datang untuk menginformasikan rencana pernikahannya dengan perempuan itu.
Fathan dan Kiara, nama ibu tirinya, akhirnya menikah. Kane pikir, ia akan mendapat ajakan untuk hidup bersama. Bukankah normalnya seperti itu?
“Saya titip Kane, ya Rin, Hen.”
“Lho Mas, kan udah ada istri baru. Masa Kane ga kamu bawa?” protes Rina saat Fathan datang beberapa hari setelah pernikahannya. “Saya bukan keberatan Mas. Saya ga pernah beda-bedain Kane, Amy dan Aris. Kane pun sayang dengan kedua adiknya di sini. Tapi apa kamu ga mikirin perasaan Kane Mas? Gila kamu ya?”
“Kane terus mengingatkan saya pada Ifa, Rin.”
“Jadi kamu menyalahkan Kane atas kematian Mbak Ifa? Bener-bener gila ini orang!”
“Sayang, sudahlah,” lerai Hendi, suami Rina. “Pergilah, Mas. Jalani rumah tanggamu. Tapi sebelum Mas pergi, bicaralah pada Kane. Kane juga perlu penjelasan. Dan kelak, hubungilah Kane dengan rutin. Kehilangan ibu sudah cukup menyiksanya, jangan Mas tambahkan dengan ia pun harus kehilangan sosok Ayah.”
Fathan mengangguk. Ia berdiri dari duduknya. Baru beberapa langkah, ia mendapati sang putra berdiri di balik dinding yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga kediaman Hendi.
“Kane,” lirih Fathan.
Kane tak menggubris. Ia melewati sang Ayah, melangkah setengah berlari, masuk ke kamarnya di lantai dua. Hatinya perih bagai teriris sembilu. Benar apa yang dikatakan Hendi, kehilangan Ibu sudah meremukkan hatinya, dan kini sang Ayah pun turut menghajar jiwanya telak.
“Mama … kenapa Mama ga ajak Kane?”
“Sudah sampai, Mas.”
Suara driver di balik kemudi menyadarkan Kane dari lamunannya. Ia mengangguk, memastikan tak ada barang yang terjatuh atau tertinggal sebelum turun dari MPV berwana abu-abu metalik itu tepat di depan bangunan kosannya.
Seharusnya Kane bisa tinggal di rumah bersama para dokter residensi yang disediakan oleh pihak rumah sakit. Namun, berhubung rasanya terlalu monoton, Kane akhirnya memutuskan untuk mencari tempat tinggalnya sendiri. Sudahlah di tempat kerja bertemu residen lain, masa iya di rumah pun begitu? Membosankan sekali.
Rina seringkali meminta Kane agar pulang dan tinggal kembali di kediamannya. Namun, jarak yang terbilang lebih jauh dari RSPI, ditambah konfliknya dengan Amy beberapa waktu lalu, membuat hatinya tak nyaman untuk menerima permintaan Rina. Dengan alasan panggilan darurat yang tak kenal waktu, Kane memberi pengertian pada Rina jika ia harus selalu dalam posisi dekat dengan rumah sakit. Bukan dusta, meski juga tak jujur sepenuhnya.
Begitu tiba di kamarnya, Kane menyambar kotak s**u satu liter berwarna biru dari kulkas kecil di salah satu sudut. Ia menenggak langsung isinya hingga habis setengahnya. Setelahnya Kane membuka satu demi satu kancing kemejanya, menanggalkan kaos dalam dan jeans belelnya, lalu naik ke atas kasur hanya dengan boxer yang tersisa. Dalam hitungan beberapa detik, ia pun terlelap segera.
***
Kane Seiya: Mama, Kane putus lagi.
Kane Seiya: Hahaha! Lucu ya Ma. Kane dokter, tapi ga ada yang tahan jadi pacar Kane.
Kane keluar dari aplikasi chat-nya, mengunci layar ponsel, lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam saku snelinya. Mengirim pesan ke nomor lama sang Ibu masih menjadi terapi terbaiknya hingga kini. Pukul 20:30 wib, masih ada waktu setengah jam sebelum shift kerjanya dimulai.
Bukan perkara mudah menjadi seorang Dokter bagi Kane. Meski ia memang selalu menjadi salah satu siswa terbaik selama jenjang sekolah dasar dan menengah pertama, namun di masa-masa SMA, sulitnya meraih cita-cita baru ia rasakan.
Ia tau jika Rina dan Hendi tak pernah membeda-bedakannya dengan kedua anak kandung mereka. Ekonomi keluarga itu juga bisa dibilang lebih dari cukup meski tak bisa juga digolongkan kaya raya. Keberadaan Kane di tengah-tengah mereka tak pernah membuat Rina dan Hendi kesulitan keuangan.
Namun, Kane tetap tau diri. Ia mencari beasiswa sejak naik ke kelas dua SMA, lalu kuliah dengan program pembiayaan yang sama. Saat koas pun ia menyambi dengan membuka jasa desain grafis dan menjual hasil karyanya secara online. Lumayan, ia tak perlu meminta uang makan pada Rina dan Hendi, apalagi pada Fathan yang keberadaannya entah dimana dan bagaimana. Saat koas selesai dan ia perlu memutuskan tempat untuk mengambil program magang, ia sudah menargetkan RSPI sebagai tempatnya melanjutkan jenjang pendidikan. Selama masa magang pun ia berusaha mati-matian menjadi salah satu internship terbaik agar program bantuan pembiayaan pendidikan spesialis bisa jatuh ke tangannya. That was really hard, but he did it!
“Obatnya banyak banget ya Mbak?” keluh seorang pasien pada Lian. Kane yang memang harus melewati bagian farmasi jika menuju IGD, menghentikan langkahnya, berpura-pura mengamati ikan berwarna-warni di akuarium yang letaknya tak jauh dari Lian berdiri.
“Obat tensi harus diminum seumur hidup, Bu,” ujar Lian, lembut.
“Bisa rusak dong ginjal saya.”
“Minum obat tensi seumur hidup tidak akan merusak ginjal ibu. Bahkan obat ini melindungi ginjal dan jantung Ibu. Mencegah Ibu mengalami gagal jantung.” Lian memulai penjelasannya. “Rokok dan beberapa makanan yang dikonsumsi bisa membuat aliran darah ke ginjal menurun. Kalau sudah begitu, ada salah satu zat yang diproduksi oleh hati Ibu berubah menjadi agresif. Agresifnya gimana? Zat itu bisa bikin pembuluh darah ibu menciut alias menyempit. Kalau pembuluh darah menyempit, otomatis tensi ibu naik lagi. Nah obat Ibu ini akan membuat pembuluh darah Ibu kembali lapang. Tapi kalau Ibu ga minum, pembuluh darahnya akan semakin rusak, sel jantung Ibu bisa ikutan rusak dan ujung-ujungnya mengakibatkan gagal jantung. Jadi, Ibu ga usah takut, justru obat ini akan membuat ginjal dan jantung Ibu aman.”
“Oh gitu ya Mbak?”
“Iya, Ibu.”
“Baik kalau begitu, saya ambil semua, Mbak.”
“Silahkan ditunggu ya Bu.”
Wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah, duduk di sebuah kursi panjang, sementara Lian memproses resep obat agar disiapkan oleh team-nya.
“Ngapain lo Dok?” tegur Lian pada Kane.
Kane menoleh, mengikis jarak dengan Lian hingga hanya terpisahkan meja penerimaan.
“Kok belum pulang?”
“Mau nginap di tempat Kak Isla.”
“Oh, lo nunggu Isla?”
“Iya,” jawab Lian. “Lo baru mau tugas, Dok?”
“Yoi. Betewe, penjelasan lo tadi keren Li.”
“Oh, thanks. Semacam kebiasaan saat jadi medrep dulu.”
“Kayaknya team lo harus bisa begitu juga.”
“Ada beberapa yang bisa, yang lain masih di training. Emang harus sih. Kadang pasien suka nanya detail soal obat.”
Kane merogoh saku snelinya, mengambil dua butir permen lunak berisi coklat. Satu butir ia sodorkan untuk Lian, satu lagi ia konsumsi sendiri.
Lian terpegun. Ia mengenali permen itu.
‘Ah, permen begini kan di minimarket juga ada! Ga usah baper sih Li!’
“Ya udah, gue ke IGD ya,” ujar Kane kemudian.
Lian mengangguk, meski tak mengatakan apapun. Hingga saat sosok Kane akan menghilang di sudut koridor, Lian memanggilnya kembali.
“Dokter Kane!”
Kane menghentikan langkah, berbalik menghadap Lian. “Apa?”
Lian justu terdiam. Bingung sendiri.
“Li?”
‘Ih ngapain juga gue nyari tau si dr. Heart itu siapa. Penting amat!’
“Ga jadi Dok.”
“Serius?”
“Iya. Fighting, Dok!”
Kane terkekeh, senyum maksimalnya pun terbit. Mungkin untuk beberapa saat, ada desir aneh yang Lian sempat rasakan.
“Fighting! Thanks, Li!”
“Sama-sama Dok.”
‘Anjiiir, jangan sampe gue ngegebet playboy cap kampret!’