MY CUTEST CEO'S EPS-7

1458 Kata
“Selamat sore Nona, tuan muda Bieito sudah menunggu di mobil,” sapa Rico saat menjemput Tamara yang sudah tiba di terminal. “Oh iya makasih pak,” jawab Tamara singkat. “Sama-sama. Tas nona hanya ini saja?” tanya Rico setelah melihat hanya sebuah tas besar yang dibawa oleh Tamara. “Iya pak.” “Baik.” Tamara berjalan bersama Rico menuju mobil. Sudah ada Kenzo yang menunggui mereka di dalam mobil. “Silahkan Nona duduk di belakang bersama Tuan Muda,” saran Rico dan membuka pintu untuk Tamara. “Oh iya pak,” jawab Tamara canggung. Setidaknya kali ini Rico sikapnya lebih baik dibandingkan sebelumnya. “Hai!” sapa Kenzo dengan gaya sok cool, tidak lupa kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. “Ehm sok banget sih.” “Hahaha…Tam-tam gak seru ih. Kangen…” Kenzo memajukan wajahnya dan merentangkan tangannya ingin memeluk Tamara tapi dengan telunjuknya Tamara mendorong dahi Kenzo. “Gak!!! Gak usah peluk-peluk.” “Hmm…pelit banget. Ya udah pak Rico langsung ke rumah aja yah,” perintah Kenzo. Sepanjang jalan mereka saling bercanda, Rico berusaha sekeras mungkin untuk tidak tersenyum akibat kekonyolan mereka berdua. Ingin diabaikan, tapi kedengaran, malang sekali nasib Rico yang menyandang imej seorang pria yang dingin. Pagar tinggi menyambut mobil mereka. Sudah ada dua orang bertubuh kekar menjaga pintu masuk rumah tersebut. Hanya terlihat taman yang indah. Belum tampak rumah yang akan ditinggali Tamara selama bekerja dengan Kenzo. Setelah pintu pagar terbuka, mobil itu kemudian melaju melewati pohon yang rindang dan taman bunga dengan bunga yang bermekaran dengan indah. “Ijo, rumahnya masih jauh yah. Jauh banget sih dari pager,” bisik Tamara. “Sabar...lihat aja,” jawab Kenzo mengedipkan matanya. Mereka akhirnya tiba di rumah atau lebih tepatnya istana, tapi bisa saja disebut kastil seperti kastil jaman dulu. Bergaya klasik, tapi tak tampak menyeramkan. Semua pelayan berdiri berjejer sepanjang pintu masuk berbaju layaknya maid. Dalam pikiran Tamara, apakah saat ini dia sedang berada di negeri dongeng, apa hubungan Kenzo dengan Kerajaan Inggris ataukah Kenzo dan dirinya saat ini dalam acara tv yang sering nge-prank orang-orang. “Eh malahan ngelamun. Yuk!” ajak Kenzo dan menarik tangan Tamara. “Wuah…!?” ucap Tamara takjub melihat sekeliling rumah. “Mingkem...mingkem!” ejek Kenzo. Plak! Sekali lagi lengan Kenzo jadi sasaran Tamara, untung saja Rico sedang tidak berada di samping mereka. Rico menyempatkan memberi arahan kepada Pak Slamet kepala pelayan di istana Kenzo untuk memberikan sebuah kamar bagi Tamara. “Nyebelin. Ini beneran rumah kamu Jo’. Seriusan? Kamu gak jadi pemain sinetron azab kan? Pemuda miskin yang menjadi kaya, tapi sombong akhirnya jatuh miskin,” tebak Tamara asal. “Dih, doanya jelek banget. Gaklah. Kaget kan kamu, aku aja baru sebulan ini tidurnya masih belom nyenyak. Langit-langit kamarnya tinggi banget, serasa gimana gitu,” curhat Kenzo. “Tapi gak angker kan?” tanya Tamara lagi. Apalagi melihat banyak lukisan, bahkan di sudut rumah ada baju perang atau disebut zirah dengan memegang tombak dan pedang. “Kalau takut, kamu tidur aja di kamar aku. Biar aku peluk biar kamu gak ketakutan,” Kenzo menaik turunkan alisnya untuk menggoda Tamara. Padahal setahu Tamara sejak kecil Kenzolah yang penakut terlebih dengan kegelapan. “Yah itu sih, niat kamu,” cibir Tamara. “Ehm…permisi Tuan Muda, nona Tamara. Kamar anda sebelah sini, biarkan Pak Slamet tunjukkan jalannya,” interupsi Rico. “Oh iy-iya.” “Iya Tam, maaf aku gak bisa nganterin kamu. Aku ada urusan sore ini. Kita ketemu makan malam yah?” Tamara hanya mengangguk mendengar perkataan Kenzo. Tamara mengikuti langkah pak Slamet. Pria paruh baya itu berjalan di depan. Sedangkan dua orang lainnya mengikuti di belakang Tamara memegang tas Tamara. Ada banyak pintu dan ruangan yang dilewati Tamara hingga beberapa kali dia salah menebak lokasi kamarnya. Walaupun itu hanya di dalam hati. “Silahkan Nona,” Pak Slamet mempersilahkan Tamara masuk ke dalam kamar Sama seperti di ruang tamu, di kamar ini juga Tamara takjub dengan besarnya kamar yang dimilikinya. Kamar serba putih, tempat tidur yang empuk, kamar mandi besar dan walk in closet. Barangnya hanya tas besar gak akan muat buat mengisi walk in closet tersebut. Sret… Pak Slamet membuka tirai di samping tempat tidur dengan sebuah remote control dan ternyata pemandangan mengarah ke kolam renang. “Maaf Nona, ini atas perintah Tuan Muda. Katanya anda menyukai pemandangan kolam renang.” “Ah iy-iya. Semuanya saya suka kok pak.” “Taruh barang nona disini. Keluarkan isinya dan atur ke dalam lemari masing-masing,” perintah Pak Slamat kepada kedua pelayan yang masih berdiri. “Eh gak usah pak. Biar saya aja,” tolak Tamara sungkan. Lagian barang segini, malu-maluin buat dimasukin ke dalam lemari, ucap Tamara dalam hati. Setelah menunduk dan berpamitan ke Tamara. Pak Slamet dan dua pelayan lagi, meninggalkan Tamara agar bisa beristirahat. Perjalanan yang melelahkan, ruangan yang nyaman membuat kelopak mata Tamara terbuai dengan sendirinya. Dirinya tertidur dengan lelap dan seolah menikmati kehidupannya sekarang ini. “Tim-Tam! Yuhu…Tim-Tam! Buka dong!” ketukan pintu penuh semangat dari Kenzo membuat tidur lelap Tamara terganggu. Tamara mengucek matanya sejenak, dan mengamati pandangan sekitarnya takutnya tadi hanyalah mimpi indahnya. Ternyata tidak, semuanya sama. Ruangan yang sama dengan yang tadi dimasukinya. “Ya tunggu!” seru Tamara menuju pintu. “Udah bangun kamu?” Kenzo memaksa masuk ke dalam kamar dan seenaknya melompat ke arah ranjang, baring di tempat tidur Tamara, mengecek empuk tidaknya tempat tidur Tamara. “Dipaksa bangun. Kenapa sih?” Tamara berdiri bersidekap ke arah Kenzo yang berbaring. “Udah jam makan malam Tam-Tam, kamu gak laper yah?” Kenzo bangkit dan mendekat ke arah Tamara. “Aku gak suka yah pipi gembul kamu menipis, nanti Ambu marahin aku,” cubitan gemas Kenzo di pipi Tamara, dan dibalas tatapan tajam Tamara. Krukk…krukk… “Wah, gak perlu dijawab dong. Perut kamu udah ikutan absen,” goda Kenzo lagi. “Hehehe iya.” “Udah…ayuk!” ajak Kenzo dan menggandeng tangan Tamara menuju meja makan. “Eh pak Rico disini juga,” ucap Tamara kaget melihat Rico sudah duduk di meja makan menunggu keduanya. “Iya dia tinggal bareng kita. Kamarnya di ujung sanam” tunjuk Kenzo ke arah berlawanan dari kamar Tamara. Tamara mengangguk-angguk mengerti. Lagian rumah ini terlalu besar untuk ditempati Kenzo sendirian. Setelah duduk di samping Kenzo dan Rico di seberang meja berhadapan dengan Tamara. Satu persatu pelayan membawa makanan ke hadapan mereka. Meja panjang itu seketika penuh dengan sajian makanan. Berbagai macam makanan disuguhkan. “Hahaha, aku kirain makanan kita udah kayak makanan bangsawan Jo’. Ternyata masih juga makanan Indonesia yah,” ucap Tamara blak-blakan, Kenzo hanya tersenyum geli sedangkan Rico geleng-geleng kepala mendengar perkataan Tamara. Jiwa dan raganya seakan lelah untuk menegur Tamara dengan segala tingkah lakunya. Sudah cukup Tuan mudanya dengan sikap di luar nalar, ditambah Tamara makan beban hidupnya seketika menjadi lebih berat. Sungguh miris kehidupannya saat ini. “Iya benar Nona, ini keinginan Tuan Muda. Dia lebih menyukai makanan asli Indonesia,” kali ini Pak Slamet menjawab dengan sopan. “Oh gitu.” “Bawel ih. Makan yang banyak yah Tim-Tam. Sekarang aku bales semua makanan yang kamu berikan dulu. Kamu makan sepuasnya sekarang,” Kenzo menyendokkan aneka macam lauk ke dalam piring Tamara. Ketiganya makan dengan lahap, sebenarnya Tamara agak risih dengan pelayan di sekitar mereka yang hanya berdiri dan menatap mereka menyelesaikan makan malamnya. Tamara mencoba berbisik ke Kenzo, dan Kenzo menjawab bahwa ini aturan yang sudah lama dilakukan sedari dulu kakek Kenzo hidup. Mau tidak mau Kenzo mengikutinya, bahkan beberapa kali menolak tapi pak Slamet malah mengancam akan keluar dari pekerjaannya jika Kenzo masih memaksa. Mereka berdiri memastikan majikan mereka menikmati makanan, dan menunggu perintah takutnya mereka memerlukan sesuatu. “Terima kasih pak Slamet, makanannya enak,” ucap Tamara sopan. “Sama-sama Nona,” Jawab pak Slamet hormat. Ketiganya berpindah ke ruangan tengah. “Di rumah, pak Rico masih make kemeja juga yah. Rapi banget sih kayak ke kondangan,” ejek Tamara ke Rico yang sedari tadi diperhatikannya di meja makan. “Hahaha, iya kan Tam-tam. Aku juga mikir kayak gitu,” sekali lagi keduanya membuat Rico ter-bully dengan dramatis. Sebenarnya apa anehnya memakai pakaian rapi, tentu saja hak berpakaian adalah hak semua orang bukan. “Eh Tim-tam, kata pak Slamet kamu nolak buat naruh pakaian kamu di lemari kenapa?” tanya Kenzo penasaran. “Ehm, lemarinya gede banget. Baju aku seuprit, jadi insyekur-lah mereka,” keluh Tamara. “Gimana kalau kita belanja pakaian buat kamu besok?” usul Kenzo. “Benar Tua muda, saya setuju saran anda. Nona Tamara kan adalah asisten pribadi anda. Setidaknya dia harus berpakaian layak dan pantas,” tegaskan Rico. “Kamu yang beliin?” tanya Tamara mengetes. “Iya dong. Aku yang bayarin. Besok kan minggu, Senin baru kita masuk kantor jadi ada waktu buat belanja-belanja,” jawab Kenzo. “Mau!!!” seru Tamara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN