Tamara POV
Pekerjaan mudah dan banyak gaji ternyata akhirnya jatuh juga di tanganku plus dapat bos temen sedari kecil, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan.
Tugasku yang hanya mengatur jadwal Kenzo tiap harinya, membuatku bahagia dan terkesan santai diawal. Tapi kenyataannya hanya di hari pertama bekerja jadwal Kenzo banyak yang lowong. Setelah itu, hari-hari berikutnya dia sangat sibuk. Kasihan sih ngeliat wajah lelahnya, pengen ngasih support tapi takut jatuhnya baper. Ya udah sok professional aja.
“Selamat siang pak,” mendadak Tissa bangkit dan menyapa Kenzo dan Rico yang berjalan terburu-buru menuju ruangannya. Wajah Kenzo kelihatan kalut dan kesal. Baru kali ini aku ngeliat wajahnya yang seperti itu. Akupun ikutan bangkit dan saling menatap dengan Tissa, seolah dari tatapan mata kami berbicara satu sama lain. Dia hanya mengedikkan bahu, aku juga.
“Nona Tamara, dipanggil Tuan Muda ke ruangannya,” wajah Rico menyembul di balik pintu dan memanggil ke arahku.
“Oh iya Pak Rico,” ucapku singkat.
“Semangat yah mba Ara, semoga gak dapat semprot dari Tuan Kenzo,” ucap Tissa, mendadak perasaanku juga takut jadinya.
“Gaklah, aku salah apa,” jawabku menyemangati diri sendiri.
Tok…tok…tok…
“Masuk!!!” kali ini aku dengar suara Kenzo.
“Silahkan duduk nona Tamara,” Rico mempersilahkanku untuk duduk. Jujur kali ini, aku yang gak tahu apa-apa mendadak panik.
“Pak Rico, emang berapa persen sih saham mereka di perusahaan ini,” ucap Kenzo sambil memijit pelipisnya.
“Hanya sedikit Tuan Muda, tapi jika kesemuanya dikumpulkan hampir mencapai 20%. Saya minta maaf Tuan, ini kelalaian saya. Saya akan membungkam mulut mereka semua yang merendahkan anda tadi. Hal ini tidak bisa dibiarkan,” aku lihat raut wajah marah Rico.
“Bisa dengan menghilangkan nyawa mereka saja,” tatap Kenzo. Rico sempat kaget dengan ucapan Kenzo itu, terlebih aku yang duduk dan hanya jadi penonton.
“Jo’,” kali ini aku memotong ucapan Kenzo, ucapannya membuat napasku tercekat, mengapa Kenzo bisa menjadi sekejam ini sih.
“Becanda Taaaam, ih serius amat,” Kenzo tersenyum ke arahku dan aku akhirnya bisa bernapas lega di tidak serius dengan ucapannya.
“Pak Rico, bisa tinggalkan kami berdua gak?” pinta Kenzo ke Rico.
“Baik Tuan Muda. Tapi ini sudah jam makan siang, apakah saya pesankan saja makanan?” Rico melirik ke arah jam tangannya.
“Iya pesan aja, tiga porsi,” Rico mengangguk dan pamit mundur meninggalkan kami berdua di ruangan Kenzo.
“Kamu kenapa sih Jo. Sampai nekat hilangin nyawa orang. Di rapat tadi ada masalah apa?” tanyaku penasaran.
Kenzo bangkit dan duduk di sampingku, “Mereka raguin kepemimpinan aku Tam, mereka gak percaya sama aku yang hanya tamatan SMU, katanya aku hanya bermodalkan keberuntungan karena mewarisi darah Lucio Bieito,” curhat Kenzo dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Ya udah kamu buktiin lah Jo, dari kecil kamu pinter. Jangan rendah diri kayak gini. Mulut pedas mereka ganti dengan prestasi. Nanti bosen sendiri kok,” ucapku menyemangati Kenzo. Toh nyatanya emang dia pinter dari dulu, tapi yah gitu dia santai banget.
Kenzo menegakkan kepalanya “Gitu yah Tam. Ah…kamu ngasih support gini, bikin penuh aja sih,” tatapnya.
“Apanya yang penuh?” tanyaku tidak mengerti.
“Tabungan cintaku semakin penuh buat kamu, pas jadi milikku nanti hehehe…”
“Astaga,” aku menepuk jidatku. Sesingkat ini merubah mood Kenzo. Padahal aku udah takut banget dia akan ngamuk seperti dugaan Tissa tadi.
“Tam, kamu tahu gak. Aku tiap sore sehabis ngantor. Aku kuliah private loh di rumah. Belajar bahasa Inggris, belajar gimana mengelola perusahaan dan banyak lagi. Semua atas permintaan Pak Rico, bener-bener deh Pak Rico nyiksa aku. Aku lelah banget Tam,” curhat Kenzo.
“Jadi itu yang bikin kamu gak pernah keliatan. Sehabis makan malam kamu udah ilang,” ucapku.
“Iya Tam. Nyesel aku dulu gak serius belajar Bahasa Inggris, sekedar yes no yes no aja kan. Kamu tahu Tam, karena muka buleku ini, orang yang tiap ketemu pasti ngomong Bahasa Inggris. Terpaksa Rico bohong kalau aku hanya pandai bahasa Portugis karena asal keluargaku dari Brazil.”
“Hahaha, serius. Konyol banget alesannya.”
“Tapi kata guru private aku, ngomong Bahasa Inggris harus dipraktekin terus biar gak lupa Tam. Contohnya I Loph you.”
“Bukan I loph you Jo, tapi I love you,” ralatku.
“Ah beneran Tam, kamu cinta sama aku. Aku juga…”
“Ngejebak nih. Gak seru ah mainnya,” aku merajuk dan bersidekap.
“Hahaha Tam-Tam, ngambek,” Kenzo mengacak-acak rambutku. Rambutku yang diacak, hati juga ikut acak-acakan. Dasar ni bule, gak bisa yah gak bikin baper anak gadis orang.
Tok…tok….tok…
“Permisi, Tuan muda. Makanannya sudah datang,” aku denger suara Rico di balik pintu.
Kami akhirnya makan bertiga dan mencoba melupakan kejadian tadi siang di rapat.
Selepas makan siang, Kenzo punya agenda pertemuan dengan pimpinan di perusahaan rekanan. Aku tahu soalnya aku kan yang pegang jadwalnya.
Kenzo ngajakin aku buat ikut, biar gak ribet katanya. Setelah dari pertemuan itu kami rencana langsung balik ke rumah. Kami bertiga kan trio, dengan aku yang paling manis, narsis mode on. Rico udah emang mukanya triplek datar, Kenzo nih yang bahaya, udah ganteng mulutnya juga manis, serasa dimadu, eh bukan kali amit-amit dimadu. Mulutnya semanis madu, juara gombal level acara tujuh belasan.
Tiba di gedung perusahaan itu, aku hanya menemani Kenzo dan Rico hingga di ruang tunggu. Kelamaan nunggu, aku turun ke lantai bawah nyari minuman. Gak tahu cuaca kayak panas banget, matahari udah kayak tujuh di kepalaku ini.
“Aduh,” pekikku saat bertabrakan dengan seseorang.
“Astaga, maaf mba. Saya buru-buru,” ucap orang yang menabrakku.
“Eh pak Gery, bapak disini?” ucapku tidak percaya saat melihat sosok pria di depanku ini. Pak Gery adalah kepala bagian kami saat bekerja di pergudangan. Pribadi yang menyenangkan, mengayomi dan juga baik. Sebenarnya sih, aku juga agak tertarik tapi hanya mampu memuja di dalam hati.
“Tamara kan? Tamara Anjani?” bahagia banget dia masih inget aku.
“Iya pak,” akupun mengangguk dan menampilkan senyum sejuta wattku.
“Kok kamu bisa disini?” tanyanya heran dan menatap sekeliling. “Udah lama bekerja di Jakarta?”
“Iya pak baru aja sih, beberapa hari ini baru pindah dari Bandung ke Jakarta,” jawabku.
“Bapak bekerja di mana?” balik bertanya.
“Iya syukurnya sudah jadi manajer di sebuah perusahaan.”
“Wah bapak hebat, udah level manajer. Kariernya tambah meningkat,” ucapku takjub dan dia hanya tersenyum ramah. Kenapa dia masih kelihatan mempesona sih.
“Yah alhamdulillah. Terima kasih. Eh kapan-kapan kita ngobrol lagi yah, kebetulan ada pekerjaan yang mendesak. Ini kartu nama saya, kamu bisa hubungin saya kapan saja,” Gery berlalu dan aku masih menatap takjub akan sosoknya.
“B-b-baik pak,” ini aku masih malu-maluin aja. Ngapain gagap sih di depan Gery. Dia hanya tersenyum dan menepuk bahuku singkat.
Dret dret dret
“Halo Tim-tam? Kamu dimana sih,” ehm suara bosku, di ujung sana.
“Iya Jo. Aku dibawah di coffeshopnya.”
“Oh ya udah aku turun sekarang. Kita balik.”
“Okey aku tungguin kamu.”
Sembari menunggu aku memasukkan kontak Gery ke dalam handphone-ku. Lima menit menunggu Kenzo sudah berjalan didampingi Rico, aku pun menghampirinya dan ikut berjalan di sisi lain menuju mobil yang sudah terpakir di depan lobi perusahaan ini.
Di dalam mobil aku masih senyum-senyum karena berbalas pesan dengan Gery.
“Kamu chat-an sama siapa sih?” tanya Kenzo, aku melirik sebentar dan kembali menatap handphone-ku. Padahal Gery hanya menulis pesan kalau sabtu ini dia pengen ngajakin aku keluar, katanya biar kenal tempat hangout di Jakarta. Semakin dibaca malah bikin aku semakin senyum-senyum geli sendiri. Astaga gini kali ketemu dengan secret admirer setelah sekian purnama, indah banget.
“Tim-tam, hallloooo….anybody home?” Kenzo sekali lagi mengibaskan tangannya di wajahku. Dia ngira aku kesambet kali.
“Iya apaan sih Jo. Rese banget,” tegurku.
“Ya kamu, ngapain sih natap ponsel sambil senyum-senyum,” ucapnya lagi. Aku yang dengan bodohnya melupakan untuk membalas pesan Gery karena takjub soal ajakannya. Setelah menuliskan kata iya, dan menekan kirim, Kenzo yang masih penasaran malah merebut handphone-ku dari tanganku.
“Astaga Kenzo apaan sih rese yah,” aku pukul pelan bahunya.
“Ambil aja!” nih anak malah ngelunjak banget. Dia malah menaikkan tangannya tinggi sehingga aku semakin sulit untuk menggapai handphone-ku.
“Ehm…ehm…maaf Tuan Muda, nona Tamara. Kita ini masih di jalan, apakah tidak menimbulkan kecurigaan bagi orang-orang melihat mobil goyang di tengah jalan. Bisakah kalian bertindak sesuai umur kalian?” udah kalau pak Rico udah bersabda, kelakuan kami udah di jalur illegal.
Kami akhirnya kembali duduk di tempat masing-masing dan pura-pura lupa akan kejadian tadi setelah aku rebut paksa handphone-ku dari tangan Kenzo. Aku melirik tajam ke Kenzo dan dia dengan santainya mencibir, dih dasar bocah.