Raline merapikan meja kantornya, melihat jam di atas mejanya menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah tiga hari ia bekerja di Bastiaan Group. Hari ini Lonan menyuruhnya pulang lebih awal, tapi Raline menolak. Banyak pekerjaan yang masih harus ia kerjakan. Sarah, sekretaris lama Lonan sudah memberikan semua berkas-berkas yang harus dipelajari Raline untuk menggantikannya. Raline setidaknya harus menguasai pekerjaannya, agar tidak ada orang yang meremehkannya lagi - terutama Arie Bastiaan.
Kantor itu sudah sepi ketika Raline keluar. Lift di depannya berhenti dan dua orang yang tak ia duga berdiri di depannya, "Pak Lonan," panggil Raline.
Perempuan itu cukup terkejut melihat Lonan yang memegangi tubuh Arie. Laki-laki itu terlihat mabuk dan tidak bisa berdiri dengan tegak. Lonan terlihat kesusahan membuat Arie tetap berada di sampingnya. Apa yang dilakukan dua pria itu malam-malam di kantor dalam keadaan mabuk?
"Raline, kau baru pulang? Sudah kubilang kau tidak perlu lembur dulu. Ini baru minggu pertama kamu bekerja di sini. Aku rasa tidak memberikan pekerjaan yang berat untukmu hari ini," kata Lonan.
"Saya hanya merapikan beberapa berkas agar kedepannya lebih mudah untuk mengaturnya." Pandangan Raline beralih pada Arie yang bersandar di dinding lift. "Ada apa dengan dia?" tanya Raline sambil menunjuk Arie.
"Dia mabuk. Aku mengajaknya menemaniku minum di atas, tapi malah dia yang mabuk," kata Lonan diikuti dengan tawa kecil.
"Di atas?" tanya Raline bingung.
Raline masuk ke lift dan berdiri di antara dua pria itu. Lonan mendekatkan wajahnya ke Raline dan berkata, "Arie memiliki bar pribadi di ruangannya. Kapan-kapan aku akan mengajakmu ke sana," kata pria itu.
Merasa wajah Lonan sangat dekat dengannya, Raline memundurkan tubuhnya. Perempuan itu kaget ketika ia merasa menabrak d**a seseorang. Raline menoleh dan ia langsung berhadapan dengan Arie yang sedang menatapnya dengan mata kaburnya. Raline berhenti bergerak beberapa saat, terpaku pada wajah laki-laki itu. Alis matanya yang tebal dan beberapa titik hitam di wajahnya yang putih - sama sekali tidak mengurangi ketampanan laki-laki itu. Meskipun Raline sangat membencinya, tapi tetap mengakui betapa fisik laki-laki itu bisa membuat tubuhnya berdesir.
Raline memundurkan tubuhnya, tapi Arie menahan pinggangnya dan menyandarkan kepalanya ke bahu Raline. Saat itu lift terbuka dan Lonan keluar dari lift sambil mengangkat telepon. Raline mencoba menjauhkan kepala Arie pada bahunya, tapi kepala laki-laki itu sangat berat.
"Raline, aku minta maaf sekali, apa kau bisa mengantarkan Arie pulang? Aku ada urusan mendadak," kata pria itu terlihat terburu-buru dengan telepon masih di telinganya.
"Tapi, Pak -"
"Kalian satu hotel, bukan? Kau hanya perlu mengantarkan Arie ke depan kamarnya dan membukakan pintu untuknya." Lonan merogoh saku celananya dan memberikan kunci mobil. "Ini kunci mobil Arie. Kau bisa mengendarainya, buka? Atau aku perlu memanggilkan taksi untukmu?" tanya Lonan.
"Aku akan naik mobil Arie saja." Raline ingin menolak, tapi ia tidak mau mengecewakan Lonan yang terlihat sangat terburu-buru. "Memangnya ada masalah apa, Pak?" tanya Raline, takut ada masalah yang terjadi pada pria itu.
"Adikku melahirkan. Aku harus melihatnya," kata Lonan dengan ponsel masih di telinganya.
Raline mengangguk sambil memegang kepala Arie yang bergerak-gerak mendekati lehernya. "Baik, Pak Lonan. Aku akan mengantar Arie," kata Raline.
Lonan mengucapkan terima kasih lalu berniat pergi, tapi pria itu berbalik sebentar pada Raline, "Aku lebih suka kau memanggilku Lonan saja, Raline. Cukup Lonan," katanya lalu pergi meninggalkan Raline.
"Lonan..." lirih Raline.
Dengan susah payah, Raline menarik tubuh Arie masuk ke mobilnya. Raline menyandarkan kepala Arie ke kursi dan memakaikannya sabuk pengaman. Tiba-tiba, tangan Arie memegang lengan Raline dan menarik perempuan itu mendekat.
"Kenapa kau ada di sini?" tanya Arie dengan mata setengah terbuka.
"Lepaskan aku!" kata Raline sambil menarik kepalanya menjauh.
Arie tidak melepaskan Raline dan meletakkan tangannya di leher jenjang perempuan itu. "Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau selalu ada di sekitarku?"
"Arie! Kau mabuk! Lepaskan aku!"
Wajah Arie sangat dekat hingga Raline bisa melihat rambut-rambut halus di rahang tegas laki-laki itu. Membuat Raline ingin menyentuhnya dan merasakan kasarnya kulit laki-laki itu di sana.
"Kau hanya perempuan murah-an yang melakukan apapun demi uang, tapi kenapa aku - " Arie menarik kepala Raline dan mendekatkan bibirnya. "Aku sangat ingin menciummu sejak kita pertama bertemu."
"Kau gila? Lepaskan aku!" teriak Raline.
Perempuan itu mendorong d**a Arie dengan kuat hingga kepala laki-laki itu terbentur jendela mobil. Mata Arie seketika melebar dan terlihat terkejut dengan apa yang terjadi. Laki-laki itu sepertinya mulai sadar dan menatap Raline dengan tajam. Mempertanyakan kembali kenapa Raline ada di mobilnya.
"Kenapa kau ada di sini?" tanyanya dengan mata tajam.
"Kepalamu terbentur kuat hingga kau lupa ingatan? Aku di sini untuk mengantarmu pulang karena kau mabuk, Sialan!" kata Raline.
Dengan setengah sadar, Arie berteriak, "Keluar dari mobilku!"
Raline dengan cepat memakai sabuk pengaman dan menyalakan mobil itu. "Diamlah! Lonan menyuruhku untuk mengantarmu pulang! Kau diam, maka kita akan cepat sampai dan aku bisa segera keluar dari mobilmu ini."
"Kata siapa kau boleh mengantarku pulang? Aku tidak butuh bantuan perempuan murah-an sepertimu. Apa kau melakukan ini agar aku berterima kasih? Agar kau bisa memanfaatkanku ketika aku tidak sadar? Kau merencanakan ini semua untuk menggodaku, bukan?"
Raline menyipitkan matanya dan menatap Arie dengan heran, "Kenapa kau sangat percaya diri aku ingin menggodamu? Aku tidak tertarik sama sekali padamu, Arie. Kalaupun aku perempuan murah-an, aku tidak akan menjual tubuhku padamu."
"Kau!"
Raline mengendarai mobilnya dengan sangat cepat. Membuat Arie tidak melanjutkan perkataannya lagi. Raline keluar dari kantor Bastiaan Group dan membelah jalanan malam ibu kota dengan kecepatan yang bahkan membuat Arie menahan napas.
"Hei, bisakah kau mengendarai mobil dengan benar? Kau ingin mati?" teriak Arie ketika Raline menerobos lampu merah dan hampir menabrak mobil di depannya.
"Benar. Kalau kita bisa mati bersama, itu lebih baik. Jadi aku tidak perlu memikirkan cara lain untuk membunuhmu!" kata Raline.
Kecepatan berkendara Raline semakin tidak masuk akal dan Arie tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berteriak pada Raline. Sedangkan Raline dengan fokus luar biasa melihat jalanan gelap di depannya. Menyalip puluhan mobil di depannya dan beberapa kali mendapat klakson dari para pengemudi.
"Kau benar-benar perempuan gila!" teriak Arie.
Raline tertawa sekilas dan memutar kepalanya, "Jadi selain perempuan murah-an, rendahan, ja-lang, aku juga perempuan gila?"
"Berhenti melihatku dan fokus pada jalanan, Sialan!" kata Arie.
Raline mulai menurunkan kecepatan mobilnya ketika sampai di depan hotel. Menatap Arie yang menutup matanya sambil bersandar pada kursi mobil. Raline memasukkan mobil Arie ke parkiran dan keluar dari mobil tanpa mengatakan apapun - dan tanpa menunggu Arie mengucapkan sesuatu padanya.
Raline berjalan dengan cepat, ingin segera menjauh dari Arie. Tapi laki-laki itu keluar dari mobil, menarik tangan Raline dan melemparnya ke dinding lobi hotel. "Apa yang kau lakukan tadi?"
Raline mengangkat alisnya, "Apa maksudmu?"
"Kau berkendara seperti orang gila yang bosan hidup! Kau sengaja melakukannya untuk membuatku marah?"
"Kau ingin aku segera pergi, karena itulah aku harus mengebut seperti itu, agar kita bisa segera sampai di sini dan berpisah."
"Kau tidak waras!" teriak Arie.
Raline tidak menanggapi laki-laki itu dan berjalan menuju lift. Raline melihat dua wanita di balik meja resepsionis memperhatikan pertengkarannya dengan Arie. Ketika Raline meliriknya dengan tajam, dua wanita itu segera menundukkan dan berpura-pura fokus ke pekerjaannya.
Pintu lift baru saja akan tertutup ketika sebuah tangan menahannya. Raline mendesah panjang. Arie masuk ke lift dengan tatapan tajamnya. Laki-laki itu berdiri tepat di samping Raline, tapi perempuan itu bergeser ke pojok lift. Melihat itu, Arie mendekati Raline dan mengurung tubuh perempuan itu dengan tangannya.
"Kau sangat mencurigakan, Raline."
"Dan kau sangat menyebalkan," balas Raline.
"Aku merasa ada yang aneh dengan kehadiranmu di sekitarku akhir-akhir ini. Kalau kau memang lulusan Yale University dan kau mampu tinggal di hotel mahal seperti ini, kenapa kau bekerja di klub malam? Siapa dirimu yang sebenarnya?"
"Manusia bisa melakukan kesalahan dan kesalahan terbesarku adalah bekerja di klub sialan itu dan bertemu dengan pria sepertimu," kata Raline dengan pandangan menantang.
"Jangan menatapku seperti itu," kata Arie.
Raline semakin melebarkan matanya, "Kau harus tahu tidak semua orang akan melakukan apa yang kau perintahkan, Arie."
"Ya! Semua orang akan melakukan perintahku, termasuk kau! Aku akan membuatmu menyerahkan dirimu dan melakukan apa yang aku minta."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku adalah ini -"
Tangan Arie dengan cepat berpindah ke leher Raline yang jenjang. Menangkup leher Raline dengan kedua tangan besarnya hingga perempuan itu tidak bisa menggerakkan kepalanya. Arie menempelkan bibir mereka dengan pelan. Menunggu reaksi Raline yang masih kaku. Tangan perempuan itu berada di da-da Arie. Mencengkram da-da laki-laki itu antara keinginan untuk menolak atau mencegahnya pergi.
Bibir Arie mencoba masuk lebih dalam. Raline tidak bisa bernapas dan tubuhnya memanas. Aroma percampuran kayu, citrus, dan wine dari mulut Arie membuat Raline tidak bisa berpikir dengan jernih. Perempuan itu membuka mulutnya dan Arie segera memasukkan lidahnya. Ciuman mereka semakin panas dan Raline sudah mengalungkan tangannya di leher Arie. Memasukkan jemarinya ke rambut hitam laki-laki itu yang ternyata sedikit kasar di tangannya. Tubuhnya tidak bisa berdiri dengan tegak dan Raline bersyukur karena Arie mengetahui itu dan menyangganya dengan memegang pinggangnya dengan erat. Mereka saling memagut lidah - merasakan gairah mulai memenuhi kepala Raline dan membuatnya setengah gila.
Lift sudah terbuka tapi Arie tidak membuat mereka berhenti. Laki-laki itu mengangkat tubuh Raline dan menggendongnya tanpa melepaskan ciumannya. Ketika sampai di depan kamar Arie, laki-laki itu menurunkan Raline di depan pintu. Mereka menarik napas terengah-engah, saling berebut udara karena ciuman mereka yang lumayan panjang. Arie mengambil kunci dan membuka pintu kamarnya.
"Arie!" teriak Raline ketika Arie mendorongnya masuk ke kamar laki-laki itu.
Arie tidak menjawab panggilan Raline. Matanya menggelap. Hanya gairah yang ada di sana. Raline mulai sadar telah melakukan kesalahan. Tapi ia sudah terlambat.
"Arie! Biarkan aku pulang! Kita tidak boleh melakukan ini."
Raline mundur ke belakang hingga menabrak lemari ketika Arie mendekatinya sambil membuka pakaiannya. Laki-laki itu sudah membuka kancing kemejanya satu persatu, dengan gerakan yang membuat Raline menelan ludahnya. Tidak mungkin ia merasakan gairah pada laki-laki itu. Tidak mungkin. Ini salah.
Arie adalah kakaknya. Raline harus menghentikan semua ini.
"Arie! Kau mendengarku? Kita tak boleh melakukan ini! Aku harus pulang sekarang, " kata Raline sambil berjalan melewati Arie yang sudah bertelanjang d**a.
Arie mencekal tangan Raline dan berkata dengan suara rendah, "Sudah terlambat. Aku menginginkanmu sekarang."
Raline menatap Arie dengan wajah memohon. "Tidak bisa. Kita tidak boleh."
"Kenapa? Tenang saja, aku akan memberimu bayaran. Bukankah itu yang kau inginkan?"
Perkataan Arie membuat Raline terluka, tapi tak ada yang lebih menyakitkan daripada perasaannya sendiri. Bahwa ia membiarkan Arie menyentuhnya sejauh ini. Bahkan Raline membiarkan laki-laki itu menciumnya dua kali. Dengan sangat panas - dan Raline menikmatinya. Sangat menikmatinya.
Raline tak pernah merasakan keinginan sebesar itu untuk mencium seseorang.
"Ini bukan masalah uang, Arie."
"Lalu apa? Bukankah kau baru saja menerima ciumanku? Aku tahu kau juga menikmatinya. Kenapa kau kembali jual mahal seperti sekarang?"
Arie menarik tangan Raline dengan kuat dan mendorongnya ke ranjang. Perempuan itu terbaring di ranjang dan Arie segera naik di atas tubuhnya. Raline melihat tato besar di lengan kanan Arie. Tato bergambar bunga mawar besar. Raline sangat ingin melayangkan jemarinya di atas tato indah itu, tapi perempuan itu menahan keinginannya. Raline mendorong tubuh Arie dengan kuat.
"Lepaskan aku! Aku bukan perempuan murah-an yang bisa kau tiduri seenaknya." Raline menatap Arie dan itu adalah kesalahan. Karena mata laki-laki itu semakin membuat Raline ingin menyelaminya. "Kau bisa meniduri perempuan lain yang mau bertekuk lutut di bawahnya dengan uang uangmu. Tapi bukan aku, Arie."
"Tapi aku ingin kau!"
"Tidak bisa!"
"Kau berani menolakku?!"
Arie semakin mendekatkan tubuhnya dan Raline tidak bisa bergerak. Laki-laki mendekatkan bibirnya untuk menciumnya, tapi Raline memutar kepalanya hingga bibir Arie mendarat di pipinya. Arie menggeram kesal dan mencengkram rahang Raline dengan kuat. Dari celah tangan laki-laki itu, Raline melihat foto dua pria yang tergeletak di meja. Foto pria paruh baya yang berdiri di samping anak laki-laki dengan seragam sekolah. Seperti foto kelulusan anak laki-laki itu.
Foto Edward dan Arie.
Foto itu membuat kebencian Raline kembali muncul ke permukaan. Raline menatap laki-laki di atasnya yang tengah berusaha menciumnya dengan tajam. Dia adalah Arie Bastiaan. Laki-laki ia benci seumur hidupnya. Beraninya laki-laki itu menyentuhnya seperti ini?
Raline menarik kepala Arie dengan kuat. Perempuan itu menendang s**********n Arie dengan lututnya. Raline membawa Arie terbaring di ranjang dan membalikkan posisi mereka. Kini Raline berada di atas laki-laki itu.
"Jadi, kau lebih suka berada di atas?" tanya Arie dengan senyum nakal yang dengan sial-an Raline akui sangat memikat.
Raline menepis senyum nakal Arie dan menarik bantal di bawah kepala laki-laki itu. Dengan kuat Raline menekan kepala Arie dengan bantal. Menekan sekuat tenaga - membuat laki-laki itu kehabisan napas dan mati di bawahnya. Raline tidak mengira akan semudah ini membunuh laki-laki itu. Raline menjepit tubuh Arie yang memberontak dengan kedua kakinya.
Tiga detik,
Dua detik,
Satu detik,
Tubuh laki-laki itu mulai melemah dan Raline tersenyum kecil di atas tubuh Arie.
"Selamat datang ke neraka, Arie Bastiaan," kata Raline.