Kedua mata Anin terlihat sendu dan berkaca -kaca. Andai Anin laki -laki, tentu ia akan melakukan hal yang sama prsis seperti Mathew. Memilih hidup sendiri dan berani menentukan pilihannya sendiri. Membebaskan Papanya untuk memilih keputusan juga dan kalau Anin tak sesuai dengan keputusan itu bisa pergi kapan pun tanpa harus takut pada sesuatu. Karena umumnya anak erempuan itu tidak boleh aneh -aneh.
Selama ini Anin berontak dengan cara pulang larut malam. Sering sekali main ke klub dan foya -foya. Tapi, Sang Papa tetap saja memeberikan kucuran dana untuk Anin. Papa Anin seperti tidak kapok memberikan fasilitas begitu mewah untuk Anin.
Mathew menatap Anin yang masih menatapnya dengan tatapan penuh harap.
"Kenapa begitu wajahnya?" tanya Mathew pada Anin.
"Kenapa? Jelek ya?" tanya Anin lagi.
"Sangat jelek! Udah sana pulang," pinta Mathew lagi. Ternyata hidupnya tidak bebas ada Anin di Apartemennya.
"Gak mau!" jawab Anin begitu keras.
"Pulang! Kamu itu semalaman udah gak pulang! Jangan buat Papa kamu khawatir, Anin," titah Mathew lagi.
"Oke Anin akan pulang. Tapi ada satu syarat," pinta Anin lagi.
"Kenapa malah jadi repot minta satu syarat? Aku ini sudah nolong kamu. Bukannya kamu itu terima kasih, malah ngancem aku sih?" ucap Mathew begitu kesal.
"Kan kita udah pacaran Kak ... " ucap Anin mengingatkan.
"Sudah lupakan hal itu. Anggep aja aku gak pernah minta soal itu. Jujur, aku gak suka sama kamu. Gadis gepeng dan sama sekali tidak menarik," jelas Mathew lagi.
"Kak Kok ngomongnya gitu sih ..." ucap Anin begitu kecewa.
Mathew pun segera bangkit dari tidurnya dan ingin pindah ke ruangan depan untuk main PS.
"Terus? ini urusannya gimana? Mau Anin laporin sama Papa Anin? Kalau Kak Mathew sudah enyentuh Anin! Ini ada buktinya lho!" ucap Anin begitu tegas.
Mathew menoleh ke arah Anin dengan tajam.
"Kamu ngancem aku lagi?" tanya Mathew tak kalah tajam membalas tatapan Anin.
"Enggak Kak ... Anin gak ngancem. Anin hanya bilang hal yang sesuangguhnya saja," ucap Anin lagi.
Anin adalah gadis baik. Bukan tipe gadis pemebrontak dan nakal. Hanya saja ia ingin terlihat bar -bar di depan Papanya agar smeua keinginannya terpenuhi.
"Terserah kamu, Anin!"sentak Mathew tak peduli. mathew pun tetap keluar kamar dan memilih bermain game agar lebih tenang.
Anin pun menarik napas dalam dan keluar kamar dari kamar Mathew lalu pamit pada Mathew.
"Terima kasih sudah bantu Anin. Anin mau pulang," jelas Anin yang sudah siap membawa tas dan kunci mobil yang ada dinakas tadi.
Mathew tak peduli. Sekilas lelaki itu hanya mengangguk saja. Mathew sudah melakukan kesalahan terbesar dengan mengajak ANin berpacaran. Belum lagi ia sudah setengah mencicipi tubuh Anin. Nafsunya snagat tak bisa dikendalikan.
"Hati -hati ..." ucap Mathew lagi.
Anin hanya menatap punggung Mathew yang sama seklai tak bergerak apalagi menoleh ke arahnya. Tapi, Mathew tetap bisa melihat wajah manis Anin dari layar monitor walaupun agak samar.
***
Anin sudah sampai dihalaman rumahnya. Rumah itunampak sepi disiang hari. Sudah pasti, Papanya sedang bekerja. Anin segera naik ke atas menuju kamarnya.
"Non ... No NAin sudah pulang?" tanya seorang asisten yang membuka pintu depan.
"Sudah Bi ... Papa belum pulang?" tanya Anin.
"Belum Non. Non ... Bibi mau ijin pulang kampung dulu untukbeberapa hari. Bibi juga sudah amit dan minta ijin sama Papanya Non ... Bibi mau berangkat sekarang," pamit asisten Anin.
"Iya Bi ... Hati -hati ya ... Kalau Anin ikut boleh?" tanya Anin lagi.
"Jangan Non ... Di Kampung itu gak enak. Semuanya serba sederhana. Tidak ada yang mewah begini," jelas asisten Anin lagi.
"Gak apa -apa Bi ... Anin mau ikut. Boleh ya Bi," pinta Anin lagi.
"Non Anin ijin dulu sama Papa Non. Bibi takut," ucap asisten itu ragu.
"Oke bentar Bi," jawab Anin lagi.
Anin menelepon sang Papa. Kebetulan perempuan yang bernama Tesa yang mengangkat telepon Anin.
"Dih mulai ngelunjak lagi pake pegang ponsel Papa!" umpat Anin dalam hati.
Anin begitu kesla sekali. Ini Anin yangtelepon Papa tapi kenapa ponselnya sama perempuan itu. Sungguh menyebalkan sekali.
"Anin? Kamu dimana sayang?" tanya Tesa dengan lembut. Ia begitu kaget saat melihat ponsel kekasihnya muncul nama Anin, puteri semata wayang kekasihnya. Kebetulan Richi sedang ada perlu dan keluar dari ruangannya.
"Ngapain sih pake bawa hape Papa? Posesif banget jadi perempuan!" sentak Anin kasar.
"Ma -maf Anin. Maafin Tante kalau lancang. Papa kamu sedang mengantar klien ke depan, jadi Tante yang angkat telepon Anin. Papa dari tadi frustas cari Anin," jelas Tesa lagi.
"Bilang Papa. Anin mau ikut Bibi pulang ke Kampung. Anin butuh waktu untuk sendiri!" ucap Anin begitu tegas dan menutup ponsel itu.
Anin menatap sang asiste dengan senyum melebar. "Tunggu ya Bi. anin siapin baju dulu."
"Iya Non."
Anin segera membawa ransel besar. Ia hanya memasukkan beberapa pakaian mininya ke dalam tas.
"Anin sudah siap," ucap Anin sumringah.
Anin memakai kaos pendek dengan celana panjang. Lalu pergi menuju terminal untuk naik bis malam menuju kampung asistennya.
***
"Mas ... Anin mau ikut Suci ke Kampung," ucap Tesa dengan wajah serius.
"Beneran? Dia mau ikut?" tanya Richi denagn wajah senyum bahagia.
"Iya bener. Suci juga udah kirim pesan ke kamu, Mas," jelas Tesa lagi.
"Bagus dong. Itu tandanya, jebakan kita berhasil. Semoga Anin bisa jadi lebih baik selama berada disana," ucap Richi lagi.
Ternyata soal ijin asistennya itu ada turut campur Sang Papa.
"Tapi Mas? Kayaknya ini agak keterlaluan deh.Kasihan Anin," ucap Tesa begitu ragu.
"Sudahlah sayang ... Malam ini, bawa putramu ke rumah kita. Kenalkan padaku dan kita akan makan malam bersama dirumah. Aku sudah persiapkan semuanya," ucap Richi mendekati Tesa.
Hubungan mereka memang sudah sangat lama sekali. Tetapi mereka pintar menyembunyikan hubungan tersebut yang sudah berjalan sekitar empat tahun. Mereka hanya bertemu di Kantor lalu makan bersama di restauran. Baru -baru ini, Richi berani membawa Tesa ke rumah dan berusaha mengenalkan Tesa pada Anin.
***
"Mat? Kamu di Apartemen?"
"Ya."
"Mat ... Mama ada dibawah. Kamu samper Mama ya? Pakai pakaian formal."
"Mau ngapain sih, Ma?"
"Apa Mama yang naik ke atas?"
"Iya! Mat akan turun."
Mathew pun mengganti pakaian dan menyemprotkan minyak wangi lalu turun ke bawa untuk menghampiri mobil Tesa.
"Ganteng banget anak Mama ..."