PART 3

1095 Kata
"Angkat kakinya, b******k! Ini hukuman buat istri yang nggak tahu sopan santun kayak kamu! Ugh!" "Arghhh...! Ampun, Masss...! Aku nggak salah!" Jerit Inna yang berdiri menghadap ke dinding kamar, bersama kedua tangannya yang bertumpu agar dapat bertahan tanpa terjatuh. Ya, kini ia sedang menjalani akibat dari kegilaan sang suami yang begitu mudah terbakar api amarah. Satu dari sepasang kaki kecilnya juga harus terangkat setinggi mungkin ke atas, mengikuti nafsu primif Torra yang sekali lagi membludak, "Oh, yeachhh...! Aku nggak peduli, Sayang! Selagi mulutmu terus ngejawab apapun omongan mama, maka nggak akan ada lagi pemanasan manis untukmu! Achhh...!" "Sialan kamu, Mas! Awas anak ak— Arghhh...!" Torra bahkan mengigit bahu kiri Inna di sela pergerakan pinggulnya, "Ampun, Mas! Aduh sakittt...!" Membuat seruan pilu itu semakin keras terdengar. Torra memang seperti begitu adanya. Gestur tubuhnya yang tinggi dengan d**a lebar itu selalu membuat Inna mudah merasa letih saat berada di bawah pengaruhnya. Kurang lebih dua tahun menetap di Sidney bersama sepupunya, membuat cara pandang Torra tentang hubungan ranjang bercabang ke mana-mana, "Nikmati aja, Inn... Oh, yesss...! Kamu enak bangettt...!" "Ssttt... Masss...!" Maka sudah jelas Inna adalah bagian yang kini terkena dampaknya, terlebih ketika wanita itu berubah menjadi keras kepala seperti saat ini untuk Torra. "Jangan ngejawab omongan mama lagi, In! Ughhh...! Aku capek dan bosan bertengkar terus sama kamu dan mam— Oh, s**t!" kesal Torra setengah berteriak, masih dengan goyangan di pinggulnya. "Hemphhh...!" Tak ada jawaban apapun dari pita suara Inna selain suaranya yang tertahan. "Kamu enak banget, Sayang! Oh, yeach! Jadi jangan terus membantah atau aku akan semakin kasar lagi!" Sebab telapak tangan Torra, sudah membekap bibir istrinya itu. Tumpuan lengan dan juga sebagian tubuh Inna, nyaris tak kuat lagi menahan kegilaan suaminya yang semakin cepat bergerak, "Arghhh...! Sialan!" Brugh "Ah! Am..mpun, Masss...! Tolong ampuni ak—" "—Kenapa kamu gigit tanganku, b******k?! Bangun kamu! Bangunnn...!" Dan kejadian yang sama seperti beberapa jam lalu, kembali terulang. Plak Torra yang mudah tersulut, menghadiahkan satu tamparan lagi, padahal saat itu Inna baru saja terjerembap ke lantai kamar, "Arghhh...! Mas..." "Apa?! Kamu bisa nurut nggak sama aku, hah?! Bukannya aku—" "—Da..darah! Ada darah, Mas!" Cairan pekat berwarna merah, bahkan mengalir di sela kedua kaki putih Inna. "Sialan kamu, In! Awas sam—" "—Tolong, Mas! Ke rumah sakit!" Sehingga kepanikan pun muncul begitu saja dari dalam diri Torra. Pria gila itu membawa tubuh kesakitan istrinya dari lantai, "Naik ke tempat tidur dulu! Aku pakai—" "—Mas Torraaa...! Anak kita!" "Diam! Aku belum pakai baju, g****k! Kamu suruh aku telanjang ke luar kamar, hah?!" Namun, jangan berharap perdebatan tersebut sudah berakhir di sana. Suara Torra Mahardika masih saja menggema, bahkan terdengar semakin melengking di kedua indera pendengaran Inna, "Tuhan..." "b******k b******k brengsekkk...! ARGH!" Jadi yang bisa Inna lakukan adalah bergumam dan juga membobolkan bendungan air matanya. Tiga menit kemudian, Torra sudah mengenakan baju kaos dan celana cargo kembali tanpa sempat memasang pakaian dalamnya, "Sabar, Sayang! Kamu pakai baju dulu ya? Mana dastermu tadi?" Mencari kain penutup untuk tubuh istrinya sebelum melesat ke rumah sakit, kini menjadi kegiatan yang Torra lakukan di tengah kepanikan mereka berdua, "Di sana, Mas. Dekat pintu." "Oh, iya!" Tetapi Inna sedikit mensyukuri detik-detik menegangkan itu, karena lengkingan sang suami, kini berangsur-angsur menurun. Seolah terjun bebas menuju ke masa di mana mereka pertama kali bertemu, tidak ada sama sekali tindakan kasar yang terjadi ketika Torra membantu Inna berpakaian, "Udah. Aku ambil dompet sama kunci mobil dulu. Mau pakai sendal nggak?" "Pakai, Mas. Cepetan darahnya masih keluar, Masss...!" "Astaga! Iya, Sayang. Tunggu sebentar." Berganti dengan saling melempar kata sembari terus saja bergegas. Selesainya, Torra lantas membawa Inna dalam gendongannya menuju ke luar kamar. Tak ada satu kata pun yang terlontar dari kedua bibir mereka selain hembusan napas cepat. Deg deg deg Di tengah undakan anak tangga, Inna juga dapat mendengar betapa kerasnya suara degupan jantung Torra. Sebersit kata-kata berada di dalam benaknya, sebab sepasang manik mata Inna sempat menangkap pergerakan ibu mertuanya yang keluar dari dalam kamar sembari membawa nampan berisi piring bekas makanan, ‘Maafkan aku, Mas.’ Benar saja. Theresa jelas penasaran dengan adegan saling menggendong di depan matanya, "Mau ke mana, Mas?! Dia kenapa?" Wanita paruh baya itu bertanya dan langsung mendapatkan jawabannya, "Inna pendarahan kayaknya, Ma!" "Apa?! Kok bisa, sih, Mas!" Lalu kelanjutannya, pun sudah pula diketahui oleh pasangan pengantin baru tersebut. Helaan napas kasar dikeluarkan Torra sebelum ia menyahuti ocehan ibunya, "Ck! Aku nggak sempat jelasin, Ma. Tolong Mama bukain pintunya sekarang ya?" "Tunggu! Mbok Dar—" "—Aduhhh...! Simpan di lantai aja dulu, Ma! Cepetan!" Tetapi yang Theresa lanjutkan sungguh keterlaluan, saat putranya meminta pertolongan. Kalimat kasar itu keluar tanpa bisa disaring terlebih dahulu, "Tangan istrimu cacat memangnya sampai nggak bisa buka pintu sendiri!" "Mama, please!" Menyisakan Torra yang bersiap untuk kembali meledak. Beruntung suara lemah Inna secepat kilat masuk ke dalam telinganya, "Mas..." Bersamaan dengan sahutan Theresa, yang membungkuk meletakkan nampan di lantai, "Iya iya! Bawel aja!" "Em. Makasih, Ma.!" Torra pun berusaha menurunkan kekesalannya. Ceklek Terbukanya pintu rumah, membuat Torra tak lagi memedulikan gerutuan ibunya dari balik punggung, "Kamu baring di kursi belakang aja ya, Sayang? Biar darahnya jangan mengalir banyak gitu. Bisa kan?" "Ssttt... Iya, Mas." "Sakit?" "Nyeri." "Astaga! Maaf, Yang." "Udah cepetan, Masss..." "Iya, Sayang." Berganti dengan percakapan kecil keduanya, setelah Torra menekan tombol berwarna merah pada remote mobil di tangannya. Torra pun membuka pintu mobil setelah sempat menurunkan Inna sebentar, dan menuntun istrinya untuk masuk ke dalam kendaraan beroda empat tersebut, menjadi pemandangan yang kini terlihat oleh Theresa. Pergi tanpa pamit atau membunyikan klakson mobil membuat Theresa merasa tersinggung, lalu sejumlah kalimat sinis, pun terlontar begitu saja dari bibirnya, "Cih, dasar perempuan manja! Masa dia pendarahan, sih? Paling-paling cuma akal-akalan dia doang biar Mas nggak marah sama dia lagi. Lagu lama kaset baru! Setelah dia bawa anakku pindah agama, terus dia mau coba beneran berkuasa gitu? Heh, jangan harap! Lihat aja nanti apa yang bakal aku buat. Mas itu sampai kapan pun ya cuma cocoknya bersanding sama Laura! Sudah cantik, kaya, pintar lulusan S2 di Sydney, sekarang satu partai lagi mereka berdua kan? Jadi ya besok-besok kalau Mas ikut bersaing lagi jadi anggota DPRD kayak tempo hari, aku yakin Laura pasti mau bantuin dia. Secara anakku sekarang sudah naik jadi ketua apa gitu kata papa kemarin. Nanti aku tinggal cepat-cepat bertindak, sampai akhirnya perempuan sialan itu ditendang sama mas, karena di ajaran mereka bisa bercerai. Iya kan? Hahaha... Tunggu aja tanggal mainnya, Inna! Saya tidak rela kamu menikah sama anakku!" Rencana buruk bersama kekehan tawa, sungguh terdengar menyeramkan untuk nasib seorang Inna Bastari, tetapi mungkin hanya waktu yang akan menjelaskan segala perkaranya dan membantunya untuk terus bertahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN