Part 5
Tetesan darah tidak lagi mengalir dari organ kewanitaan Inna, dengan kondisi janin dalam perutnya itu masih bisa bertahan untuk satu bulan ke depan. Proses bedrest adalah langkah yang harus ditempuh dan seksio sesarea juga salah satu bagian di antaranya.
Ya, itu memang benar adanya. Dokter Obygn yang bernama Aldi Wiryawan itu menganjurkan untuk mengeluarkan bayi tersebut di usia delapan bulan lebih beberapa minggu, sebagai solusi ketika Inna sudah tak kuat lagi bertahan untuk terus terlentang di tempat tidur.
"Operasi juga nggak masalah, Dok. Yang penting bayinya harus selamat!" Dan Torra sendiri menyetujui rencana itu dilaksanakan.
Torra membuat Aldi sempat memicingkan mata, mengepalkan telapak tangan dan mengeraskan rahang kuat di wajahnya.
Sejumlah kalimat pedas menguap dari dalam pikirannya juga, namun hanya berkutat di benaknya saja, ‘Laki-laki sialan! Apa dia bilang tadi? Yang penting bayinya harus selamat? Apa hanya calon anaknya saja yang ada dalam otaknya? Lalu Inna bagaimana? b******k!’
Aldi sadar betul di mana mereka berdua berada saat itu dan ia pun tidak ingin mencari keributan yang membuat Inna kembali berjarak darinya.
Aldi memilih mengeluarkan kalimat baik dan membungkusnya dengan senyuman sinis, "Baiklah. Menginap 7 sampai 10 hari di rumah sakit dulu untuk saat ini, Pak. Kondisi pasien belum stabil, jadi butuh pemulihan biar nanti pas bedrest jadi aman terkendali."
"Begitu ya, Dok?"
"Bapak keberatan?"
"Nggak, Dok. Tapi saya lagi ada proyek di Takari gitu."
"Tenang, Pak. Ada perawat yang tentu saja akan membantu Bapak untuk menjaga, jika memang Anda terpaksa harus berada di lokasi proyek." Lalu membuahkan percakapan kecil di antara mereka, yang di dalamnya tentu saja tersimpan kemudahan untuk Aldi.
Saat mengetahui Inna sering dikesampingkan oleh suaminya, seharusnya rasa iba adalah hal yang wajib bertengger dalam hati dan pikiran Aldi, tapi ia melakukan sebaliknya.
Torra mendapatkan banyak kelegaan dari dokter tersebut dan ini sesungguhnya bukan jalan terbaik untuk sebuah ikatan yang sudah terjalin. Inna bagaikan buah simalakama di sana, dan entah seperti apa takdir hidupnya nanti. Bahagiakah? Semakin tersudutkah? Kembali sakit, sekaligus berdarah lagi? Entahlah. Jangan mengharapkan itu untuknya.
***
"Mau ke mana? Kata Mas Torra kamu harus bedrest, kan?" ujar Vero, menegur kakak iparnya.
Veronika Mahardika adalah adik kandung Torra Mahardika, dan ia memiliki usia yang hanya terpaut lima tahun lebih muda dari kakaknya. Itu artinya Inna berusia lebih muda dibandingkan adik iparnya, kendati statusnya merupakan istri dari kakak kandungnya Veronika.
Inna menjawab dengan suara pelan, tapi masih dapat di dengar oleh Vero, "Mau minum air, Kak."
Beranjak dari kursi plastik yang ia duduki, Vero pun menyanggupi permintaan Inna, "Aku aja yang ambilkan. Kamu jangan banyak gerak dulu nanti darahnya keluar lagi."
"Terima kasih, Kak." Vero bergerak, lalu menyodorkan air mineral dalam kemasan gelas dan ucapan terima kasih terlontar dari bibir pucat Inna.
Keheningan kembali terjadi di sana, seperti beberapa menit sebelumnya. Sejujurnya Vero tidak ingin datang menjenguk Inna, tetapi Thomas memintanya demikian.
Sebagai seorang anak bungsu, Thomas Mahardika adalah sosok ayah yang selalu menjadi panutan untuk Vero. Alasan ia enggan datang menjenguk, hanyalah lebih kepada tak ingin mendengar omelan ibunya.
Vero membuka percakapan setelah lelah menunggu Inna menambah bereaksi, selain daripada ucapan terima kasih, "Papa yang suruh aku datang tadi. Kamu kenapa sampai bisa pendarahan kayak gini, In? Apa mama pelakunya?"
"Bukan! Bu..bukan mama, Mba. Aku...egh, aku jatuh di kamar mandi." Namun, perkataan Vero sungguh terdengar menakutkan untuk Inna, dan berujung penyangkalan.
Suara kursi plastik yang digeser oleh Vero, pun bersamaan sekali lagi dengan kalimat-kalimat menuntutnya, "Bohong! Jujur aja sama aku, In. Aku bukan orang yang ember baskom gitu kok. Mamaku kan yang buat kamu kayak gini? Papa bilang bisa jadi kamu dipukul sama si mas, gara-gara mama yang terus aja cari masalah efek kalian udah beda keyakinan sama kami. Masa papa bohong? Betul kan?"
Vero memaksa Inna untuk berterus terang padanya, tapi Inna lebih memilih untuk tetap menjaga bicaranya, "Mba, bisa jadi aku juga akan melakukan hal yang sama kalau ada di posisi mama, walaupun mungkin dengan cara sedikit berbeda. Mba sendiri bisa jadi sama kan? Ibu mana yang bakalan rela, sih, Mba?"
Inna meminta adik kandung suaminya itu untuk berada di posisi Theresia, tapi yang ia dapatkan tetap saja sama, "Aku nggak akan begitu, In. Selama ini aku selalu berusaha menjadi ibu yang selalu memperhatikan Kevin dan Clara, sekecil apapun itu. Aku berusaha menuntun anakku untuk berjalan searah dengan iman pengharapan kami. Jadi sampai tua pun aku akan tetap begini, bukan seperti mama yang abai, terus pas udah kejadian baru menyalahkan. Aku nggak akan kayak gitu. Ini yang harus kamu tahu biar besok-besok jangan terulang lagi di anakmu. Aku sedih, In. Tapi nggak tahu mau bersikap kayak apa."
Secara garis besar, Vero masih menyayangkan perbuatan Theresa yang berlebihan, bahkan ia dengan lantang membandingkan pola asuh ibunya sedari mereka kecil dulu.
Hal tersebut menjadikan perasaan iba dari dalam diri Inna menguar tanpa bisa dicegah. Untuk kedua kalinya, permintaan maaf wanita muda itu terlontar setelah sebelumnya pernah ia lakukan, "Maafkan aku, Mba."
"Kamu nggak salah, In. Mungkin ini sudah takdir dari—"
"—Takdir dari mana, Vero! Kamu mulai kurang ajar ya sama mama!" Namun, ternyata waktu untuk berkeluh kesah harus terhenti, berganti dengan suasana menegangkan.
Suara Theresa Widayati yang terdengar dari balik pintu pahatan berwarna putih, nyatanya sukses membuat jantung keduanya nyaris melompat keluar.
Deg deg deg
Vero bahkan harus melebarkan kedua bola matanya untuk memastikan sosok yang tiba-tiba hadir di antara mereka, "Mama! Kok mama bisa—"
"—Bisa apa, huh?! Mama bisa melakukan apapun yang mama inginkan, Vero! Dari dulu kamu sudah tahu tapi pura-pura bodoh dan sekarang mulai kurang ajar! Apa yang kalian cari sebenarnya? Nggak puas bikin keluarga kita malu? Menolak menikah sama Nak Aji, pergi dari rumah, kawin lari sampai sudah punya anak dua sekarang! Apa lagi, Vero? Kamu pikir dari tadi mama nggak dengar apa yang kamu omongin?!" Lalu ocehan anak bungsu itu pun terputus oleh sejumlah kalimat sarkasme dari ibu kandungnya sendiri.
Theresa menguliti Vero di depan Inna dengan suara yang semakin lantang terdengar, dan semua bahasa tersebut ikut direkam oleh Torra serta Dokter Aldi. Aliran darah Torra seolah mendidih menahan rasa malunya akibat perbuatan ibunya, jadi jangan bertanya lagi mengapa suara lantangnya juga ikut terdengar di sana, "Mama! Ada apa ini?!"
Sejumlah benang kusut semakin menggumpal dan benar-benar memperumit keadaan, "Mama jahat, Mas."
"Mama nggak jahat! Kalian yang selalu menjahati Mama, termasuk dia dan juga papa! Minggir!"
Bragh
"Mama tunggu! Ver, sebentar. Tolong jaga Inna dulu. s**t! Mamaaa...! Mama tungguuu...!" Bahkan kini Aldi pun menjadi bagian yang tak bisa dipungkiri oleh Inna lagi.
Semua dugaan yang pernah Aldi sampaikan ketika kondisi tekanan darah Inna kurang stabil di awal pertemuan mereka, kini terjawab sudah, "Maaf, Bu. Bisa tinggalkan kami sebentar? Ibu Inna butuh banyak istirahat, jadi tolong sampaikan itu pada suaminya. Terima kasih."
"Tapi... Egh, iya. Baik, Dok. Akan saya sampaikan. In, aku duluan."
"I..iya, Mba." Maka menegaskan sesuatu demi kebaikan bersama adalah cara yang bisa Aldi lakukan untuk melindungi Inna.
‘Astaga, Kak Aldi! Dia kenapa jadi gitu? Kalau Mba Vero mikir yang enggak-enggak gimana? Hemmm...’ Walau bagi Inna sendiri, itu terasa begitu egois. Aldi tak perlu melakukannya, karena mereka tidak memiliki ikatan apa-apa, selain hubungan pertemanan belaka.