PART 1

1050 Kata
"Isap punyaku dulu, In! Aku beneran lagi pengennn...!" Suara Torra begitu parah meminta istrinya untuk menuntaskan hasrat primitifnya. Inna yang sore itu sebenarnya berencana untuk mandi dan bersiap memeriksakan kandungannya ke dokter, pun mau tak mau harus menunda semuanya. "Kalau gitu cepetan berdiri deh, Mas. Aku nggak mungkin kan jongkok dalam keadaan perut gede kayak gini?" Inna tak punya pilihan lain selain menyanggupi, karena bersama seorang Torra Mahardika, hatinya kini berlabuh tanpa syarat. Torra yang sudah tidak memakai sehelai kain, pelan tapi pasti beringsut turun dari tempat tidur. Ia mendekat ke pinggiran ranjang, tempat di mana Inna duduk, "Kok masih pakai daster, sih? Buka dong bajunya, In." "Iya, Mas. Ya ampun bawel deh!" Lalu meminta agar sang istri juga melakukan hal yang sama sepertinya, polos tanpa terbungkus apapun. Inna lantas menurutinya juga, kendati sebaris gerutuan sempat keluar dari bibir manisnya. Kembali di posisi duduk setelah berdiri melepaskan daster hamil melewati leher dan kepalanya, adalah hal yang Inna lakukan kini. Ia menengadah ke atas setelah milik Torra berada dalam genggamannya, "Cepat masukin, Sayang. Ayo!" Lalu tanpa menunggu suara protes tambahan, batang coklat itu sudah berada di dalam mulut Inna. Lidah si wanita hamil pun bermain bersama sejumlah saliva yang terkadang merembes keluar melewati bibirnya, tapi Torra sama sekali tidak keberatan dengan hal tersebut. "Oh, yes! Ini enak banget, In! Ugh, mainin ujungnya pake lidahmu, Sayanggg...!" Bagi Torra itu bukan masalah besar untuknya, sebab dari atas Inna terlihat semakin panas membara. Ia juga mengacak-acak surai indah istrinya, seiring dengan gerakan yang terjadi di depan selangkangannya. Tok tok tok "Torraaa... Papa anfal lagi, Mas! Cepat tolongin mama duluuu...! " Namun, kenikmatan itu tidak berlangsung lama, ketika Theresa dengan begitu keras mengetuk pintu kamar mereka. "Sialan! Kenapa lagi tuh sama sakitnya papa? b******k!" Kekesalan terlontar dari bibir gelap Torra tanpa bisa ditahan. "Mas, jadi gimana ini?" Dan Inna pun hanya bisa memberi tanggapan seadanya. Sayangnya bahasa yang dipakai Inna kurang tepat di pendengaran Torra, maka balasan ketus pun mau tak mau harus diterima wanita dua puluh tiga tahun itu, "Apanya yang gimana? Dengar nggak tadi si mama bilang apa?! Papa kumat jadi aku harus bantuin mama dong, Bego! Kamu mau suruh aku jadi anak durhaka?!" "Ya ampun, Mas! Maksud aku tuh bukan gitu!" "Ck! Ambilkan celanaku tuh! Kamu juga, sih, tadi masih lama-lama di kamar mandi. Gini kan jadinya!" Torra yang kesakitan menahan konak, sukses membuat Inna tersudutkan di sana. Sampai-sampai pertengkaran pun tidak dapat dihindari lagi, "Aku punya penyakit Infeksi Saluran Kemih dari masih remaja, Mas! Kamu mau sakitku itu kambuh lagi cuma gara-gara punyamu udah berdiri gitu?! Dasar—" "—Apa, hah?! Dasar apa? Papaku lagi sakit!" Tok tok tok "Aduh, Mas! Cepetan tolongin mama dulu iniii...!?" Beruntung Theresa kembali mengetuk pintu kamar bersama dengan kepanikannya. Hal itu jelas berpengaruh pada volume suara Torra yang melengking tajam pada Inna, berganti dengan teriakan untuk menenangkan ibunya, "Sabar, Maaa...! Aku baru habis mandi jadi lagi pakai baju ini!" "Astaga! Cepat sedikit, Mas!" Tak ada yang bisa Inna lakukan selain terduduk lemas menurunkan pundak yang sedari tadi menegang, tapi sepertinya hari itu hal-hal baik memang belum berpihak padanya, "Kamu nggak bisa bukain pintu kamarnya biar mama nggak ngomel-ngomel lagi, hah?! Nggak ada rasa empati gitu sama papa?" Dengan cepat tanpa mengingat keadaannya yang berbadan dua, Inna menuju pintu kamar dan menuruti kehendak Torra tanpa banyak bicara, tapi belum lagi sampai, kalimat-kalimat ketus kembali ia dengar dari bibir suaminya, "Kamu nggak usah ke mana-mana! Di rumah aja dan jangan bikin aneh-aneh lagi di dapur mama kayak kemarin. Ngerti nggak?! Kalo mau makan apa-apa, suruh Mbok Darmi yang cariin. Bukan cari sendiri naik ojeg atau taksi. Jangan bikin mama emosi sama tingkahmu yang kayak anak-anak itu, In. Denger nggak apa yang aku bilang ini?!" Tatapan setajam mata pisau, diterima Torra setelahnya. Kekesalan Inna terkumpul menjadi satu seakan siap untuk meledak, ‘Sabar, In. Sabar itu suburrr...!’ Namun, peri putih dalam hatinya terus mengingatkan. Langkah kaki Inna pun benar-benar berlanjut lebar menuju ke pintu kamar berwarna putih untuk ibu mertuanya. Ceklek "Mas, tol— Nah ini dia! Gara-gara istrimu ini papa bisa anfal lagi, Mas! Papa tadi pagi kejar tukang bakso yang jualan pake motor itu lho! Mbok Darmi bilang papa pinjem motor anak kosan di depan terus bawanya agak ngebut gitu lagi ke depan komplek! Nggak pake helm juga!" "Apa?!" "Iya, Mas! Tanya aja sama Mbok Darmi sana! Ngidam apa yang sampai maksa gitu? Ayo cepetan, Mas!" Lalu sambutan yang tidak menyenangkan, sekali lagi harus Inna telan bulat-bulat. Deg deg deg Kejadian tadi pagi diceritakan kembali oleh Theresa pada Torra, menghasilkan rahang yang semakin keras di wajah pria itu. Inna memejamkan mata, menunggu akibat yang tidak sengaja ia lakukan. Akan tetapi Torra tak memberi tanggapan apapun akan hal itu, melainkan melenggang pergi melewati dua pasang mata saling bertatapan. Wajah sendu Inna tergambar jelas bersama bendungan air matanya yang nyaris bobol untuk ibu mertuanya, "Sudah puas?! Jangan macam-macam kamu di rumah ini! Saya mengizinkan kalian menikah hanya karena bayi dalam perutmu! Ingat itu!" Sementara Theresa sendiri, ia secara terang-terangan mengutarakan kebenciannya pada sang menantu. Semua itu, jelas bermula ketika Theresa terus menjodohkan Torra dengan Laura, tapi rencana tersebut gagal terlaksana karena Inna. Wanita itu hamil dan Torra adalah orang yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut, "Mas Torra yang mau sama saya, Ma. Saya nggak pernah minta dinikahi atau diberi tanggung jawab dari dia sedikit pun!" Tetapi sejujurnya Inna tak pernah mengharapkan ikatan apa-apa, karena saat itu keduanya memiliki keyakinan yang berbeda. Inna tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya atas kesalahan fatal yang sudah ia perbuat, "Tapi pada kenyataannya mas nikahin kamu kan?! Dia sampai rela buang agama, tapi jangan berharap lebih dari itu, karena mas nggak mungkin bisa tinggalkan nama dan papanya!" Sehingga Torra sendirilah yang mengambil keputusan demi bisa bersikap gentleman di depan keluarga besarnya. "Jangan menuduh yang nggak-nggak, Ma! Saya tidak sepicik dan seburuk itu!" Namun, bagian tersebut selalu saja menjadi biang permasalahan bagi seorang Theresa Widayati Mahardika. Ia belum memberi restu sepenuhnya untuk sang putra, jadi jangan ditanya lagi mengapa bara api selalu saja menyala darinya untuk menantu barunya itu, padahal sejatinya sang pencipta hanyalah satu tanpa terbelah. "Ma, ayo!" "Iya, Mas!" Pikiran primitif membuat hati Inna tersakiti selama menginjakkan kakinya di kediaman keluarga Mahardika, dan entah kapan semua ini akan berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN