PART 7

981 Kata
Hari ini, adalah hari yang ketiga untuk seorang Inna Bastari berbaring di atas brankar rumah sakit. Ia sudah merasa cukup bosan, terlebih selama itu pula Torra tak pernah menginap bersamanya di sana, dengan alasan deathline proyek yang menantinya di depan mata. Deklarasi partai yang berencana mengusung bakal calon Wali Kota bersama dua partai lainnya, juga menjadi alasan mengapa Torra tak menginap di rumah sakit dan Inna pun dengan berat hati menerima keadaan tersebut. Perutnya yang berisi seorang bayi adalah prioritas Inna untuk saat ini, jadi semakin banyak kisah menyedihkan datang padanya, semakin pula ia berusaha tetap berpijak di atas koridornya. Ada kedua orang tuanya yang tak henti menghubungi dirinya memberi kalimat-kalimat penghiburan, kendati hanya melalui layar ponsel, serta tak lupa pula ada sosok lain yang selalu memperhatikannya. "Makasih banyak," ujar Inna, melirik sekilas ke arah mangkok yang isinya sudah ia habiskan beberapa menit lalu. Aldi bertugas untuk memeriksa keadaannya di hari ketiga ini. Ia adalah orang yang telah memberikan semangkok soto ayam kampung tersebut, "Apa?" "Itu. Soto ayamnya enak." Karena tahu sejak remaja Inna sangat mengemari jenis makanan tersebut. Mendekat ke arah brankar sembari meletakkan telapak tangan kirinya pada kening datar Inna, Aldi pun menceritakan kronologisnya, "Oh, kukira apa. Aku ada urusan tadi di Dinkes. Pulangnya singgah makan siang  di daerah Eltari situ. Terus pas baca buku menu ada tulisan Soto Ayam Kampung, malah keinget kamu dan Almarhum Indra. Jadi ya aku bungkusin aja satu buatmu." "Begitu ya? Hemmm... Rasanya enak. Aku jadi kangen rumah." Tersenyum hambar ketika nama almarhum kakaknya disebut, Inna berusaha mencari topik pembicaraan lain daripada harus membahas tentang itu. Pandangan matanya bahkan dengan cepat ia alihkan dari wajah tampan yang berdiri di depannya. "Kita bisa pulang bareng lain kali, In. Setelah selesai melahirkan aku bisa mengurus semuanya, dengan catatan kamu mau memercayaiku." Namun Aldi tampaknya belum ingin beranjak dari topik pembicaraan itu. Aldi menarik kursi plastik yang ada di sebelah brankar, mendaratkan bokongnya, bahkan begitu santai menggenggam telapak tangan Inna. Tak urung, Inna pun berusaha menyadarkan tindakan Aldi. Ia mengingatkan sang dokter mengenai amarahnya yang sedikit mereda di hari kemarin, ketika permohonan maaf keluar dari bibir laki-laki tersebut, "Jangan mulai lagi, Kak. Kita sudah membahasnya kemarin." "Suster Flory mendapat shift pagi kali ini, In.  Dia yang menjadi saksi bagaimana wanita itu mencium pipi suami gilamu di hari pertamamu opname. Haruskah aku membawanya masuk ke ruangan ini?" Dan bukan Aldi Wiryawan namanya, jika ia harus berhenti ataupun kalah sebelum melakukan sejumlah perdebatan. Yang Aldi lakukan jelas adalah bentuk dari sebuah pengancaman, membuat kerutan kesal di kening datar Inna harus terlihat kembali. Nada suara Inna seolah meningkat beberapa oktaf, akibat perbuatan Aldi yang semakin menjadi-jadi pada telapak tangannya, "Astaga, Kak! Aku belum sembuh!" "Dan aku juga hanya memegang tanganmu, In. Aku bukan memerkosamu. Lagi pula waktuku hanya tersisa seminggu. Setelahnya, belum tentu aku bisa sedekat ini denganmu setiap hari, kan?" "Kita di rumah sakit, Kak. Pikirkan karirmu juga!" "Untuk sekarang, kamulah prioritasku, In. Biarkan aku seperti ini dulu. Sebentar saja." Inna menginginkan segala hal wajar dan biasa-biasa saja untuk mereka berdua, namun Aldi tidak begitu. Alhasil, tiada lagi bunyi apapun yang terdengar dari pita suara Inna, berganti dengan gerakkan cepatnya menutupi tautan tangan mereka menggunakan sebagian selimut di tubuhnya. Setelah Aldi memutar posisi duduknya sedikit menyamping, pandangan mata keduanya kini mengarah ke layar televisi yang menempel di dinding ruang rawat tersebut. Karena tidak ada saluran televisi lain yang dapat berfungsi dengan baik di sana, maka sinetron Indonesia berjudul 'Cinta Suci' pun mau tak mau harus mereka tonton bersama. Ketika tokoh utama pria bernama Marcel terlihat sedang memeluk lawan mainnya dari belakang, "Kak!" "Kapan kita bisa bahagia kayak gitu, In." Saat itulah tautan di tangan Inna kian keras terasa, membuat wanita itu memekik. Aldi terbawa perasaan akibat desiran hangat yang berasal dari ulahnya sendiri, sementara Inna, kini menyusul setelahnya. Sinetron di televisi kini bukan lagi aktivitas menarik untuk keduanya lakukan, setelah Aldi memilih berdiri dari kursi dan melepaskan tautan tangan mereka. Aldi menangkup kedua pipi Inna di sepersekian detik kemudian, "Kak, jangan." "Tolong, In. Aku janji ini yang terakhir." "Tapi-- Hemphhh...!" Dan kejadian itu, terulang sekali lagi di sana, namun kali ini tak ada tamparan yang tercipta. Aldi melumat habis bibir ranum Inna dengan begitu lembutnya, dan terkutuklah wanita itu yang tak bisa berjuang untuk bertahan. Pengaruh Aldi, mengaburkan segala pikiran jernih di isi kepala Inna saat itu, "Hemphhh...! Kakkk...!" "Aku nggak tahan, Sayanggg...! Tolong bantu akuuu..." "Tap..pi, Kakkk... Kita ada di rumah--" "Sentuh aja, In. Aku yakin dia bakalan keluar hanya karena sentuhanmu..." "Ough, Kakkk...!" Lalu hormon kehamilan sepertinya ikut menjadi alasan, mengapa Aldi dapat memenangkan keteguhan hati Inna. Aldi bahkan tanpa canggung menuntun tangan Inna untuk menyentuh kejantanannya yang sudah mengeras di balik celana kerjanya, "Sayanggg... Kamu mau tolong aku 'kan?" "Kakkk..." Sementara yang bisa Inna lakukan hanyalah mendesah tak karuan, menahan kecupan-kecupan bibir basah Aldi di sepanjang leher jenjangnya. Seharusnya, Inna tak perlu mengubah posisi brankar besi, tempatnya berbaring selama hampir tiga hari berada di rumah sakit tersebut. Dengan begitu Aldi mungkin akan sedikit kepayahan ketika memberi serangan, "Aku buka ya, Sayang? Kamu kocokin aja biar dia keluar." "Tapi, Kak--" "Ssttt... Aku nggak punya pilihan lain, Sayang. Dari dulu sampai detik ini memang cuma kamu, Inna. Cuma kamu yang ada dalam fantasiku, bukan yang lain." Tetapi siapa yang dapat menduga hal ini akan terjadi sebelumnya. Kewarasan Inna bahkan terbang melanglang buana akibat perbuatan gila Aldi yang tak kunjung berhenti satu demi satu. Di antara deru napas keduanya yang memburu, Inna pun mencoba untuk kembali mundur satu langkah ke belakang, "Kak, aku takut..." "Ssttt... Jangan takut, Sayang. Aku yang akan bertanggung jawab atas semuanya. Kamu, bila perlu anak dalam kandunganmu pun akan menjadi tanggung jawabku." "Kak-- Hemphhh..." Tetapi sayang seribu sayang, hal tersebut gagal terlaksana. Kembali mencumbu bibir ranum Inna adalah cara yang Aldi lakukan lagi di sana, "Sentuh punyaku, Sayang. Pleaseee..." "Kak-- Hemphhh...!" Bahkan Aldi seolah tak bisa berhenti untuk tidak melumat daging kenyal itu, yang entah sejak kapan terasa seperti candu di dalam dirinya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN