Tarakan. Tahun 1985-1990. Kota yang sangat dekat dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Kota yang dulu di gadang gadang menjadi little Singapur oleh mantan walikotaku. Jangan heran bila produk impor bisa beredar di kotaku yang hanya memiliki luas 657,33 km². Dimana 38,2% nya atau 250,8 km² berupa daratan dan sisanya sebanyak 61,8% atau 406,53 km² berupa lautan. Aku lupa kejadian tahun berapa, mungkin sekitar tahun itulah. Aku tinggal di Kampung Bugis. Dari namanya orang-orang luar Tarakan pasti mengira kalau kampung tersebut adalah kampungnya khusus atau mayoritas warganya suku bugis.
Ya itu hanya nama sebuah kampung, penduduknya justru bukan orang bugis yang mayoritas tapi suku Jawa dan Cina. Itu dulu ya waktu aku masih Sekolah Dasar (SD). Sekarang mungkin lebih banyak suku. Dulu kampung bugis terbagi jadi tiga namanya, ada kampung Bugis Luar, Tengah dan Dalam. Dan kampungku termasuk kampung bugis tengah.
Masa kecilku dulu, banyak ku habiskan waktu bermain dengan teman-teman seumuran ku. Generasi 80-an dan 90-an pasti tau lah mainan zaman kita apa saja. Tidak seperti zaman sekarang, Gadget bro. Kalau dulu area main kami banyakan dilapangan dan perkebunan. Dulu mah masih luas dan banyak lahan yang bisa dijadikan arena bermain. Itu dulu ya. Beda zaman pasti beda juga ya perkembangannya. Jika dulu kita terbiasa bermain kelereng, leduman saat bulan puasa, adu batu bettor, bermain karet gelang, dan masih banyak lagi permainan ala anak zaman old.
Masa kecil dulu aku banyak memiliki teman bermain. Dari yang umurnya lebih muda dikit dariku, seumuran, sampai yang agak tua an dikit umurnya. Agama dan sukupun dulu tidak menjadi penghalang bagi kami untuk menjalin persahabatan. Ada yang Muslim, Protestan, Katolik, dan Budha, Dayak, China, Jawa, Banjar, Timor, dan lain lain. Tak pernah kami menyinggung itu, semuanya rukun dan saling menghormati satu sama lainnya. Setiap hari besar, bagi yang merayakan, orang tua kami saling memberi bingkisan dan saling mengunjungi. Sungguh kehidupan dulu itu pluralnya indah sekali. Tidak seperti sekarang yang sangat sensitive untuk dibahas. Sedikit tersenggol langsung main fisik, tercolek sedikit langsung main lapor. Sekarang sudah tidak seindah dulu.
Oya namaku Juna. Anak nomor dua dari tiga bersaudara. Kakakku cowok dan adikku cewek terpaut dua tahun denganku. Ibuku seorang penjual nasi kuning yang sudah menjadi legend. Di kota ini nasi kuning versi ibuku adalah number one. Bumbu resepnya sudah turun temurun dari nenekku. Sekarang usaha itu ibuku yang melanjutkannya. Saudara saudara beliau tidak ada yang mau melanjutkan jualan tersebut. Nasi kuning ini sudah mendunia, langganan ibu ada yang membawanya hingga ke Negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia. Pelanggan nasi kuning itu juga tidak hanya dari kalangan biasa, tapi dari kalangan elit juga banyak. Setiap tamu kehormatan yang hadir kurang afdol jika tidak mengunjungi warung ibu ku.
Sementara dengan abahku, dia adalah lelaki kebanggaanku. Orang yang paling ku segani selama aku hidup. Mendidik anaknya cukup keras. Bila satu yang salah otomatis semuanya pasti kena imbasnya. Kelebihan yang ia miliki mampu membantu banyak orang meski Abah enggan secara terang terangan membanggakan ‘kelebihan’ tersebut. Tidak jarang ia selalu mengingatkan agar aku selalu mengamalkan ilmu yang beliau ajarkan.
“Kam amalkan apa yang Abah ajarkan nak. Kelak itu berguna untuk hidupmu dan orang lain.”
Setiap beliau mengucapkan hal tersebut aku selalu mengiyakan. Sedikitpun aku takkan berani menolak setiap omongan beliau. Ada reaksi yang berbeda setiap aku harus bicara serius dengan beliau. Wibawanya sebagai seorang ayah sangat patut ku acungkan jempol. Wajar saja jika di kampung tempatku tinggal ia begitu sangat di hormati dan di segani. Setiap ada masalah selalu Abah orang terdepan yang menghadapi. Dan bisa di pastikan setiap orang yang berhadapan dengan beliau pasti nervous duluan.
Masih terngiang jelas kala itu ada keributan di kampungku. Abah juga yang melerai dan mendamaikan kelompok yang bertikai. Untung saja kedua kelompok itu mau menuruti keinginan abahku saat itu. Sedikitpun ia tak gentar meski berada di tengah tengah. Karena charismanya abah beberapa kali menjadi ketua RT di kampungku. Meski sebenarnya ia enggan mengemban amanah tersebut. Tapi amanah itu tidak salah di sematkan pada diri sang Abah. Karena tangan dinginnya telah berhasil mengubah keadaan kampungku. Dulunya jalan di kampung kumuh dan sempit, kini menjadi sebaliknya. Jalan semakin lebar karena warga sangat menurut jika abahku meminta untuk memundurkan pagar rumahnya masing masing. Itulah sedikit cerita tentang abah dan ibuku.
Kembali dengan teman teman masa kecilku. Ada banyak sebenarnya yang menjadi temanku kala itu. Tapi hanya beberapa yang sangat akrab sehari harinya. Dari sekian banyak teman-teman tadi, ada beberapa yang sangat akrab denganku. Kebetulan rumah mereka juga ga jauh dari rumahku. Pertama si Didi atau nama lengkapnya Romadi, tetangga sebelah rumah, orang jawa tapi lahir dan besar di Tarakan, orang tuanya adalah Juragan Gorengan.
Karakter sahabat satu ini agak unik. Responnya terhadap sesuatu atau memutuskan suatu hal selalu lambat dan salah. Dan ia selalu bertingkah cuek ketika hasil salah itu telah terjadi. Tidak ada sedikitpun rasa penyesalan karena telah melakukannya. Tapi di sisi kelebihannya, Romadi adalah anak yang rajin banget. Gerakannya dalam membantu teman sangat bisa di andalkan. Ia selalu membantu orang tuanya dalam berjualan gorengan. Jika dalam permainan bola, Didi adalah seorang bek yang tangguh. Setiap lawan yang berhadapan dengannya sudah pasti keder duluan. Apalagi hal itu di tunjang dengan wajahnya yang jarang senyum. Dengan rahangnya yang begitu kokoh, Didi terlihat lebih jantan daripada sahabatku yang lain. Dari Didi juga aku bisa mahir dalam bersepeda. Jika saja dia tidak mengajariku waktu itu mungkin aku akan lambat dalam bersepeda.
Kedua si Cecep, dia adiknya si Didi, umurnya paling muda diantara sobat karibku. Walau sebenarnya selisih usianya tidaklah jauh, sekitar dua tahunan. Meski muda cara berpikir Cecep lebih dewasa ketimbang kakaknya Didi. Itu terlihat dari reaksi yang selalu ia berikan dengan teman teman sebayanya. Ia juga anak yang rajin, namun di banding Didi ia masih kalah. Karena Cecep orangnya agak sedikit perhitungan jika di suruh atau di minta melakukan sesuatu. Terkadang jika kumat malasnya ia sangat sulit untuk di mintai tolong. Dengan kakaknya juga terkadang kurang peduli, terkesan cuek. Langkahnya penuh dengan perhitungan untung dan rugi. Itulah kelebihan si Cecep.
Selain ortunya juragan gorengan, keluarga mereka juga memiliki lahan perkebunan yang sangat luas. Kadang tiap libur aku selalu di ajak ke kebun mereka untuk sekedar bermain atau ikut menikmati hasil kebun tersebut, seperti singkong bakar, jagung rebus, kacang rebus atau buah buahan lainnya. Kadang kami juga biasa berenang di sungai yang ada di kebun itu. Atau sekedar memancing ikan kecil yang tidak layak konsumsi.