Cemburukah?

2041 Kata
Slamet baru akan menyalakan mesin motornya ketika ponselya berdering. Membaca nama istrinya yang menelepon, dahinya mengernyit. Tak biasanya sang istri menelepon di saat jamnya pulang kerja. Perasaannya seketika tidak enak. Sesuatu pasti terjadi. "Ya?" Slamet menerima telepon tanpa salam. "Pak, belum selesai kerjaanmu? Nyonya mau keluar?" Suara istrinya memburu, penggalan tiap katanya aneh. Seperti ada yang ingin disampaikan, tetapi sedang ditahan agar Slamet tidak panik. "Enggak. Ini saya mau pulang. Ada apa?" "Cepet ya, Pak." "Kenapa? Ada apa, sih?" Slamet mulai kesal dengan sikap istrinya yang bertele-tele. Melambat-lambatkan informasi. "Pak Fery datang sama anak buahnya." Istri Slamet bicara dengan suara berbisik dan seketika Slamet panik. "Tunggu." Dia memasukkan ponselnya dengan terburu-buru dan meminta tolong seorang satpam untuk membukakan pagar kecil yang memang dikhususkan bagi yang membawa sepeda motor. Slamet baru saja memasuki usianya yang ke lima puluh tahun, tetapi beban hidup membuat perawakannya terlihat jauh dari usianya. Tubuh kecil kurusnya, menonjolkan urat-urat kerja yang begitu tegas. Wajahnya tirus dan pipinya kopong, masuk terlalu dalam. Terlalu banyak cobaan yang Slamet hadapi. Sebagai anak sulung, ia sudah menanggung tanggung jawab untuk keluarganya sejakmu usianya lima belas tahun. Merantau ke Jakarta menjadi apa saja dan akhirnya menjadi sopir pribadi di beberapa keluarga. Pada keluarga Pamungkas, ia sudah bekerja selama delapan tahun. Setelah dari keluarganya, cobaan datang dari kedua anak-anaknya. Yang sulung akhirnya meninggal karena over dosis dan yang bungsu, menikah dengan lelaki pengangguran lalu melakukan penipuan. Kini ia bahkan harus menjaga dan mengurus kedua cucunya. Rasanya Slamet ingin menyerah. Sampai di dekat rumahnya, beberapa warga terlihat berkerumun tetapi tak terlalu dekat. Mereka memberi jalan bagi Slamet. Terdengar tangisan dan suara memohon istrinya. Slamet melihat empat orang berbadan besar sedang mengeluarka beberapa peraobatannya yang tak ada nilainya. Slamet juga melihat sosok tambun berdiri di ambang pintu dan menatap Slamet dingin. Slamet menghampiri istrinya yang duduk di lantai dekat dengan kaki lelaki bertubuh tambun bernama Fery. Ia tak melihat kedua cucunya yang masih batita dan yang masih enam bulan. Dibantunya istrinya yang lemah untuk berdiri. "Di mana anak-anak, Bu?" "Di pegang sama Mbak Alya. Di bawa ke rumahnya dulu, Pak." Alya adalah tetangga mereka. Pasangan muda yang baik dan sering membantu keduanya. "Saya sudah habis sabar ya, Pak Slamet. Dari pada Bapak nunggak terus dan bunganya naik terus tidak jelas, lebih baik saya sita rumah ini. Toh, rumah kecil ini tak akan sebanding juga dengan jumlah hutang putri da mantu Bapak," cemooh Fery. "Apa harus malam ini, Pak?" tanya Slamet memelas sekaligus panik. "Lho. Saya kan sudah kasih banyak waktu. Saya juga sudah jauh-jauh kasih peringatan." "Beri kesempatan lagi, Pak. Saya kan janji mencicil." Wajah Fery terlihat melecehkan. "Mencicil model bagaimana? Ini bunganya mingguan, Pak. Gaji Bapak sebagai sopir saja berapa? Logikalah." "Tapi, ya jangan malam ini, Pak. Saya mohon. Kasihan cucu-cucu saya." Fery tetap pada keputusannya. Slamet yang putus asa, mulai memohon dengan memaksa. Ia bahkan menghalangi dua tiga orang bertubuh besar itu masuk lagi ke dalam. Kericuhan dimulai. Seorang bertubuh besar karena kesal, mulai mendorong Slamet yang bertubuh ringkih. Seketika istri Slamet menjerit menghampiri. Dua tiga warga pria mendekat mencoba menenangkan Fery dan anak buahnya. Pak RT pun terlibat. Tetapi mereka tak bisa berbuat banyak perihal utang piutang. "Saya beli rumahnya." Kericuhan terhenti seketika. Dari balik kerumunan, muncul Robi ditemani seorang pria berpakain rapi dengan jas. "Maaf, saya tadi mendengar keributan lalu tanya-tanya dan saya tidak suka." Robi tersenyum menghampiri Slamet yang wajahnya begitu pucat. "Bapak tidak apa-apa?" Slamet tak bisa berkata-kata selain mengangguk-angguk. "Ini sudah malam. Penyitaan ini selain sudah ilegal juga dilakukan di waktu yang tidak tepat. Anda bisa dituntut." Robi menatap Fery yang seketika didampingi keempat anak buanya. "Urusannya apa sama kamu? Ini gak ada urusannya sama kamu." "Saya akan bayar semua hutangnya malam ini." Tanpa peduli tatapan bingung semua orang, Robi dan rekannya melangkah mendekati Fery dan anak buahnya. "Kita bicara di dalam," ujar Robi dengan senyum tegas. *** Dengan sengaja Saskia pulang cepat. Ia akan makan malam dengan ibunya. Ia akan menjalankan rencana yang sudah disusunnya dengan Juan. Meyakinkan ibunya agar mau mengadalan perta sederhana ulang tahun. Sudah bertahun-tahun tidak ada pesta lagi di rumahnya. Tidak ada lagi pesta ulang tahun kelahiran, pernikahan, atau ulang tahun perusahaan. Perayaannya masih ada, tetapi sudah tidak di rumah lagi. Julia selalu mengadakannya di hotel berbintang. Alasannya begitu masuk akal, "Kasihan Papa kalau mendengar atau melihat adanya perayaan di rumah dalam kondisinya yang seperti itu Kita kan harus jaga perasaan Papa." Begitu ucap Julia saat itu. Tapi, kali ini Saskia berniat untuk memaksa. Ia mau ada perayaan ulang tahun lagi di rumah ini. Dan ia akan memperkenalkan Juan pada ayahnya. Ia akan benar-benar mengukuhkan dirinya dengan Juan di hadapan Julia. Memastikan ipar tirinya yang seperti iblis itu belingsatan dan menghentikan upanya untuk menjodohkan dirinya dengan Onel. "Tumben anak Mama gak lembur," ucap ceria Soraya saat melihat kemunculan putrinya dengan pakaian rumah. "Sudah pulang dari tadi?" tanya Soraya keheranan. Biasanya, kalaupun Saskia pulang dan makan malam, anak gadisnya itu masih akan mengenakan pakaian kerjanya. Malam ini Saskia terlihat seperti anak kecil dengan rambut dikucir cepol sembarangan dan menggunakan kaos yang begitu lebar. Saskia nyengir dan langsung duduk di sebelah ibunya. Sempat Saskia mencium kedua pipi Soraya dengan sayang. "Iya, Ma. Saya pulang cep.... Aduh!" Telapak tangan Soraya langsung menempel di kening Saskia. Wajahnya terlihat sangat khawatir dan kemudian mengernyit. "Gak panas." "Ih, Mama." Saskia menepis lembut tangan ibunya dan mencebik manja. "Saya gak sakit. Saya cuma pingin pulang cepat aja." "Pasti ada sesuatu. Mana mungkin kamu pulang cepat, temani Mama makan, kalau gak ada sesuatu atau ada maunya." Saskia tersenyum malu. Ibunya paling mengerti dirinya. "Eh, Ma, kan lusa Mama ultah." "Terus?" "Bagaimana kalau ki...." "Selamat malam, Ma. Saskia?!" Suara Julia yang reyah, menghentikan kalimat Saskia. Saskia menoleh ke arah Julia yang melangkah masuk dibarengi Anggara. Perasaannya seketika menjadi tidak nyaman. Julia segera menghampiri Soraya dan mencium kedua pipi ibu mertuanya itu. Sedangkan Anggara mengangguk sopa dan langsung duduk di kursinya. "Tumben, Sas," ucap Julia. "Biasa aja," jawab sewot Saskia yang langsung menyibukkan diri dengan membalikkan piringnya menghadap ke atas. "Biasanya kita maka malam gak ada kamu." Julia menegaskan sembali melangkah menuju kursinya, di sisi kanan Anggara. "Kamu sakit?" Saskia enek dengan pertanyaan Julia yang sok perhatian. "Enggak." Kemudian makan malam berlangsung bagai neraka bagi Saskia. Julia mendominasi permbicaraan. Bertanya ini dan itu. Menceritakan hal-hal tidak jelas ke ibunya. Dan kemudian yang paling tak disukai Saskia terjadi juga. "Tadi Onel mencarimu di kantor. Kamu sudah keluar lebih cepat sebelum jam makan siang. Ke mana?" Saskian sudah tak bisa menikmati makannya. Cara bertanya Julia bagai seorang yang sedang menginterogasi penjahat. Padahal, adalah kebebasan Saskia mau keluar kantor jam berapa dan ke mana saja. Ditambah, ia tak suka ditanya-tanya Julia dan itu juga pakai ada nama Onel disematkan. "Gak ke mana-mana." Keengganan menjawab tak disembunyikan Saskia. "Kasihan lho dia. Sampai bolak-balik cari kamu. Dia juga nungguin kamu." "Ponsel saya gak mati." Sebuah sindiran untuk Julia yang seolah-olah menyalahka Saskia atas sikap seseorang yang sedang mencoba menarik perhatiannya. "Kalau memang otaknya jalan, kan bisa telpon saya." "Saskia...," tegur Soraya lirih.  Meskipun dirinya tak menyukai Julia, tetapi Soraya melarang Saskia untuk bersikap kasar. Saskia diam. Selera makannya sudah benar-benar hilang. Percuma juga melanjutkan makan dan membicarakan ulang tahun ibunya di saat ada iblis di meja makannya. Saskia membalikkan sendok dan garpunya. Ia memutuskan kembali ke kamarnya saja. "Ma..., lusa ulang tahun, ya?" Pertanyaan Julia seketika menghentak d**a Saski. Perasaan tidak nyaman yang tadi dirasakannya sejak mendengar suara Julia, kini benar-benar terjawab dan sangat mengejutkan Saskia. "Iya, Jul. Kenapa?" jawab Soraya. "Kita rayain di rumah ini ya, Ma." Saskia benar-benar terkejut. Sesuatu menyentak pikirannya. Mengaitkan sesuatu dengan rasa amarah. Dirinya merasa sedang dipermainkan. Dua orang sedang berpikir kalau dirinya mudah diperdaya. Tanpa banyak bicara, Saskia bangkit dari duduknya dan berlalu. Meninggalkan semua orang yang sedang menatapnya bingung. Saskia melangkah bagai prajurit yang akan berperang. Langkahnya lebar, wajahnya tegang, dan matanya memancarkan amarah. Pantas saja paginya Julia ke restoran Juan, ternyata keduanya sedang beradu strategi. Brengsek! Bisa-bisanya mereka melakukan itu. Mereka pikir mereka siapa? b******n semua! Saskia benar-benar ingin berteriak. Dan ia melakukannya dengan cara yang tepat. Masuk kamar, menghempaskan tubuh di tempat tidur, telungkup, menempatkan wajah di benaman bantal, barulah Saskia berteriak. Ia melakukannya sampai tiga kali, sampai napasnya sudah habis. Saskia membalikkan tubuhnya, telentang. Mengatur napasnya sejenak. Cepat ia mengambil ponselnya di atas nakas dan menelepon Juan. Ia akan bicara tegas kalau ia akan membatalkan kerja sama ini. Dia tidak peduli dengan satu permintaan Juan yang belum diucapkan, yang penting untuk jasa menjadi kekasihnya dalam satu malam, Juan akan mendapatkan imbalannya. "Halo. Sebentar, Sas, saya minggir dulu." Saskia mengernyit saat mendengar suara musik. Bukan dari alat pemutar lagu, suara itu terdengar nyata. Sebuah band musik tampil live. Saskia mengernyit dan bertanya-tanya. "Kenapa, Sas?" Suara Juan mulai jelas dan suara musik mulai samar berganti dengan suara kendaraan yang lewat. "Kamu di mana?" "Di kafe." "Dengan perempuan?" Sesudah bertanya, Saskian menepuk jidatnya sendiri. Bukan urusannya untuk tahu di mana Juan dan bersama siapa lelaki itu. "Kenapa? Kamu cemburu?" Suara Jua terdengar manis menggoda. Saskia sangat yakin jika Juan di seberang telepon sedang tertawa tanpa suara. "Jangan sembarangan. Gak ada gua saya cemburu. Memangnya kamu siapa saya?" "Tunangan, bukan? Tunangan Saskia Pamungkas." Senyum ditahan kuat-kuat dengan gigitan bibirnya. Tidak mengerti, tapi Saskia menyukai cara Juan menjawab. Saskia! Dia simpanan Julia! Batin Saskia menyadarkan Saskia pada maksudnya menelepon Juan. Gelegak kesal kembali mucul ke permukaan. Dan berganti dengan perasaan jijik. "Kamu simpanan Julia!" cetus Saskia. "Hah? Maksud kamu apa?" "Ahhh, udahlah, gak usah akting. Meski saya gak lihat mukamu saat ini, saya bisa tahu kalau kemu kebingungan, 'kan?" "Ya, jelas saya kebingungan. Gak ada angin gak ada hujan, kamu mengeluarkan pernyataan aneh yang saya tidak mengerti dari mana asal usulnya kesimpulan ucapanmu itu." "Kamu memang pandai melakukan tipu daya. Mentang-mentang kamu ganteng, kamu pikir kamu bisa membodohi saya?" "Terima kasih kalau kamu sudah menilai saya ganteng dan itu akan saya ingat." Saskia meringis. Lagi-lagi mulutnya tidak bisa meyaring kata-kata. "Tapi, saya tidak sedang membodohi kamu. Dan saya tidak mengerti arah pembicaraanmu akan ke mana? Menuduh saya dan kemudian melakukan kesimpulan sendiri. Ini ada apa?" "Oke. Kamu dan Julia memang sudah merencanakan sesuatu, 'kan?" "Rencana apa?" "Ulang tahun Mama. Kalian berdua sepakat melakukan sandiwara. Melontarkan rencana yang sama, agar saya diperdaya." "Tunggu, tunggu, tunggu.. Mari kita bicara pelan. Kenapa dengan ulang tahun mamamu?" "Julia mengajukan pesta ulang tahun untuk Mama. Hah! Kali ini kalin terlalu bodoh hingga kurang koordinasi. Kalian pikir saya masih lembur dan tidak maka malam bersama. Karenaya Julia dengan percaya diri mengajukan pesta untuk Mama." "Julia mengajuka pesta ulang tahun?" "Ya. Itu rencana kalian berdua, 'kan?" Saskia tak melihat jika Juan benar-benar terkejut. Tak menduga jika rencannya bisa begitu sama dengan Julia. Apakah karena sedarah jadi cara berpikir bisa sama? "Bohong! Kamu mengarang cerita saja kalau saar Julia ke restoran, kamu belum ada di restoran dan menjadikan itu alasan untuk lamanya Julia di restoranmu. Padahal, kalian berdua sedang menyusun rencana." "Memang tidak. Kami tidak membicarakan itu. Julia memang sudah lama di restoran itu sebelum saya datang. Dan dia meminta saya menjauhimu. Benar-benar hanya itu." "Bohong!" Saskia tidak mau mendengarkan alasan apapun. "Mulai detik ini, urusan kita berdua selesai. Tidak ada lagi tunangan yang dibuat-buat," putus Saskia. "Saya akan datang besok pagi." Juan akhirnya berbicara setelah beberapa saat hening. "Tidak perlu! Saya tidak butuh kedatangan manusia kerdil hati sepertimu. Hubungan kita selesai!" "Saya tetap akan datang besok pagi. Saya paling tidak suka dituduh-tuduh tanpa bukti apalagi tanpa logika masuk akal. Dan saat saya meluruskan sesuatu, saya harus bertatap muka. Jadi, tunggu saya besok pagi." "Saya tidak akan mudah diperdaya olehmu. Saya bisa tahu kamu pendusta." "Kalau begitu, buktikan besok. Buktikan bahwa saya pendusta padamu. Hadapi saya dan kita bicara dengan kepala dingin dan akal sehat." "Saya gak butuh bukti. Semua sudah jelas. Bagaimana bisa kamu dan Saskia bisa memiliki pemikiran yang sama kalau bukannya direncanakan bersama?" "Kalau begitu, kamu pengecut. Kamu tidak berani berhadapan dengan saya karena di sebagian dari dirimu meyakini bahwa saya tidak salah." Saskia merasa sedang ditantang. Ia tidak suka dikata-kata pengecut. "Saya tunggu kamu besok jam enam. Kalau kamu datang lewat dari jam enam pagi, artinya sudah jelas, kamu memang bukan pria yang layak dipercaya." Tanpa penutupan, Saskia mematikan ponselnya. Sengaja ia menantang Juan datang pukul enam tepat karena ia yakin, Juan tidak akan bisa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN