Yang Tak Terduga

1552 Kata
Wajah-wajah bingung, terlukis di wajah Juan dan Robi setelah mendengarkan apa yang Hartono dengar saat ia sedang duduk-duduk di taman kecil dekat kolam. Julia sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Dari kata-katanya yang keluar, sangat bisa disimpulkan kalau itu ada kaitannya dengan Onel. Dan mengaitkan dengan cerita Roby, maka kemungkinan terbesar, mobil di depan Roby yang selalu membuntuti dengan sangat dekat mobil Onel, adalah suruhan Julia. Masalahnya adalah, apa dan kenapanya Julia melakukan itu ke Onel, masih tidak dimengerti. Tidak ada kejelasan, mengingat kedua orang itu adalah sekutu. "Pasti ada sesuatu di antara keduanya," ucap Roby menyimpukan. "Ada kesepakatan yang sepertinya sedang dilanggar." "Siapa yang melanggar? Dan kesepatan apa kira-kira?" tanya Juan bingung. Roby hanya mengedikkan bahu. "Kesepakatannya apa, ya saya gak taulah. Siapa yang sedang melanggar di antara keduanya, saya juga tidak tahu. Tapi yang pasti, Julia sedang marah dengan Onel. Dan ini adalah kecelakaan." "Kecelakaan?" Eaut wajah Juan bingung tapi juga melecehkan Roby. Ini karena Roby memberikan pernyataan yang sudah sangat jelas. Apa yang dialami Onel adalah memang kecelakaan. "Kecelakaan dalam arti yang lain. Mendengar cerita Om Hartono, Kak Julia kan terdengar kaget. Kak Julia jelas marah karena sepertinya yang harus dilakukan oleh mereka adalah cukup melakukan sesuatu yang kecil. Sama seperti kita. Kemungkinan cukup menyenggol saja mobil itu. Sayangnya, ada salah perhitungan dan terjadilah kecelakaan besar itu." "Roby benar," sahut Hartono. "Karena kalau memang tujuannya lebih, Julia pasti tidak akan semarah itu." "Jadi ini ada kesalahan tak terduga?" Pertanyaan Juan dijawab dengan anggukan kepala Roby dan Hartono. "Yang perlu kita cari tahu adalah motifnya. Apakah Julia sedang mengkhianati kesepakatan yang membuat Onel melakukan pengancaman. Sehingga Julia berpikir untuk mencelakai Onel. Ataukah, Onel yang sedang akan mangkir dan Julia merasa perlu memberikan Onel peringatan. Apa pun itu, Julia sedang kesal dengan Onel." ucap Roby. Kembali semuanya diam. Berkutat dengan pikiran masing-masing. Mencoba mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi antara Julia dan Onel. Mengira-ngira juga apa dampak yang mungkin terjadi pada lain-lainnya. "Ini yang kamu minta, Juan." Hartono mengulurkan jarum suntik pada Juan Juan melongo dan Roby memekik lirih. Keduanya memandangi lekat-lekat benda yang disodorkan Hartono dengan degup jantung yang berpacu cepat. "I...ini...." Dengan tangan sedikit gemetar, Juan mengambil jarum suntik. Sebuah tindakan implusif ketika Juan mengangkat tinggi jarum suntik, mengarahkan pada lampu koridor, dan menatap lebih tajam lagi ke cairan bening yang masih ada. "Itu suntikan yang akan dicuntik ke tabung infus Pak Pamungkas," ucap Hartono. "Bagaimana Bapak mendapatkannya?" Hartono mulai menceritakan detail bagaimana ia sudah bisa membaca karakter Reni sebagai wanita muda dan agak genit. Ia mengambil peluang dari keinginan besar Reni yang tentunya ingin heboh di keramaian beberapa pekerja pria. Hartono juga menceritakan kalau Pamungkas bisa membuka mata, tetapi sepertinya lumpuh di beberapa fungsi organ pentingnya. Jadi, komunikasi Hartono dan Pamungkas adalah melalui kedipan mata. "Bapak curiga kalau suntikan ini ada kaitannya dengan kelumpuhan Bapak Pamungkas." "Rob...." Juan menatap Roby yang langsung dibalas anggukkan kepala. "Saya bawa ini." Robi mengambil jarum suntik dari tangan Juan. "Saya akan periksakan di Lab." "Tapi, Julia kira-kira akan curiga tidak kalau Pak Pamungkas belum disuntik?" tanya Juan khawatir dengan posisi ayahnya. "Julia tidak akan sempat memikirkan itu. Keadaan sedang seperti ini. Lagi pula, kalau dia tahu dan kecurigaannya mengarah ke Bapak, memangnya apa yang bisa dia perbuat? Bapak tidak akan melepaskan anak itu demi ibumu. Jadi Bapak pastikan Bapak akan selalu dekat dengannya sampai ia kita bawa pulang." Juan melihat ketetapan hati di wajah ayahnya dan argumen ayahnya benar. Julia tidak akan bisa mengancam ayahnya sendiri. "Sebaiknya kita kembali ke ICU. Kita tidak bisa lama-lama berada di sini dan bersamaan. Jangan memancing curiga bagi lainnya yang tidak tahu apa-apa." Ucapan Hartono disepakati Juan dan Robi. Ketiganya berdiri dan menetapkan langkah selanjutnya. Juan meminta ayahnya untuk pulang saja bersama Roby. Dia yang akan mengantar Saskia dan lainnya pulang. Lagi pula, besok paginya Hartono harus kembali ke rumah Saskia untuk bekerja. Juan tidak ingin ayahnya terlalu lelah meskipun fisik juga tenaga Hartono masih mumpuni. Juan dan Hartono berjalan bersisian, sedangkan Roby melangkah sendiri di belakang mereka. Di persimpangan koridor, tiba-tiba muncul Saskia. Ketiga pria terkesiap. Tak menduga kemunculan Saskia yang tidak lagi di sekitaran ICU. Tapi, ketiganya adalah profesional. Roby sendiri tetap melangkah santai melewati keduanya. Topinya ia tarik lebih dalam agar wajahnya tak terlalu terbuka dilihat Saskia yang pastinya sudah mengenali Roby saat gadis itu ke restoran. Roby juga lebih membungkuk saat melangkah dengan kaki lebar. Beruntung Saskia tak memerhatikan Roby. Fokusnya hanya pada Juan dan Hartono yang berjalan di sisi Juan. Hartono sendiri segera memperbaiki sikapnya. Kedua tangannya saling menangkup dan tubuhnya sedikit membungkuk. "Kok, kalian bisa bersama?" "Tadi saya cari Pak Hartono. Taunya beliau di kantin." Juan memberi senyum paling manisnya. Ia menepuk pundak Hartono dengan lembut beberapa kali. "Lapar, ya, Pak?" Hartono hanya mengangguk kecil dan cengengesan. "Belum sempat makan katanya." Saskia memandangi Hartono dengan kening berkerut. "Kok, belum makan? Memangnya di dapur tidak ada makanan?" "Ada, Mbak. Banyak malah. Tapi kan tadi saya bantu-bantu dulu lainnya." "Ooo...." Saskia kemudian merogoh tasnya, tetapi jemari Juan segera menahan tangan Saskia. "Saya sudah traktir Pak Hartono." Juan mencegah Saskia mengeluarkan uang. Juan yakin jika Saskia berniat untuk mengganti uang Hartono. Padahal ayahnya itu tidak makan apa-apa. Saskia tersenyum tipis. "Terima kasih." "Kok, terima kasih?" tanya Juan bingung. "Karena Pak Hartono kan bekerja pada kami. Harusnya saya lebih memerhatikan beliau. Tapi, malah kamu yang perhatian." Gadis yang istimewa dan Juan semakin kagum akan Julia. Saskia begitu berbeda dari wanita kebanyakan. Bahkan wanita muda yang sebaya Saskia, akan jauh lebih egois juga manja. Tak ada memikirkan orang lain selain diri sendiri. Juan terjebak pada bulatnya mata Saskia. Bulu mata yang lentik semakin mempesona keindahan mata Saskia. Mata Saskia seperti bergerak-gerak tetapi tidak juga. Menggoda Juan mendekat. Sedangkan jemari Saskia yang berada dalam remasan jemari Juan, membuat gadis itu belingsatan di dalam hati. Sesuatu bermain-main di dalam d**a Saskia. Menggoda Saskia. Membuat gadis itu gugup dalam kungkungan mata Juan. Keduanya masuk pada dunia yang diciptakan oleh keduanya secara bersamaan. Tak ada suara-suara. Tak ada waktu. Tak ada siapa-siapa. Dan keduanya terus tenggelam pada pesona satu dengan lainnya. Cup! Sebuah dorongan dari belakang Juan, membuat pria tampan yang terombang-ambing pesona Saskia, menjadi oleng dan tubuhnya menjadi lebih maju ke Saskia. Tangannya yang lain, refleks memeluk pinggul Saskia, membuat tubuh Saskia merapat ke tubuh Juan. Tak hanya tubuhnya. Kepala Juan yang sedikit menunduk hanya agar bisa menguasai kedua bola mata Saskia, justru ikutan melemah, membuat kepala itu ikutan oleng, menabrak wajah Saskia dengan bibirnya yang duluan menempel di bibir Saskia. Sedangkan Hartono yang melihat bibir putranya menempel ke bibir Saskia, hanya bisa melongo dan kemudian menahan tawa dengan memutar tubuhnya menatap arah lain. Hartono tadi sudah melihat lima remaja, dua putri dan dua putra, berjalan cepat sembari banyak bicara. Ia sendiri sudah meminggirkan tubuhnya, agar ada ruang jalan bagi mereka. Tetapi, rupanya ada salah satu remaja yang iseng. Dengan sengaja remaa itu mendorong tubuh Juan dan kemudian cekikikan sendiri. Hartono sempat mendelik tajam, hanya agar tak ada sorakan berlanjut yang bisa membuat Saskia dan Juan malu berkepanjangan. Tubuh Saskia sedikit bergetar. Bibirnya bisa merasakan kehangatan yang sangat nyata dari bibir Juan. Itu adalah ciuman pertama Saskia. Dan Saskia tak berkutik. Ia bahkan tak berani bernapas. Juan yang bisa segera mengendalikan keadaan. Ia melepaskan diri dari Saskia. Memberi jarak atas dirinya dan Saskia dengan tidak menyentuh gadis itu. Saskia dan Juan sama-sama menghirup udara sekitar dengan cepat, seperti seorang penyelam yang sudah terlalu lama di dalam air. Masing-masing menghindari kontak mata. Menatap ke sekeliling dengan gugup. Saat Saskia menatap Hartono, wajahnya langsung memerah malu. "Pak Hartono!" bentak keras Saskia. Suaranya yang nyaring di tengah koridor rumah sakit yang sepi, membuatnya bergema jelas. Mengejutkan Hartono juga Juan. "Ngapain tadi liat-liat?" "Eh.... Anu.... Saya kan...." "Halah! Pokoknya kejadian tadi, itu gak sengaja. Ingat, ya! Gak sengaja! Dan itu bukan kemauan saya!" Dan Hartono hanya memberi senyum kecut. Ia tidak marah pada Saskia yang membentaknya sedemikian rupa. Yang ada, Hartono ingin tertawa, tetapi juga tidak tega. Ia paham bagaimana Saskia pasti sedang sangat malu. Saskia menoleh cepat pada Juan dengan tatapan setajam silet. Membuat jantung Juan mencelos karena terkejut mendapati sinaran mata yang berbeda dan raut wajah yang garang. "Kamu tuh gak pernah olahraga, ya? Punya badan lembek banget, sih!" "Nggg.... Itu...." Juan sama gagapnya dengan Hartono. Bentakan Saskia di situasinya yang memalukan membuat Juan salah tingkah. "Ang eng ang eng. Kejadian tadi itu musibah, ya! Gak usah diingat! Awas kamu kalau ungkit-ungkit!" Saskia melengos dan memutar tubuhnya dan berniat kembali ke ICU. Tapi, masih sempatnya ia menatap Hartono dengan galak. "Awas ya, kalau Pak Hartono bergosip!" Saskia mengancam dan Hartono hanya tersenyum tipis sembari mengangguk. "Saya tadi mode buta. Jadi, ya tidak ada gosip." Senyuman Hartono dan wajah yang menyiratkan keteduhan, sebenarnya membuat Saskia lega dan percaya. Meskipun wajah Hartono sedikit menyeramkan bagi Saskia, tetapi Saskia bisa merasakan kelembutan bak seorang ayah dari sikap dan sorot mata Hartono. Saskia melengos dan melangkah lebar meninggalkan Hartono dan Juan dengan menyisakan bunyi ketak-ketuk hak tinggi sepatu Saskia. Hartono terkekeh mendekati putranya yang masih menatap kepergian Saskia. "Mencintai bidadari itu berat, Nak. Karena ia sejatinya berada di langit dan kamu berada di bawahnya." Hartono menepuk ringan lengan putranya. "Jatuh cintalah, tetapi jangan sampai kamu lupa siapa kamu. Bapak pulang dulu. Kasihan Roby nunggu lama pastinya." Juan mengangguk saja dan kembali menatap koridor rumah sakit yang kehangatannya sudah hilang bersama lenyapnya Saskia dari pandangan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN