Hai, Julia (2)

804 Kata
Suara Saskia terasa menjauh dan mengecil. Bahkan orang-orang sekitar yang duduk memandangi Juan, terasa mulai mengabur, menjadi tidak jelas, seolah-olah mereka semua diselimuti sesuatu yang lembut. Hanya sosok Julia yang begitu jelas di mata Juan. Julia, yang selama ini hanya menjadi bayangan, kini ada di depan mata dengan wajah tegang yang tak bisa disembunyikan. Bibir Julia yang dipoles warna merah bata, membentuk garis lurus yang tajam. Ada lipatan sangat dalam pada bagian kelopak mata akibat biji mata yang melotot. Dari tempatnya berdiri, Juan merasa bisa mendengar suara memburu kakaknya. Itu menyenangkan Juan. Debar jantungnya seketika lepanyap, berganti perasaan membuncah yang pongah. Juan tetap mempertahankan senyumnya untuk menunjukkan pada Julia kalau dirinya datang dengan maksud tidak baik. Sentakan ringan di lengan, mengembalikan Juan pada realita. Ia merasakan kalau lengannya ditarik berbarengan dengan langkah Saskia. Ia segera tanggap. Juan mengikuti Saskia melangkah ke bagian sisi meja yang telah duduk seorang wanita berumur. Wajahnya memiliki kemiripan dengan Saskia. Yang membedakan adalah mata wanita itu lebih teduh. Dengan kesopanan yang sudah ia pelajari, Juan mengangguk dan sedikit membungkukkan badan di hadapan ibu Julia. "Selamat malam, Tante. Saya Juan." Kembali Juan memperkenalkan diri secara khusus pada ibunya Saskia sembari mengulurkan tangan. "Malam. Saya Soraya." Soraya menyambut uluran sopan tangan Juan dengan senyum lebar. "Ayo, silahkan duduk. Kita makan malam sama-sama." Juan menarik kursi untuk Saskia, kemudian baru ia duduk di sebelah Saskia. Satu per satu pelayan datang dengan membawa hidangan mewah dan minuman segar. Anggara selaku tuan rumah dan menjadi pemimpin, mulai mengawali isi pembicaraan dengan basa-basi. Mencoba mencari tahu keseharian Juan, yang terutama bagaimana Juan dan Saskia berkenalan. Untuk yang terakhir, Juan membiarkan Saskia mendominasi menanggapi kakak tirinya. Ia lebih nyaman dengan keadaannya yang pura-pura menikmati makan malamnya padahal sedang dengan sengaja mencuri pandang ke arah Julia. Dalam hatinya Juan tergelak melihat Julia yang mati-matian tak menatap dirinya. Sangat terlihat bagaimana salah tingkahnya Julia yang agung. Julia yang tadi Juan lihat duduk dengan keanggunannya yang menyerupai seorang wanita bangsawan. Seolah-olah etikanya sudah terdidik dari kecil sebagai golongan ningrat. Antara ingin menertawakan terbahak-bahak juga ingin muntah. "Jadi..., bagaimana keluargamu?" tanya Anggara sembari memasukkan potongan wortel ke dalam mulut. Pertanyaan yang ditanyakan dengan sangat santai. Namun, jawabannya penting sebagai penilaian. Juan sudah menduga akan pertanyaan ini dan sebenarnya ia menunggu-nunggu pertanyaan ini muncul. Karena pertanyaan ini akan menjadi awal serangan Juan yang sesungguhnya setelah kemunculannya di depannhidung sang kakak 'tercinta'. "Orang tua saya adalah orang tua yang sederhana dengan mimpi terlalu tinggi." Juan menatap Julia, mencoba mencari tanda-tanda emosi atas sindiran yang dibuatnya. "Saya punya seorang kakak perempuan yang sangat pintar dan juga sangat penyayang. Begitu pintarnya dia, sampai-sampai dia mendapat beasiswa kuliah di luar negeri." "Oh, ya. Di mana?" "University of Pennsylvania." Anggara terlihat terkejut dan cepat menoleh ke arah istrinya. "Kampusmu, Sayang." "Mmm...." Julia mencoba mengabaikan dengan memberi respon kurang peduli. "Angkatan berapa?" tanya Anggara antusias. "Dia lulus sekitar tigabelas tahun yang lalu." Kembali Anggara memberikan ekspresi terkejut. "Samaan sama kamu, Yang. Jangan-jangan temenmu." "Kak Julia juga kuliah di Pennsyl?" Juan pura-pura bertanya agar Julia kursi Julia terasa panas. "Kakak saya ambil jurusan bisnis." "Namanya siapa? Mungkin istri saya kenal." Julia paham akan permainan Juan dan mulai kesal karena suaminya meladeni dengan antusias. Julia mendengkus dan menatap tajam Anggara. Sedari mula ia sudah mengarahkan suaminya yang lembek itu untuk tak terlalu bersikap akrab dengan pasangan Saskia. Tapi ini malah dilanggarnya. "Kampus di Penn itu luas. Meskipun jurusannya sama, kalau mata kuliah yang diambil berbeda, ya kami belum tentu bertemu," ucap ketus Julia. "Tapi kalau sesama perantauan, masak iya gak kenal," sahut Saskia. Ia kemudian menatap Juan dan bertanya, "Siapa nama kakakmu?" Ketegangan dirasakan oleh Julia dan Juan. Masing-masing sama-sama merasakan kekalutan. Julia menatap Juan tajam. Memberi isyarat agar adiknya itu berhenti. Sedangkan Juan, menimbang perlunya menyudutkan Julia. Ia bisa melihat tatapan permohonan dari lebarnya bola mata Julia. Melihat itu, Juan kemudian tertantang untuk menyebutkan sebuah nama. Juan mengalihkan tatapannya dari Julia ke Anggara. Senyum tipis terukir di wajah. Senyum peringatan untuk Julia. Lari, Julia. Lari atau kamu celaka sekarang, batin Juan. Julia mendorng kursinya ke belakang dengan kasar hingga terdengar bunyi aduan geser antara kaki kursi dengan lantai. Semua memandang Julia. "Maaf. Tiba-tiba saya sakit perut. Saya ke toilet dulu." Julia memilih memotong Juan dengan berlari menjauh. Ia tak mau mendengar jawaban Juan. Ia tahu adiknya sudah bersiap untuk menjatuhkannya. Saat Julia akan bangkit, telapak tangannya dipegang suaminya dengan lembut. Julia kesal, tetapi ia mencoba bersikap baik agar tak ada praduga. "Kamu sakit?" tanya Anggara dengan mimik wajah cemas. Mimik wajah yang membuat Julia mau muntah karena dengan begitu Anggara menilai dirinya lemah. "Tidak. Sepertinya tadi sore saya salah makan kudapan. Sebentar, ya." Julia membelai sekilas punggung tangan suaminya agar melunak dan melepaskan dirinya. Setelah Anggara melepaskan tangannya, secepat kilat ia meluncur menuju toilet. Julia memang tidak melihat, tetapi dia bisa merasakan kalau Juan sedang tertawa licik. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN