Julia terus saja menjadi gelisah. Ia marah. Ia kesal. Ia juga kecewa. Sejak kemunculan Juan, hidupnya menjadi tidak tenang. Semuanya berantakan tiba-tiba. Ia pikir, setelah melewati sepuluh tahun lebih, dirinya terbebas dari masa lalu. Julia sangat yakin akan dirinya sendiri. Apalagi ia sudah melakukan perubahan besar-besaran.
Julia sudah melakukan perubahan atas jati dirinya melalui persidangan dengan membuang nama keluarga dan menggantinya dengan nama belakang keluarga angkatnya dari Amerika. Masa lalu yang ia bagi, dimulai sejak ia kuliah di Amerika. Kisah yang ia bagi dimulai sejak ia diangkat anak oleh keluarga Amerika.
Jejaknya sudah hilang. Setidaknya begitu yang Julia pikir. Tapi sepertinya ia salah. Julia semakin kesal karena tidak menemukan jawaban bagaimana Juan bisa menemukan dirinya.
Di kursi kerjanya, Julia duduk gelisah. Beberapa kali ia merubah posisi lipatan kakinya, ia juga menggoyang-goyangkan tumitnya dengan cepat seolah-olah tumit itu bergetar. Jemari Julia sibuk sendiri. Dari mengetuk-ngetuk meja dengan jemari, sampai corat-coret di buku agenda dengan serampangan.
Kegelisahan yang dibarengi kekhawatiran. Julia yang selalu matang dalam penyusunan rencana hingga penyelesaian, kini menjadi ragu sampai ujung kakinya. Julia yang sempurna, benci akan itu.
Belum lagi pertanyaan akan bagaimana Juan bisa menemukan dirinya, terjawab, pertanyaan lain muncul menjadi tumpukan tebal. Ini perihal orang tuanya. Keadaan ayah ibunya, menjadi pertanyaan yang muncul tanpa kerinduan, lebih pada perasaan ingin tahu saja.
"Bre*ngsek. Gimana se*tan itu bisa menemukan saya? Bapak sama Ibu apa sudah tahu keberadaan saya? Mampus kalau sampai mereka tahu. Bisa-bisa mereka datang ke sini. Sial!"
Julia menggebrak mejanya dengan keras. Lelah sendiri karena ia tak mendapatkan apa-apa. Matanya melirik ke arah tempat pena dan di sana ada cermin meja berukuran sedang.
"Jangan cari perkara sama saya, Juan. Saya sudah menghilangkan nyawa seseorang satu kali. Untukmu, saya tak punya belas kasih dan itu mudah buat saya melakukan yang kedua."
Julia menghela napas dan mengambil ponselnya, menghubungi seseorang.
"Saya mau kamu cari tahu latar belakang seseorang. Namanya Juan Hartono. Tidak ada foto. Tapi, kamu bisa mulai dari restorannya. Saya akan kirim ke kamu alamatnya."
"...."
"Tidak ada. Kamu tidak perlu melakukan apa-apa. Saya butuh datanya lengkap."
"Sayang.... Oh...." Anggara langsung menutup bbirnya dengan senyuman ditahan. Masuk dengan langkah perlahan sembari mengerlingkan mata, isyarat bagi Julia untuk melanjutkan teleponnya.
Julia menatap suaminya dengan dongkol. Sudah berapa kali Julia mengingatkan suaminya untuk ketuk pintu jika masuk ruangannya, tetapi berulang kali juga Anggara mengabaikan. Alasan Anggara adalah masuk ruangan istrinya sendiri gak perlu pakai ketukan pintu. Kecuali ada yang disembunyikan.
"Iya. Nanti sekretaris saya akan lampirkan informasinya ya, Pak. Terima kasih atas minatnya, semoga kita bisa bekerja sama."
Julia dengan cerdas menggulirkan percakapan telepon pada hal yang lain dan seseorang di seberang telepon adalah seorang yang paham situasi.
"Ada apa?" tanya Julia ketus sembari meletakkan ponsel dengan kasar.
"Duh, kok marah-marah. Kan saya gak ganggu telpon kamu tadi," bela Anggara yang duduk di hadapan Julia.
"Ya, tapi saya gak suka kamu asal nyelonong aja masuk. Kan saya sudah bilang, biasakan ketuk pintu."
"Memangnya sepenting apa telpon tadi?" tanya Anggara yang mulai ikutan kesal. "Kalau urusan pekerjaan, harusnya gak perlu membuatmu emosi, toh saya gak ganggu dan saya sudah persilakan untuk terus aja bicara. Kecuali...."
"Kecuali apa?" potong Julia yang perasaannya mulai tak enak.
"Kecuali telponmu tadi adalah telpon aneh."
"Aneh bagaimana?"
"Telpon perselingkuhan..., mungkin."
"Jangan menuduh sembarangan, ya!"
"Ya, udah. Kalau gitu santai aja."
Julia terdiam. Ia tak ingin melanjutkan keributan. Anggara bisa jauh lebih marah dan akan berprasangka lebih dalam lagi. Keduanya pun akhirya sama-sama diam. Mencoba menenangkan diri.
"Saskia tidak bisa bersama Juan," ucap Julia memecah kesunyian.
"Kamu belum cerita apa-apa temtang pertemuanmu dengan Juan. Memangnya dia kenapa? Dari latar belakangnya, sepertinya dia cukup sepadan dengan Saskia."
Pendapat yang tak diharapkan Julia. Jangan sampai ada penilaian posiritf untuk Juan karena itu akan jadi peluang bagi Juan masuk leluasa.
"Dia itu hanya punya satu restoran, tidak ada pengembangan bisnis yang lain. Lelaki yang pergerakan majunya lambat. Kamu mau Saskia dapat suami yang klemak-klemek?"
"Kelihatannya dia gak begitu."
"Itu kan penampilan awal. Memberikan kesan baik-baik dan sempurna kan memang begitu untuk permulaan. Kamu jangan terlalu lugulah." Julia mulai sewot lagi. Situasinya tak ia sukai jika Anggara terus memberikan respon positif atas Juan.
"Maksud saya...."
"Juan sangat terlihat brengseknya." Potong Julia. "Saya akan menyelidikinya lebih dalam. Saya yakin saya benar."
"Kamu tetap ingin Saskia bersama Onel?"
"Dia jelas. Keluarganya pun kamu kenal baik. Bagaimana perusahaannya pun, kita sama-sama tau. Dia itu sepadan. Saskia akan bahagia dan aman. Dan yang pasti, jika Saskia menikah dengan Onel, dia tidak akan menganggu apa yang menjadi milikmu. Dia Cuma saudara tiri. Ingat itu."
Anggara diam.
Banyak hal terjadi sejak Julia masuk dalam kehidupannya. Julia banyak terlibat membantunya untuk mejadi seseorang. Sulit bagi Anggara menolak apa yang menjadi pendapat atau keinginan Julia, apalagi jika itu kemudian bertujuan untuk dirinya.
Pamungkas, ayah Anggara, selalu meremehkan Anggara atas ketidakmampuannya akan banyak hal. Kemajuan Anggara saat diberikan usaha, sangat lambat. Lebih sering mengalami kesialan. Berbanding terbalik dengan Saskia.
Saskia terlihat memiliki ambisi dan kemauan. Ayahnya sering memercayakan urusan pekerjaan penting pada Saskia meskipun saat itu Saskia masih kuliah. Saskia akan mengambil libur tiga hari, mempelajari apa yang ditugaskan ayahnya, dan berakhir dengan hal yang diharapkan Pamungkas.
Anggra iri. Dalam hati mengendap kedengkian karena kenyataan lain bahwa Saskia hanyalah anak selir. Tapi Anggara tidak bisa melampui Saskia. Meskipun begitu, Anggara yang tak memiliki ambisi, juga tak memiliki usaha lebih untuk melampaui Saskia. Ditambah, sebagai seorang yang datar, yang ada ya sudah cukup saja baginya.
Sampai kemudian Julia masuk. Merubah semuanya.
"Sayang...."
Anggara mengerjapkan mata saat namanya tersebut dari bibir Julia. Tak menyahut, Anggara menatap Julia.
"Kamu gak usah mikir apa-apa. Percaya pada saya saja. Saya pastikan Saskia tidak akan menjadi duri dalam tulang kehidupan kita. Karenanya kamu harus mendukung saya. Saskia jangan bersama Juan."
Anggara hanya mengangguk-angguk saja. Seperti biasa, dia akan menurut, asalkan tak merepotkannya.
***
Meja kerja Juan dirubah menjadi meja makan. Hidangan tersaji rapi untuk Juan dan Saskia. Dari makanan utama sampai makanan penutup yang manis-manis dan segar. Ikan salmon buatan Juan, hanya untuk Saskia. Sedangkan Juan sendiri, karena sudah makan, ia hanya menemani Saskia sembari dan akan menikmati kuenya.
Sebelum ikan salmonnya diberikan pada Saskia, Juan dengan sengaja mengirisnya menjadi potongan-potongan kecil yang pas untuk Saskia. Baru kemudian ia menyodorkannya untuk Saskia.
Saskia menjadi aneh sekaligus senang dengan tindakan kecil Juan. Belum pernah ada lelaki yang memperlakukannya seistimewa itu. Salmon itu terlihat empuk dan Saskia yakin bisa mengirisnya, tetapi Juan justru membuatnya jauh lebih mudah. Sebuah atensi sederhana namun berkesan dalam.
"Terima kasih," ucap Saskia.
"Sama-sama. Silahkan."
Saskia memasukkan seiris daging salmon ke dalam mulutnya. Terasa berlebihan, tetapi ia merasakan hal yang berbeda dengan salmon kenari yang tadi ia cicipi. Ini jauh lebih nikmat lagi. Mungkin karena diiris Juan.
"Apa kamu selalu begini?" tanya Saskia disela kunyahannya.
"Begini bagaimana?"
"Membuat makanan baru dan setelahnya membawa wanita khusus ke ruanganmu, lalu menikmati makan siang atau mungkin makan malam berdua?"
"Tidak. Kamu yang pertama." Dan Juan berkata jujur. Ini adalah tindakan paling spontan yang ia lakukan untuk seorang wanita. Semua mengalir sejak Saskia masuk ke dapurnya.
Sebelumnya tidak ada seorang pun wanita yang masuk ke dapurnya. Saskia adalah yang pertama. Lagi pula wanita-wanita itu jika tahu Juan di dapur, akan memilih menunggu di meja restoran, ketimbang harus masuk ke dalam ruangan berasap-asap dan kotor.
Mengejutkan Juan melihat Saskia begitu santai saja melewati para juru masaknya yang sibuk berteriak, memotong daging dengan hentakan keras, menggoreng bumbu hingga berasap, dan ekspresi Saskia justru seperti terpesona.
Spontanitasnya atas Saskia semakin menjadi saat ia bisa sangat dekat dengan gadis itu. Ini karena aroma wangi yang menguar dari rambut Saskia. Sikap manis gadis itu dan kegugupannya yang membuat Juan ingin terus menyelami Saskia untuk terus menggodanya.
"Iya. Saya pertama kalinya masuk dapurmu dan ruanganmu. Tapi saya bukan wanita pertama yang masuk dapurmu dan ruanganmu."
"Mmm.... Itu benar. Beberapa pegawai wanita saya pasti sudah berulang kali keluar masuk dapur dan ruangan saya. Mereka jauh lebih dulunada sebelum kamu."
"Bukan itu," ucap Saskia kesal dan Juan menahan senyum gelinya.
"Ya terus yang mana? Sebagai orang asing yang ikatannya dengan saya sebatas perjanjian permainan, kamu adalah wanita pertama. Tidak ada wanita lain yang masuk dapur saya apalagi ruangan ini. Ruang kerja saya ini sifatnya pribadi. Bahkan satu-satunya wanita yang bisa masuk ke sini hanyalah Nina, bagian keuangan. Dia wanita yang duduk di meja kasir."
"Iya begitu?" Setelah bertanya itu, Saskia langsung menunduk dan mengiris jauh lebih kecil lagi salmonnya.
Saskia malu sendiri karena melontarkan pertanyaan yang tidak penting, tetapi menuntut. Sikapnya seperti seseorang yang sedang menaruh hati, lalu butuh kebenaran akan sesuatu yang bisa membuatnya cemburu. Sebuah kelemahan. Saskia tidak ingin lemah untuk seorang Juan yang harusnya bukan orang istimewa bagi hidupnya.
Dengan masih menunduk, Saskia yang begitu penasaran karena Juan tak langsung menjawab, menaikkan kelopak matanya, dan langsung matanya yang bergulir mencuri pandang ke Juan, tertangkap mata Juan yang tersenyum geli.
"Ngapain senyum? Saya kan Cuma tanya biasa aja. Gak ada yang lucu." Saskia meletakkan garpu dan pisaunya dengan kesal dan bersidekap. Ia tidak suka melihat ekspresi Juan yang terlihat seperti menertawai dirinya.
"Kok ngambek?" tanya Juan manis.
"Saya nanya itu bukan mau campurin kehidupan kamu, ya. Saya juga gak tertarik sama kehidupanmu. Jadi gak usah senyam-senyum kayak tadi."
"Saya senyum kan karena saya manis."
"Cih." Saskia memiringkan bibirnya dengan cara aneh. Mengejek Juan yang sombong.
"Dilanjutka makannya. Kan sayang itu tinggak sedikit."
"Saya sudah kenyang."
"Gak baik menyisakan makanan seperti itu. Saya senang lho, liat cewek bisa ngabisin makanannya."
"Ya, sudah sana, cari aja cewek-cewek yang bisa makan abis sampai ke piring-piringnya dan sendokny dan garpunya abis tertelan."
Juan sudah tak sanggup menahan gelinya. Ia tertawa lebar. Sedangkan Saskia, justru mengutuki dirinya yang berulang-ulang kelepasan emosi yang bernada cemburu. Sepertinya Saskia akan kesulitan berhadapan dengan Juan jika begini terus. Padahal niatnya datang ke sini adalah untuk melabrak Juan sekaligus menanyakan apa saja yang sudah ia sampaikan ke Julia.
Saskia menjadi dilema antara tetap bertahan sembari memastikan apa yang sebenarnya terjadi tadi pagi dengan Julia atau pergi saja dan menanyakannya lewat telepon. Sepertinya pilihan kedua lebih baik. Ia tidak nyaman berhadap-hadapan dengan Juan seperti ini. Ia juga jadi tidak bisa berpikir jernih karena jantungnya yang berdebar terus.
"Saya kembali ke kantor aja," putus Saskia.
"Ada rapat? Ada hal penting?"
"Enggak."
"Kalau begitu, habiskan dulu semua yang ada di meja ini."
"Kok, maksa? Saya juga gak minta ini semua."
"Satu..., karena kamu datang ke sini tanpa perjanjian, artinya ada yang keperluan sangat penting terkait saya dan saya harus tahu apa itu. Dua..., karena kamu datang tiba-tiba dan menganggu konsentrasi saya, maka kamu harus bertanggung jawab untuk itu."
Untuk alasan kedua, Juan jujur apa adanya. Sosok Saskia memang telah mengganggu dirinya. Tubuhnya bereaksi aneh saat berdekatan dengan Julia dan saat menatap Julia, jantungnya berlompatan. Perasaan aneh ini cukup menganggu karena membuat Juan ingin Saskia selalu ada di hadapannya agar rasa aneh di dadanya terpuaskan dan mungkin akan bosan.
"Oke. Untuk yang pertama, saya akan tanggung jawab. Untuk yang kedua, saya tidak peduli. Kamu harusnya lebih kuat konsentrasi, jangan menyalahkan orang lain. Saya akan telpon kamu apa alasan saya datang ke sini. Saya mau pulang."
Saskia sudah bulat. Gawat kalau ia semakin lama berdua-duaan dengan Juan. Saskia sudah menyelempangkan tasnya dan bersiap berdiri. Tapi Juan lebih dulu berdiri. Bagi Saskia bertubuh mungil dan dalam posisi duduk, Juan seketika terlihat amat sangat menjulang.
Juan menarik kursinya yang beroda mengitari meja dan langsung menempatkannya di sisi Saskia. Ia langsung duduk dan memutar kursi Saskia hingga keduanya berhadapan. Juan juga menarik kursi Saskia lebih dekat. Sangat dekat. Kaki Juan yang melebar, bertindak sebagai pagar.
Juan memajukan tubuhnya hingga Saskia yang memundurkan punggungnya terdesak. Dikuasainya mata Saskia yang bulat, memastikan bahwa gadis itu tidak akan berkutik.
"Tidak akan ada yang keluar dari ruangan ini sebelum urusan makanan ini habis dan kita bicara sampai selesai."
"Kamu gak bisa maksa begitu." Saskia lagi-lagi mengeluh. Suaranya tidak tegas keluar. Wajah Juan terlalu dekat hingga ia bisa saja berfantasi gila.
"Saya bahkan bisa berbuat lebih dari sekedar ini. Mau coba?"
Kedua mata Saskia semakin membelalak lebar. Ia merasa wajah Juan semakin dekat. Kehangatan embusan napas Juan, membuat Saskia lemah hingga ia harus mencengkeram lengan kursi kuat-kuat. Saskia tak punya pilihan.
"Minggir. Saya habiskan semua makanan ini sampai bersih. Sampai piring dan gelasmu pun tertelan."