Julia Mengerikan

1372 Kata
Rasanya, setelah sekian abad berada pada siksaan batin, pada perasaan tidak adil, yang bagai tambang tebal yang melilit di seluruh tubuhnya, menarik di kedua arah yang berlawanan, hingga Juan merasa susah bernapas, hari ini berbeda. Ada kelonggaran pada lilitan ketidakadilan yang bertahun-tahun ia rasakan. Ada kesegaran yang berembus yang membuat Juan bersemangat dan tersenyum dalam artian tersenyum yang sebenarnya. Yang menjadi momentum bagi Juan adalah, saat Saskia bertanya pada Julia. "Jul, Mama sudah oke. Kamu mau gimana?" Semua menatap ke arah Julia. Dan Juan bisa melihat bagaimana syoknya sang kakak tercinta. Bibir Julia membentuk garis lurus, sangat rapat. Seolah menahan banyak hal yang bisa keluar menjadi kata-kata. Atau menahan diri agar tidak limbung saat melihat apa yang sudah dibuangnya muncul di depan mata. Wajah Julia juga begitu pucat, dengan tubuh yang duduk sangat tegap, tidak bersandar. Julia bahkan seperti duduk di bagian ujung terluar sofa. Seperti ada keinginan dari Julia untuk berlari. Itu menggelikan Juan, yang sekuatnya menahan agar senyum di wajahnya tak berubah menjadi tawa lebar. Julia perlu ditegur dua kali sebelum kemudian ia menjawab, "Ya, terserah Mama saja. Saya harus ke kantor. Ada meeting dengan staff pemasaran." Julia langsung berdiri dan berbalik. Sempat langkahnya goyah dan seperti akan jatuh. Di momen itulah Juan senang. Sangat senang. Julia sedang kena lemparan home run dengan kemunculan sang ayah. "Awww!" Juan memekik kecil. Ia merasakan perih pada jari telunjuk kirinya. Fokus hilang saat sedang mengiris daun bawang. Ia terlalu senang untuk mengingat kejadian pagi tadi, sampai tidak sadar pisau mendekati jemarinya dan menggores tipis jari telunjuknya. "Juan! Kenapa kamu!" teriak Nina yang baru masuk dapur. Beberapa juru masak yang ada di dekat Juan, meminta bosnya itu untuk mencuci tangan di wastafel. Nina pun bergerak menuju wastafel berbarengan dengan Juan. "Mikir apa sih kamu?" tanya Nina sembari membersihkan luka Juan di bawah kucuran air. Nina mengeringkannya dengan tisu. Seorang pelayan datang dengan membawa kotak kesehatan dan Nina mengambil antisptik oles, baru kemudian menutupnya dengan plester luka. "Ada masalah?" Nina menatap Juan tajam. Yang ditatap justru hanya menyengir saja. "Sangat tidak ada masalah." Juan menoleh ke belakang. "Lanjutin punya saya." "Beres, Bos!" jawab ketiga juru masak handalnya bersamaan. Juan melangkah meninggalkan dapur diikuti Nina. Juan tak melihat Robi di meja kasir. "Robi mana?" "Udah di dalam." Juan mengernyit. Nina menyusulnya ke dapur dan Robi sudah menantinya di ruang kerjanya. Pasti ada sesuatu. Tanpa bertanya lagi, Juan bergegas masuk ruang kerjanya. "Ada apa?" tanya Juan begitu masuk dan mendapati Robi duduk di sofa panjang. Di hadapannya laptop sedang terbuka dan menyala. "Ada fakta baru perihal keluarga Pamungkas," jawab Robi yang langsung memutar laptopnya menghadap ke Juan yang duduk di sofa tunggal. Terpampang di layar laptop, wajah seorang pria dengan brewok di sekitar janggut. Bukan jenis brewok yang tebal, panjang, dan keriting. Ini lebih stylish, seperti sengaja wajahnya dimodel begitu. Untungnya cocok. Pria itu terlihat tampan dengan tatapan mata yang cerdas. "Siapa dia?" "Atha Pamungkas," jawab Julia yang mengambil duduk di dekat Robi. "Anak pertama Pamungkas, dari istri pertama." "Artinya, dia adalah kakak kandung Anggara Pamungkas dan kakak tiri Saskia Pamungkas," sambung Robi. "Ada anak lain?" tanya Juan terkejut. Ia tidak pernah melihat lelaki lain di rumah Pamungkas. Bahkan seingatnya ia tak melihat foto lelaki lain yang terpajang. Di ruang utama, ada foto keluarga saat pernikahan Julia dan itu tidak ada foto lelaki yang tampak di layar laptopnya. Tapi, Juan juga tidak begitu yakin. Saat makan malam, pertama kalinya ia datang ke rumah Saskia, Juan tidak masuk ke dalam rumah. Saat tadi pagi ke rumah Saskia, ia juga tak terlalu perhatian karena Soraya mengajaknya bicara. Ditambah kemudian ada kejadian-kejadian lain. "Saya tidak pernah melihat dia. Fotonya juga sepertinya.... Entahlah. Saya tidak yakin melihat sosok ini. Jelaskan siapa dia," pinta Juan penasaran. "Sebenarnya, dia adalah seorang yang cukup populer di kalangan borjuis muda ketimbang Anggara. Dia populer karena dia paket lengkap. Tampan dan kaya raya. Selain itu, dia juga sangat pintar dan seorang yang dihandalkan dalam perusahaan raksasa Pamungkas," jelas Nina. "Coba tebak di mana dia kuliah?" pancing Robi dengan tatapan dan senyum aneh. Ini karena Robi yakin, Juan pasti akan langsung bisa menebak. "Penn University...?" jawab Juan sedikit ragu. Robi mengangguk-angguk dan Nina tersenyum tipis. "Benar. Atha kuliah di University of Pennsylvania. Satu almamater dengan Julia. Tapi, keduanya tidak di angkatan yang sama. Atha adalah senior. Menghitung waktu kelulusan Atha dan waktu masuknya Julia, maka kemungkinan keduanya saling kenal adalah setahun sebelum Atha lulus," jelas Nina. "Jadi, Julia masuk ke keluarga Pamungkas dan menjadi kekasih Anggara, itu melalui perkenalannya dengan Atha?" "Satu benar. Satu salah," sahut Robi. "Mana yang benar mana yang salah? Jelasinnya jangan setengah-setengah, dong. Br3ngsek bikin penasaran," umpat Juan yang hanya dibalas tawa saja oleh Robi. "Julia masuk dan dikenal keluarga Pamungkas, memang dari perkenalannya dengan Atha. Tetapi, sebelum dengan Anggara, Julia dan Atha adalah kekasih." Juan mendelik. Terkejut dengan informasi yang diberikan. Benar-benar hal tak terduga baginya. "Buktinya apa?" Robi memutar laptop kembali menghadap dirinya. Ia kemudian melakukan sesuatu. Setelahnya kembali dihadapkan ke Juan. Di layar, terpampang halaman baru pencarian. Tampilanya tak asing lagi. Itu adalah laman untuk sosial media 'f*******:'. Juan mulai menggerakan jemarinya di papan huruf laptop. Mencari-cari dan semakin terkejut. Ada banyak foto Julia. Baik sendirian atau bersama teman-temannya atau bahkan berdua saja dengan Atha. Julia terlihat sangat bahagia. Kalau pun ada foto Julia yang sedang serius, tetap itu bukan gambaran kesedihan. Yang paling menarik perhatian Juan adalah kedekatan Julia dan Atha. Ada satu foto yang mana keduanya sedang berciuman bibir dengan ditutup samar jemari Julia yang di bagian jari manisnya tersemat cicin berlian. Tunangan? tanya Juan dalam hati. "Foto-foto itu sebenarnya sudah dihapus. Bahkan akun f*******:-nya sudah di non-aktifkan. Nina yang tembusin," jelas Robi. Di antara mereka bertiga, memang Nina yang paling handal jika terkait teknologi. "Ada hal yang patut dicatat," sambung Nina. "Apa?" "Akun f*******: dan foto-foto itu dihapus di tanggal yang sama dengan kematian Atha." Juan lagi-lagi syok dengan informasi Nina. "Ma...maksudmu, Atha ini sudah meninggal?" Juan benar-benar tak menduga jika ada yang meninggal di keluarga Pamungka dan itu sepertiya ada kaitannya dengan Julia. "Kecelakaan tunggal. Mobil Atha jatuh ke dalam jurang." Robi yang menjawab. "Tapi, itu tetap terasa ganjil jika menarik logika terhapusnya akun Atha beserta semua fotonya, di hari yang sama dengan kematiannya." "Masalahnya ada aktifitas aneh di waktu kematian Atha. Ada dua kali aktifitas login di waktu berdekatan. Delapan jam sebelum dugaan peristiwa jatuhnya mobil Atha ke jurang, Facebooknya terlogin dan dalam sepuluh menit sudah keluar. Kemungkinannya, siapa pun yang login di waktu itu, tujuannya hanya sekedar melihat-lihat. Tidak ada yang dihapus. Tapi, beberapa menit sebelum perkiraan waktu jatuhnya mobil Atha ke jurang, f*******:-nya kembali menyala. Barulah di waktu itu ada aktifitas penghapusan dan juga menonaktifkan akun Facebooknya," jelas Nina panjang. "Bagaimana Juan, apakah kamu menemukan ada yang ganjil?" tanya Robi. "Ada seseorang yang dengan sengaja menghapus jejak di sosial media," jawab Juan. "Dan itu bukan Atha." Robi dan Nina menganggukkan kepala bersamaan sebagai jawaban jika Juan benar. "Dan itu adalah kemungkinannya Julia...." Suara Juan tertahan. Ia ngeri jika membayangkan kakaknya terlibat pada kematian seseorang yang misterius. "Atau Pamungkas," sergah Nina. "Atau justru keduanya," sahut Robi. Juan tercenung. Tak mampu berkata-kata. Kepalanya terus berputar-putar mencari kemungkinan-kemungkinan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan Julia. Namun, nihil. Jika merunut waktunya, ini seperti memang ada kaitannya dengan Julia. Apalagi pernikahan Julia dan Anggara yang begitu terburu-buru. "Apakah kita bisa menyelidiki kematian Atha? Memastikan bahwa ini murni kecelakaan?" tanya Juan lemah. "Bisa. Kita akan melakukannya dengan hati-hati. Saat ini Julia sudah berhadap-hadapan dengan dirimua. Dia pasti akan sangat hati-hati. Terutama, Julia pasti akan mengkoreksi dirinya atasa peristiwa masa lalu. Saya khawatir, apa yang seharusnya menjadi petunjuk, justru tersapu bersih," ucap Nina. "Karenanya Juan. Saran saya, kamu dan ayahmu jangan melakukan konfrontasi berlebihan ke Julia. Untuk ayahmu, sementara mintalah beliau untuk tidak bersikap seperti menaruh dendam. Pura-pura kalau sang ayah adalah seorang yang merindukan putrinya, adalah hal yang jauh lebih baik.," saran Robi. Juan menarik napas dalam. Ia pikir ia hanya akan bermain-main dengan kakaknya perihal moralnya sebagai anak yang sudah kurang ajar membuat keluarganya demi dunia. Ternyata, ia harus berhadapan dengan hal yang lebih mengerikan dan menakutkan. Bagai sebuah ikatan yang tidak akan bisa lepas, Juan sebagai adik, diam-diam mendoakan bahwa apa pun yang mengerikan perihal kematian Atha dan kelumpuhan Pamungkas, tidak ada kaitannya dengan Julia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN