BAB 4 | Pilihan Dari Clarissa

2233 Kata
*** Selesai mengobati luka di kening Axel, Clarissa hanya diam saja. Tak satupun kalimat yang terlontar dari bibir ranumnya. Clarissa memilih bungkam, sebab tak ingin terjadi keributan lagi antara dirinya dengan pria itu. Bukan karena Clarissa takut menghadapi pria yang merupakan suaminya itu. Tetapi, dia hanya malas, dan lagi pula tubuhnya benar-benar merasa kelelahan. Yang Clarissa inginkan hanyalah beristirahat, karena besok dia akan memulai drama-nya di hadapan semua orang bahwa dirinya dengan Axel adalah pasangan suami istri yang tengah berbahagia. Pun dengan Axel. Walaupun Clarissa telah mengobati dan menutup lukanya dengan perban, ia tak berniat sama sekali; sekedar mengucapkan kata terima kasih kepada perempuan itu. Axel langsung turun dari ranjang sembari meraih satu buah bantal, lalu membawa langkah lebar menuju sofa yang tersedia di sana. Axel berbaring di sofa tersebut dengan posisi terlentang, dan memejamkan matanya di sana. Tak diambil pusing, justru Clarissa senang kalau Axel sadar diri. Pria tersebut tidak mau tidur seranjang dengannya, dan dengan kesadaran penuh memilih sofa sebagai tempat untuk beristirahat. Merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu, Clarissa menarik selimut dan mengeratkan pada tubuhnya sembari memejamkan kedua mata dan mencoba untuk meraih mimpi. Semoga saja dia tidak bermimpi buruk karena tidur sekamar dengan Axel. °°°° Esok paginya... Saat ini jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Sekitar 20 menit yang lalu Clarissa terjaga dan perempuan itu bergegas menuju kamar mandi. Membasuh tubuhnya di dalam sana, dan sampai saat ini ia belum selesai. Dddrrrtttt... Deringan sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas sontak menarik perhatian Axel yang baru saja membuka kedua matanya. Pria itu baru saja bangun dan posisinya saat ini masih terbaring di atas sofa di sana. Deringan pertama ponsel tersebut pun berakhir. Kemudian detik berikutnya deringan kedua pun berlanjut, sehingga hal tersebut sontak membuat Axel penasaran dengan orang yang menghubungi istrinya pagi-pagi seperti ini. Ya, ponsel tersebut adalah milik Clarissa. Bergegas menegakkan tubuhnya diatas sofa, sejenak Axel membawa pandangan ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Itu artinya Clarissa belum selesai. Berdiri dari duduknya, Axel membawa langkah menuju nakas di samping ranjang. Setelah di sana, ia menyambar benda pipih tersebut dan membawa ke depan wajah. Mario is calling... Nama kontak yang tertera pada layar ponsel Clarissa membuat kedua rahang Axel sontak mengetat kuat. Melirik sebentar ke arah pintu kamar mandi, kemudian beralih pada layar canggih tersebut yang masih menyala dan berdering. Menggeser tanda merah pada layar tersebut, sehingga deringan ponsel pun seketika senyap. Axel mereject panggilan dari nama kontak yang bernama Mario tadi. Lekas menyimpan kembali ponsel tersebut ke tempat semula, pun Axel memutar tubuh dan membawa langkah menuju sofa. Menjatuhkan tubuh dengan kasar di atas sofa tersebut. ‘Buat apa Mario menghubungi Clarissa pagi-pagi seperti ini? Apa dia lupa kalau wanita yang dia hubungi itu sudah memiliki suami?!’ Monolog Axel dalam hati. Tanpa dia sadari kedua tangannya terkepal kuat. Ada rasa tidak suka saat mengetahui bahwa Mario menghubungi Clarissa. Mario, pria berusia 31 tahun adalah kakak angkat dari Axel. Berulang kali hembusan nafas kasar terdengar jelas dari bibir Axel. Tak lama berselang setelahnya Axel melihat Clarissa keluar dari kamar mandi. Perempuan itu sama sekali tak menoleh ke arahnya. Walau Axel sangat yakin bahwa Clarissa menyadari kehadirannya di sana. Tanpa rasa canggung sedikit pun, Clarissa yang saat ini hanya memakai handuk putih sebatas paha, pun membawa langkah dengan santai menuju walk in closet. Di dalam ruangan tersebut, Clarissa cepat-cepat memakai baju. Di dalam lemari-lemari tersebut terdapat beberapa potong dress. Clarissa memilih salah satunya yang akan ia kenakan pagi ini. Selesai memakai dress tersebut di tubuhnya, Clarissa membawa langkah menuju meja rias. Ia hanya memoles riasan tipis di wajahnya yang cantik, kemudian menyemprotkan parfum di bagian lehernya dan bagian-bagian lain di tubuhnya. Setelahnya, Clarissa lanjut mengeringkan rambut menggunakan alat pengering, dan tak berselang lama ia pun selesai dengan kegiatannya di dalam ruangan tersebut. Kemudian, Clarissa membawa langkah keluar dari sana dan menuju ranjang. Meraih ponselnya di atas nakas, Clarissa melihat sebentar pada layar canggih tersebut yang seketika menyala dengan otomatis. Tidak ada panggilan ataupun pesan yang mengharuskannya memainkan benda pipih miliknya itu. Menonaktifkan kembali layar ponselnya, kemudian Clarissa membawa langkah hendak menuju pintu tanpa berniat menyapa Axel yang sampai detik ini masih duduk di sofa. Pria tersebut terus menatap tajam padanya. Clarissa menyadari itu, tetapi ia enggan menanggapi. “Tunggu, Clarissa!” seru Axel sehingga membuat Clarissa sontak menghentikan langkah. Clarissa menoleh; melihat Axel bangkit dari duduknya dan membawa langkah ke arahnya. Kini, pria tersebut berdiri tepat di hadapannya. “Kau mau ke mana?” Axel bertanya dengan nada dingin. Wajahnya sama sekali tak bersahabat. Dan itu sangat mengganggu mood Clarissa di pagi ini. “Ke bawah,” jawab Clarissa dengan singkat. “Apa keperluanmu di bawah pagi-pagi seperti ini?” Axel memandangi wajah Clarissa dengan kedua mata memicing curiga. “Salah satu kebutuhan manusia di pagi hari adalah sarapan pagi, dan tujuanku kesana adalah untuk memenuhi kebutuhanku! Aku ini adalah manusia, bukan jin!” jawab Clarissa dengan nada sinis. “Seharusnya kau tidak perlu turun kebawah, karena kau bisa sarapan di kamar ini. Tinggal kau pesankan saja,” kata Axel. Secara tidak langsung ia melarang istrinya beranjak dari kamar tersebut. “Jika aku tidak mood sarapan pagi di kamar ini dan ingin turun ke bawah, lantas kau mau apa?” Angguk Clarissa sembari menatap berani kepada Axel. Seolah-olah menantang pria tersebut. “Kau tidak lupa dengan status barumu bukan?” Axel mengangkat sebelah alis menatap remeh pada Clarissa. Mengedikkan bahu. “Tentu saja aku tidak lupa,” sahut Clarissa, “pagi ini aku telah menjadi seorang Clarissa Leonara Adisson, bukan lagi Blaxton.” Menjeda kalimatnya sejenak, Clarissa membawa langkah semakin dekat ke arah Axel. Kemudian, berhenti dan tetap mendongak menatap pada pria tersebut. “Hilangnya nama Blaxton dari belakang namaku bukan berarti jiwa iblisku juga ikut hilang begitu saja, Axel. Kau berani macam-macam, maka akan ku hancurkan wajahmu detik ini juga!" Deg! Diam dan bungkam itulah yang terjadi pada Axel saat ini. “Sekarang aku tanya, apa yang kau inginkan setelah ini? Apa kau ingin kita terang-terangan menunjukkan di depan keluarga kita bagaimana sebenarnya hubungan memuakkan ini? Atau kau tertarik bersandiwara bersamaku dan menunjukkan kemesraan di hadapan mereka, supaya hidupmu baik-baik saja?" Clarissa memperhatikan wajah Axel. Raut itu semakin terlihat dingin, namun dia tidak peduli sama sekali. “Kalau aku, aku akan mengikuti apapun yang diinginkan oleh suamiku ini. Semuanya terserah padamu. Apapun pilihanmu, aku akan mengikutinya,” imbuh Clarissa. Axel tetap diam. Mendesah kasar, Clarissa menarik pandangan dari Axel dan menatap ke arah lain. Kemudian detik berikutnya, ia beralih pada pria tersebut. Melemaskan wajahnya yang terasa kaku, Clarissa membawa sebelah tangan membiarkan jari-jari lentiknya membelai lembut garis wajah Axel, lalu berakhir di rahang tegas pria itu. “Suamiku, Axel Beatrice Addison, aku izin turun ke bawah sebentar untuk sarapan. Aku ingin mengganti suasana di pagi ini. Dan sepertinya menikmati sarapan di bawah adalah ide yang menyenangkan bagi seorang pengantin sepertiku. Setelah selesai, aku akan kembali kesini bersamamu.” Clarissa berucap dengan suara lembut, lalu berjinjit karena tinggi Axel lebih daripadanya. Kemudian mendekatkan wajah dan mengecup sudut bibir Axel, membuat pria itu seketika menegang kaku. Perlakuan Clarissa barusan membuat Axel terdiam dan mematung bagaikan batu. Bahkan, ketika Clarissa mundur dan memutar tubuh, lalu membawa langkah keluar dari kamar tersebut, pun Axel tak menyadarinya. "Shitt!" Axel mengumpat pelan saat meraih kesadaran setelah mendengar pintu kamar ditutup rapat oleh Clarissa. Menguyarkan rambut dengan kedua tangannya, Axel mendesah kasar. Lalu setelahnya, ia membawa langkah lebar menuju kamar mandi. Memilih membasuh tubuhnya dengan air dingin supaya bisa menjernihkan pikirannya yang mulai dikacaukan oleh Clarissa. ‘Dasar perempuan sialan!’ Monolog nya dalam hati dan ditujukan kepada sang istri. °°°° Niat hati hendak turun ke lantai dasar, pun diurungkan oleh Clarissa, dan ia memilih naik ke atas Rooftop sekedar menenangkan hati dan pikirannya. Perdebatan yang terjadi antara dirinya dengan Axel barusan seketika membuat rasa lapar yang dirasakan oleh Clarissa saat lalu menguap begitu saja. Tiba-tiba ia merasa kenyang, perutnya seolah-olah penuh, padahal sampai detik ini dia belum mengkonsumsi apapun, bahkan tidak dengan air mineral sekalipun. Cairan pertama yang rutin mengisi perutnya ketika ia bangun dipagi hari. Hampir lima menit Clarissa menghabiskan waktu di atas Rooftop, berdiri sembari melipat kedua tangan di dadaa. “Good morning, Devil girl!" seru seorang pria dengan suara beratnya. Suara dan sapaan barusan tak sedikitpun mengubah posisi Clarissa. Perempuan itu tetap berdiri di tempatnya tanpa berniat menoleh sedikitpun. Sedangkan pria tersebut membawa langkah santai menuju Clarissa, dan kini, ia berdiri tepat di samping perempuan itu. “Rokok?" tawarnya sembari menyodorkan sebatang rokok yang diselipkan diantara jari telunjuk dan jari tengahnya kepada Clarissa. Tawaran tersebut membuat Clarissa pun menoleh. Melihat sebentar pada pria tampan itu, lalu beralih pada batang rokok yang tengah disodorkan kepadanya. Meraih batang rokok tersebut dan diselipkan di antara kedua bibir ranumnya. Membiarkan pria tersebut membakar ujung rokok itu dengan pemantik di tangannya. Menghisap lalu menghembuskan asap yang mengepul dari bibir seksinya. Clarissa terlihat sangat menikmati asap tersebut. Merokok bukanlah sesuatu yang tabu bagi Clarissa. Bahkan, bisa dikatakan, ia sangat bergantungan dengan benda tersebut. Memalingkan wajah dari pria itu, Clarissa kembali menatap lurus ke arah depan sambil terus menghisap rokok tersebut, hingga habis setengah dibakar oleh api. Kemudian, Clarissa menjatuhkan sisanya di bawah kakinya, lalu diinjak kuat hingga apinya padam. Menjilat bibir ranumnya membuat Clarissa semakin terlihat menarik di mata pria tersebut. “Bagaimana dengan malam pengantinmu?” Pria itu bertanya dengan enteng. “Menyenangkan,” jawab Clarissa seadanya. “Tapi, raut wajahmu menolak kebenaran ucapanmu barusan.” Pria tersebut menyangkal jawaban Clarissa. Clarissa menoleh ke arah pria tersebut. “Bukankah raut wajahku memang seperti ini?” tanyanya dengan ekspresi tenang, namun tak sedikitpun menghilangkan aura dingin disana. Pria tersebut hanya mengedikkan bahu. “Entah mengapa pagi ini aku melihatmu sangat berbeda. Lebih dingin dari sebelumnya. Apakah alasannya karena bukan aku pria yang menikahimu semalam?” tanya pria tersebut dengan rasa percaya diri penuh. Terkekeh pelan. “Mungkin saja seperti itu,” jawab Clarissa sembari mengedikkan bahu cuek. “Jika begitu, aku siap menunggu jandamu. Bagaimana?” Clarissa tergelak saat mendengarnya. “Mengapa kau sangat yakin sekali kalau aku akan menjadi janda?” tanya Clarissa. “Karena aku tahu pria itu tidak pantas untukmu,” jawab pria tersebut. “Lantas, siapakah yang pantas menurutmu?” Clarissa kembali melempar pertanyaan. “Tentu saja aku, siapa lagi.” Pria itu menjawab sembari mengedikkan bahu. Menghela nafas kasar, Clarissa menarik pandangan dari pria tampan itu dan menatap ke arah depan. “Jika begitu, maka aku akan mengizinkanmu untuk menemui Dad,” menjeda kalimatnya sejenak, Clarissa beralih pada pria di sampingnya itu. “Sampaikan kepadanya kalau kau bersedia menunggu janda putrinya. Apakah kau berani melakukannya?” tantang Clarissa. Glek! Menelan saliva dengan susah payah. “Sepertinya aku akan kehilangan kepalaku detik itu juga,” gumamnya seraya bergidik ngeri. Mengibas tangan ke udara seraya menarik diri dari pria tersebut. “Itu artinya kau tidak cocok menjadi suamiku. Kau terlalu lemah!” Detik berikutnya Clarissa mendengar suara gelak tawa dari pria tersebut. Pria tersebut adalah bagian dari organisasi yang dipimpin oleh kakak Clarissa. Lucas. Nama pria tersebut adalah Heros. Heros menyukai Clarissa. Dan perempuan itu sadar akan perasaan Heros terhadap dirinya. Tetapi, dia tidak pernah menanggapi dan Heros pun sadar diri. Bukan karena tak sepadan, sebab Heros juga berasal dari keluarga yang tak kalah penting dari Blaxton. Hanya saja, pria tersebut sadar bahwa dirinya bukanlah tipe pria yang diinginkan oleh Clarissa. Obrolan mereka barusan bukanlah sesuatu yang tabu. Mungkin, jika orang lain mendengar, maka mereka akan menilai yang bukan-bukan, padahal Clarissa dan Heros memang seperti itu sejak dulu. Clarissa yang dingin dan Heros senang sekali menggoda perempuan itu. Setelah obrolan konyol mereka sesaat, keduanya pun lanjut berbincang serius. Clarissa bertanya mengenai keberadaan Heros di hotel ini. Clarissa menyadari jika keberadaan Heros ditempat ini bukanlah suatu kebetulan. Dan benar saja, Heros pun mengakui di depan Clarissa bahwa semalam dia dan Lucas nginap di hotel ini. Tidak terkejut mendengar penjelasan Heros mengenai kakaknya itu, karena Clarissa sangat hafal bagaimana kakaknya itu. Lucas tidak akan mungkin melepaskannya begitu saja. Clarissa tahu bahwa kakaknya itu akan senantiasa melindunginya. Hanya sebentar mereka menghabiskan waktu disana. Heros menyampaikan kepada Clarissa jika pria itu hanya ingin memastikan dirinya baik-baik saja. Setelahnya, Heros membiarkan Clarissa meninggalkan Rooftop dan turun ke lantai dasar untuk melanjutkan niat awalnya, yaitu sarapan pagi. Heros sengaja tidak turun bersama dengan Clarissa, sebab ia tidak ingin ada orang lain yang melihat keberadaannya, apalagi sampai mengetahui kedekatannya dengan salah satu keturunan Blaxton. Sebab, posisi Heros di dalam organisasi yang dipimpin oleh Lucas adalah sebagai detektif, yang di mana Lucas memang merahasiakan keberadaan Heros di dalam organisasinya. Hendak membawa langkah meninggalkan Rooftop, tiba-tiba ponsel Heros berdering. Merogoh saku celana dan membawa ponsel ke depan wajah. Rupanya yang menghubungi Heros adalah Lucas. Dengan segera Heros menggeser tanda hijau tersebut dan membawa ponsel menempel di telinga kanannya. “Bagaimana keadaan Clarissa?” Suara berat Lucas menggema di pendengaran Heros. “Baik. Dia tidak lecet sama sekali. Aman!” jawab Heros. “Oke,” sahut Lucas disana. “Kau dimana?” tanya Heros. “Aku akan berangkat ke Italia sekarang,” jawab Lucas. Setelahnya, pria tersebut langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak, sehingga membuat Heros mendengus pelan. Hal itu adalah salah satu kebiasaan buruk Lucas. ‘Axel Adisson! Entah apa yang merasukimu, sehingga kau dengan beraninya berurusan dengan kumpulan-kumpulan iblis ini. Asal kau tahu saja, spermaa para pria-pria Blaxton mana ada yang menjadi sosok malaikat! Mereka adalah iblis semuanya!’ Monolog Heros seraya terkekeh pelan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN