***
Dengan susah payah, Clarissa berdiri dari lantai. Gaun pengantin yang melekat di tubuhnya terasa berat dan menyusahkannya.
Meskipun telah menerima perlakuan buruk dari suaminya, Axel, ekspresi Clarissa tetap dingin dan datar.
Tak terlihat sedikitpun raut kesedihan di wajahnya, sesuai dengan harapan Axel.
Clarissa melangkah menuju sebuah ruangan yang ternyata dilengkapi dengan walk-in closet. Begitu masuk, ia berdiri di depan cermin full body, menatap pantulan dirinya.
"Apakah aku pantas diperlakukan begini oleh Axel? Apa salahku?" batinnya bertanya pada diri sendiri.
Clarissa semakin mendekat ke cermin, hingga wajahnya hampir menyentuh permukaan kaca itu. "Tidak. Kamu tidak memiliki hak untuk memperlakukan aku seperti ini, Axel. Aku tidak dilahirkan untuk disakiti olehmu," monolognya dalam hati.
Dia mendesah pelan. Hembusan nafas kasar meluncur dari bibirnya.
Clarissa menjauh dari cermin dan mulai melepaskan gaun pengantinnya yang mewah dan elegan. Meski berat, ia bertekad untuk melepaskannya sendiri tanpa bantuan.
Seharusnya ada orang yang akan membantunya, namun sampai saat ini tidak ada yang datang ke kamarnya.
Tak disadari oleh Clarissa, orang-orang tersebut telah diusir oleh Axel. Pria itu sengaja mengusir mereka agar tidak ada yang membantu Clarissa.
Dengan kata lain, tindakan Axel adalah bentuk hukuman kecil yang diberikan kepada Clarissa.
Clarissa berjuang dengan gaun tersebut selama hampir dua puluh menit, dan akhirnya ia berhasil melepaskannya. Setelah menyimpan gaunnya ke dalam sebuah koper yang ada di ruangan, Clarissa keluar dan langsung menuju kamar mandi.
Clarissa ingin segera mandi dan istirahat karena merasa sangat lelah.
Beberapa menit kemudian, Clarissa berdiri di bawah shower dengan tubuh telanjang. Dia menengadahkan wajahnya dengan mata terpejam, menikmati guyuran air dingin yang menyapu tubuhnya.
Clarissa mulai membayangkan bagaimana hari-harinya setelah dibawa oleh Axel ke California, negara tempat tinggalnya.
"Aku pasti bisa. Axel tak berarti apa-apa bagiku. Yang penting, aku harus menjaga perasaanku tetap terkendali," gumamnya dalam hati.
"Jangan pernah jatuh cinta. Cinta hanya akan menghancurkanmu, Cla," bisik Clarissa dalam hatinya.
°°°
Satu jam kemudian...
Clarissa tidak lama berada di kamar mandi. Setelah selesai, ia kembali ke walk-in closet dan membuka beberapa lemari mencari baju tidur.
Sayangnya, Clarissa tidak menemukan baju tidur yang sesuai. Hanya lingerie yang tergantung di sana.
Clarissa mengernyit kesal. Tanpa opsi lain, ia memutuskan untuk mengenakannya. Lebih baik begitu daripada berjalan telanjang.
Clarissa memilih lingerie merah yang kontras dengan kulitnya yang putih. Kainnya tipis, menyorot lekuk tubuhnya yang seksi, dengan belahan d**a yang rendah.
Namun, semua itu tidak berarti apa-apa karena malam ini ia akan menghabiskannya dengan pria yang tidak diinginkannya. Clarissa tidak peduli dengan tubuhnya yang terbuka jelas.
Saat membuka lemari lain, Clarissa menemukan beberapa potong kimono. Ia merasa lega.
Clarissa mengambil salah satu kimono dan mengenakannya. Ia memperhatikan pantulannya sejenak di depan cermin. "Sedikit lebih baik," pikirnya.
Setelah itu, ia keluar dari walk-in closet menuju ranjang. Berdiri di samping ranjang, Clarissa memperhatikan dekorasi yang begitu cantik.
Ranjang dihiasi seperti ranjang pengantin biasanya, dengan taburan kelopak bunga mawar membentuk jantung di atasnya.
Clarissa menggelengkan kepala. Semua itu tidak berarti baginya.
Ia bergerak ke sebelah kanan. Clarissa hendak naik ke ranjang setelah menyibak selimut, tetapi terhenti karena pintu kamar tiba-tiba terbuka.
Ceklek!
Clarissa memandang ke arah pintu dan melihat Axel masuk dengan tatapan tajam. Pria itu menutup pintu dengan kasar, sementara Clarissa tetap berdiri diam dan melepaskan ujung selimut yang dipegangnya.
"Jangan tidur di atas ranjang ini!" larang Axel setelah berdiri di depan Clarissa.
Clarissa terdiam.
"Di sana ada sofa. Kamu bisa tidur di situ atau bahkan di lantai, aku tak peduli! Aku tidak mau berbagi ranjang denganmu!" desak Axel.
Clarissa menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia mencoba menenangkan diri.
Clarissa memilih untuk tidak bertengkar dengan suaminya dan memutuskan untuk mengalah. Ia mengambil satu bantal dan hendak membawanya ke sofa.
Namun, Axel kembali bersikap kasar. Ia merampas bantal dari tangan Clarissa dan melemparkannya ke atas ranjang.
"Tanpa bantal! Kamu tidak pantas tidur dengan bantal!" kata Axel dengan nada yang semakin kasar.
Clarissa menatap wajah tampan Axel dengan tajam. Ia menelan ludah dengan susah payah, lalu menggeser tubuhnya hendak pergi tanpa berkata sepatah kata pun.
Namun, sikap pasrah Clarissa semakin memicu kemarahan Axel. Axel tidak suka melihat Clarissa menyerah begitu saja.
Axel ingin melihat Clarissa melawan atau memohon ampun. Ia ingin melihat Clarissa menangis dan bersimpuh di depannya.
"Kenapa kau diam saja, sialan!" bentak Axel sambil mencengkram erat lengan kiri Clarissa.
Clarissa tetap diam.
"Apa kau bisu, hah?"
"Aku diam karena tidak ingin menciptakan masalah. Kamu tidak ingin aku tidur di ranjang ini, kan? Baiklah, aku akan tidur di sofa. Kamu tidak suka aku menggunakan bantal, dan itu tidak masalah bagiku, Axel. Jadi, apa masalahmu sekarang?" akhirnya Clarissa berbicara panjang lebar pada pria tersebut.
Axel tertawa sinis, mencemooh istrinya. "Dengarkan aku, Clarissa. Aku pernah berjanji akan membuat hidupmu seperti di neraka, dan malam ini aku akan memenuhi janji itu!"
"Terserah kamu mau lakukan apa. Aku tak peduli, Axel. Aku hanya akan menjadi istrimu sesuai keinginanmu," jawab Clarissa tegas.
Axel menggeram kesal.
"Sekarang lepaskan aku dan biarkan aku istirahat," desak Clarissa, mencoba menarik lengannya, namun Axel tidak mau melepaskannya.
"Setelah apa yang dilakukan adik kembar sialanmu padaku, kau pikir aku akan membiarkanmu begitu saja? Dia sudah membuatku malu! Mencampakkan aku dan pergi bersama pria itu!" desis Axel, "kau akan membayar mahal, Clarissa!" ujarnya dengan marah.
"Aku sudah menikah denganmu, apa lagi yang harus kubayar, Axel?!"
"Apa kau pikir hanya dengan menjadi istriku, itu sudah cukup?" Axel mengangkat alisnya. Wajah tampannya terlihat sangat menyebalkan di mata Clarissa.
"Terserah kamu mau bilang apa, terserah kamu mau melakukan apapun kepadaku, aku tidak peduli," sahut Clarissa.
Axel melepaskan cengkramannya pada lengan Clarissa dan menggenggam kedua pipi perempuan itu. "Aku akan membuatmu menjadi istri yang paling menyedihkan di dunia ini! Aku akan tunjukkan kepada keluargamu yang tidak tahu terima kasih itu bagaimana salah satu anggota keluarga mereka menderita ketika berada di bawah kekuasaanku!" ucap Axel dengan nada tajam.
Ucapan Axel yang menyentuh tentang keluarganya mulai membuat Clarissa terpancing.
"Ayahmu akan melihat bagaimana...," ujar Axel tanpa bisa melanjutkan.
Tiba-tiba…
Bug!
Clarissa mengayunkan kepalanya dan memukul keras wajah Axel, membuatnya terhuyung ke belakang dan hampir kehilangan keseimbangan.
"Oh, shitt!" umpat Axel saat merasakan nyeri di pangkal hidungnya.
Clarissa meraih sebuah vas bunga di atas nakas dan dengan keras menghantamnya tepat di sisi pelipis Axel. Vas bunga itu hancur berkeping-keping, melukai pelipis pria tersebut.
Axel kembali meringis kesakitan.
"Jangan kau kira aku perempuan bodoh yang akan diam saja saat kau perlakukan seenaknya! Dasar k*****t!" umpat Clarissa sambil kembali memukul wajah Axel dengan kepalan tangannya.
Bugh!
Pukulannya berhasil mengenai pangkal hidung mancung pria itu.
"Kau yang memintaku menjadi istrimu, sialan! Lalu mengapa kau memperlakukanku begini, Axel!" teriak Clarissa. Dia melangkah ke depan dan meninju rahang pria itu dengan kuat.
Bug!
"Aku telah mengorbankan masa depanku untuk menjadi istri pria tak berguna sepertimu! Mengapa kau perlakukan aku seperti ini? Tidak cukupkah aku menjadi istrimu untuk menebus kesalahan yang dilakukan Caroline?"
Axel terdiam. Darah segar terus merembes dari pelipisnya.
"Jawab aku, jangan diam saja, brengsekk!" ujar Clarissa sambil wajahnya memerah dan matanya melotot tajam pada Axel.
Axel terdiam, menatap istrinya dengan tidak percaya.
"Kau boleh menyakitiku, tapi jangan sampai sekali-kali membawa nama keluargaku, apalagi menghinanya!" ujar Clarissa dengan penuh emosi. Dadanya naik turun akibat nafas yang terburu. Seluruh tubuhnya gemetar karena emosi yang meluap.
"Aku akan menelanmu hidup-hidup jika kau berani menghina keluargaku! Aku akan mencincang tubuhmu jika kau berani melakukannya! AKU AKAN MEMBUNUHMU!" teriak Clarissa.
Sementara Axel, tidak terganggu oleh rasa sakit di pelipisnya. Ia tenggelam dalam kekacauan pikirannya. Ia benar-benar terperangah melihat kegilaan istrinya.
Meskipun Axel sadar bahwa Clarissa berbeda dari Caroline. Clarissa lebih liar daripada kembarannya itu. Namun, Axel tidak menyangka bahwa Clarissa akan seberani ini padanya.
"Kau hanya dijodohkan dengan Caroline. Bahkan Caroline tidak pernah menyatakan perasaan sukanya padamu. Jika kau mencintai Caroline dan dia tak merespons perasaanmu, lalu meninggalkanmu untuk bersama pria yang dia cintai, bukan salahnya! Salah dan bodohnya adalah dirimu! Seharusnya kau mencari wanita yang mencintaimu untuk dijadikan istri, bukan menerima perjodohan bodoh dari keluargamu dan keluargaku seperti ini!" ucap Clarissa sambil menunjuk d**a Axel dengan telunjuknya.
"Lalu, kau berniat menyiksaku sekarang?! Menuntutku untuk membayar kesalahan yang tidak pernah aku lakukan sama sekali?! Really?!" pekiknya. "Ayo, coba siksa aku, dan lihatlah bagaimana aku akan membalasmu! Aku tak akan ragu untuk mengakhiri hidupmu di tempat ini, Axel!" desis Clarissa.
Deg!
Axel semakin terperangah, 'Oh, astaga. Apa dia gila?' pikirnya.
"Jangan kau pikir aku takut menjadi janda seorang Addison! Aku bisa melakukan hal yang lebih mengerikan dari ini! Usik aku, dan kau akan melihat iblis ini mencabut nyawamu! Aku tak perlu bantuan keluargaku untuk menghadapimu, aku mampu melakukannya sendiri! Dasar sialan!" ujar Clarissa dengan penuh emosi.
Clarissa mundur, dadanya terasa sesak. Dia ingin menangis, tapi enggan menunjukkan air mata di hadapan pria b******k seperti Axel.
"Kau pikir aku tidak memiliki masa depan? Aku punya banyak cita-cita, Axel, tapi kau hancurkan semuanya dengan memintaku jadi pengganti Caroline," ucap Clarissa dengan suara pelan.
"Aku rela jadi istrimu, karena aku tahu, adik dan kakak sepupuku telah mempermalukanmu. Tapi sebenarnya, Caroline pergi bukan karena keinginannya. Caroline tidak bersalah. Jadi, kamu tidak pantas ingin balas dendam padaku!”
Axel terdiam, sementara Clarissa menatapnya dengan tajam penuh benci.
"Dan aku ingatkan satu hal padamu, pikirkan ulang niat burukmu padaku. Jika keluargaku mengetahui semua ini, hidupmu akan berakhir di tangan mereka!" ancam Clarissa.
Axel menyeka darah segar di sisi pelipisnya sambil terkekeh pelan, lalu melangkah perlahan menuju Clarissa.
"Selain berani melawan seperti tadi, sekarang kau juga berani mengancamku, Clarissa?" ucap Axel dengan suara tegas.
"Aku tidak takut padamu! Aku tidak takut pada siapa pun, terutama pria sepertimu!" desis Clarissa.
Dengan gerakan cepat, Axel meraih tubuh Clarissa dan mendorongnya ke ranjang, membuatnya jatuh terlentang. Axel segera mengungkungnya, sementara kedua tangan Clarissa disatukan dan dicekal kuat di atas kepalanya.
"Lepaskan aku, Axel!" teriak Clarissa.
Clarissa terus berontak dan mencoba mengusir Axel dari tubuhnya.
"Mengapa harus melepaskanmu, huh? Malam ini adalah malam pengantin kita, bukan? Kita seharusnya menikmati malam ini di atas ranjang," ucap Axel dengan suara serak, sambil mengunci gerakan Clarissa.
Clarissa terkejut. Wajahnya pucat saat mendengar ucapan Axel. Setelah sekejap, ia mencoba mengendalikan diri. Mengusir kegugupan dan menatap tajam Axel.
"Tak masalah jika itu yang kau inginkan. Aku adalah istrimu, bukan? Sebagai istri, tugasku adalah melayani suamiku, termasuk di atas ranjang. Tak usah khawatir," ucap Clarissa dengan degupan jantung yang terasa, meski berusaha menyembunyikannya.
Jujur saja, sebenarnya Clarissa sangat takut. Takut Axel akan merampas mahkotanya yang berharga. Dia tidak ingin melepaskan semuanya pada pria b******k seperti Axel. Menurutnya, Axel tidak pantas mendapatkan dirinya yang berharga.
"Mengapa diam? Mau aku melayanimu? Baiklah, lakukan saja. Ayo, tunjukkan betapa rendahnya seorang Addison!" ujar Clarissa tajam.
Axel tertegun.
"Kau bilang tak sudi menyentuhku tadi! Tapi lihat sekarang. Ternyata kau tergoda dengan tubuhku. Sangat tidak pantas! Kau menjijikkan, Axel! Wajahmu menawan, tapi harga dirimu murahan!" hina Clarissa dengan tajam.
"Diam, Clarissa!" tegur Axel.
Clarissa, tanpa perduli, menyahut, "Hanya bisa menjilat ludah sendiri!"
"Aku bilang, diam, Clarissa!"
"Kau lelaki tak berprinsip, dan..." ucapan Clarissa terhenti saat Axel langsung menciumnya dengan kasar.
"Hhmmpphh!"
Tidak balas mencium, Clarissa malah menggigit bibir Axel hingga berdarah.
"Aarrghh!" Axel berteriak kesakitan. "Apa yang kau lakukan, sialan!" serunya sambil bangkit dari atas tubuh Clarissa.
Clarissa bangkit dan merapikan kimono di tubuhnya, menutupi bagian dadanya yang hampir terbuka.
Dengan pandangan penuh kepuasan, Clarissa melihat darah segar menetes dari bibir Axel.
"Kau sakit jiwa!" desis Axel.
"Aku memang gila, dan kau harus siap hidup bersama wanita gila sepertiku," balas Clarissa.
Axel tak berkata apa-apa. Ia melangkah lebar menuju kamar mandi dan menutup pintu dengan keras.
Sementara di atas ranjang, Clarissa menyandarkan punggung pada headboard sambil menekan dadanya yang semakin sesak.
Dengan wajah tertunduk, Clarissa memejamkan mata erat, menahan air mata yang ingin keluar. ‘Kak Lucas…’ Dalam hatinya, ia menyebut nama sang kakak, Lucas Spencer Blaxton.
***