Bagian 1
Patah.
Aku menyaksikan sendiri bagaimana Adi memperlakukan Melati begitu lembut dan penuh cinta. Berbeda dengan caranya memperlakukanku. Sangat berbeda.
Ya, kami ... aku-Anyelir, Adi dan Melati terikat dalam sebuah pernikahan yang sah secara hukum dan agama.
Jika kalian bertanya siapa istri pertama Adi?
Akulah istri pertamanya.
Namun, siapa yang dicintai Adi?
Maka jawabannya adalah Melati.
Mengapa bisa begini?
Semua berawal dari perjodohan yang dicetuskan oleh orang tua Adi dan orang tuaku.
Akulah orang ketiga di hubungan Adi dan Melati. Aku hadir di antara kisah cinta mereka yang telah terjalin bertahun-tahun. Aku pun yang pada akhirnya dengan sadar mengizinkan Adi menikahi Melati, meski sejujurnya Adi tak benar-benar membutuhkan izinku.
Lalu ... apa kabar dengan hatiku?
Di suatu sore tiga bulan lalu. Tepat sebulan setelah pernikahanku dan Adi berlangsung, Adi menemuiku di kamar. Kami memang tidur terpisah, meski telah berstatus suami istri. Dan selama sebulan itu tak ada kontak fisik di antara kami, hingga detik ini. Entah, rumah tangga macam apa yang sedang kami jalani saat ini.
"Anye, aku mau bicara," ucapnya saat itu. Wajahnya seperti biasa, datar tanpa ekspresi. Dua bulan aku mengenalnya sejak pertama kali bertemu, sebulan aku hidup dengannya, belum pernah sekalipun ia tersenyum padaku.
Aku menghentikan kegiatanku membaca n****+. Kutatap wajahnya sekilas, lalu beralih menatap jendela kamar yang mulai basah terkena percikan air hujan.
"Ada apa?"
"Aku akan menikahi Melati." Kata-katanya meluncur dengan lugas tanpa beban.
Aku sudah tahu siapa sosok Melati itu. Saat pernikahan kami berlangsung, ia datang. Sepupu Adi yang memberitahuku betapa berharganya wanita itu bagi Adi.
Aku kembali menatapnya. Kali ini sedikit lebih lama. Mencoba menggali celah keraguan di sana. Ah, tapi setelahnya aku sadar, Adi bukan sedang bertanya melainkan membuat pernyataan yang tak membutuhkan jawaban.
"Nikahi saja dia," jawabku kemudian. Aku sadar, aku baru saja mengatakan hal yang mungkin untuk sebagian wanita begitu menyakitkan.
Dimadu.
Meski Allah memang memperbolehkan. Namun, dengan cinta Adi yang begitu besar pada Melati, jelas akan membuat sikapnya lebih condong pada Melati. Dan hari-hariku akan dihiasi dengan sikap ketidakadilannya pada kami. Tapi aku bisa apa? Selain setuju.
Saat orang tua kami mengutarakan niatan mereka untuk menjodohkanku dengan Adi. Aku hanya bisa terdiam. Meski hati memberontak, namun bibir mengatup rapat. Karena aku sadar siapa diri ini di keluarga mereka.
Aku-Anyelir yang saat ini menginjak umur dua puluh dua tahun dan menyandang gelar sarjana ekonomi, hanyalah anak angkat. Ayah dan Bunda yang selama ini kukira adalah orang tua kandungku, ternyata bukan. Mereka yang memiliki hati seputih kertas, dua puluh tahun lalu mengadopsiku dari sebuah panti asuhan.
Dan keputusanku menerima perjodohan ini, kuanggap sebagai salah satu balas budiku pada Ayah dan Bunda, selaku orang tua angkatku. Orang tua yang dengan ikhlas dan penuh kasih membesarkanku hingga aku bisa berdiri tegak dan sanggup menghidupi diriku sendiri.
"Dengan atau tanpa izinmu, aku akan tetap menikahinya. Kamu tentu tahu, sebelum pernikahan bodoh ini terjadi, kami sudah menjalin hubungan bertahun-tahun. Jadi ... aku harap kamu mengerti posisimu."
Aku masih menatapnya. Tidakkah Adi berbelas kasihan padaku sedikit saja?
"Aku mengerti ... hanya saja aku memikirkan kedua orang tua kita. Mereka pasti ...."
Adi dengan cepat memotong perkataanku.
"Rahasiakan ini dulu dari orang tuamu. Mereka tidak akan tahu jika kamu tidak mengatakannya. Untuk orang tuaku, biar aku yang mengurusnya."
Aku mengangguk samar. Tak mampu lagi berkata-kata.
"Melati juga akan tinggal di sini. Jadi, aku minta kamu bisa bersikap baik padanya."
Setelah mengatakan itu, Adi pergi. Meninggalkanku dengan perasaan yang aku sendiri tak mampu menggambarkan.
Kami baru saja menikah sebulan lalu karena sebuah perjodohan. Dan suamiku baru saja mengatakan akan menikahi kekasihnya.
Meski belum ada cinta di antara kami, tapi bolehkah aku mengatakan jika aku terluka?
Melati dengan telaten menyuapi Adi yang tengah terbaring di ranjang. Suami kami itu sudah terbaring selama tiga hari. Penyakit lambungnya kambuh. Berawal dari seringnya ia telat makan dan stres yang lalu membuatnya tumbang.
Kami sudah menyarankan agar ia dirawat saja, namun ia bersikeras untuk tetap di rumah. Memilih memanggil dokter untuk memeriksanya dan perawat untuk mengganti botol infusnya jika habis.
“Sudah cukup." Itu suapan kelima dari tangan Melati. Adi mungkin sudah merasa kenyang atau mungkin saja mulutnya belum enak makan.
“Tapi ini baru sedikit, Di." Melati memprotesnya.
"Aku kenyang, Sayang."
Aku mendengarnya, karena aku memang duduk di sofa dekat jendela kamar mereka. Mengamati gerak-gerik suamiku dan maduku sejak tadi.
Sayang ...
Kata ajaib yang entah kapan Adi akan mengucapkannya untukku.
Sakit? Jangan tanyakan lagi. Sudah tiga bulan kami menjalani pernikahan poligami ini. Aku mungkin sudah terbiasa dengan rasa sakit yang aku tahu tanpa sengaja mereka ciptakan.
Melati wanita baik. Kami hidup rukun sejauh ini. Wanita itu, dengan tinggi lebih sepuluh senti dariku, wajahnya ayu, pandai memasak dan selalu tersenyum.
Aku mengaguminya. Aku mendengar sendiri bagaimana ia meminta Adi untuk tidur denganku. Meminta Adi untuk sedikit perhatian denganku.
Namun, Adi tetaplah Adi. Ia adalah pria keras kepala. Ia tak akan menyentuh apa pun yang tak di sukainya. Termasuk aku, mungkin.
"Sudah selesai ya." Aku beranjak, mendekati Adi dan Melati. "Biar aku bawa ke dapur." Aku mengambil piring dari tangan Melati.
"Makasih, Nye."
Aku mengangguk sekilas lalu pergi dari kamar itu. Kucuci piring bekas makan Adi tadi. Meletakkannya di rak piring. Kemudian berjalan menuju kamar mereka lagi.
Langkahku melambat dan terhenti. Samar-samar aku mendengar pembicaraan Adi dan Melati.
“Di, jangan terlalu acuh dengan Anye. Dia juga istrimu." Itu suara Melati.
"Kamu tahu kan Mel, aku tidak mencintainya."
Aku menyandarkan tubuhku di dinding kamar. Mendengarkan baik-baik percakapan mereka.
"Iya, tapi syarat poligami itu salah satunya harus bisa bersikap adil. Dan kamu sekarang ini sedang tidak bersikap adil. Aku takut terkena dosanya juga, karena tidak bisa menasihatimu, Di."
Lihatlah, betapa bijaksananya Melati. Pantas saja Adi begitu mencintainya. Aku memilih pergi dari kamar itu, melangkah menuju kamarku sendiri.
Kami tinggal di sebuah rumah berlantai dua. Orang tuaku dan orang tua Adi sama-sama tinggal di Bandung. Kami sendiri tinggal di Bekasi. Aku memang merantau ke kota ini sejak awal lulus kuliah. Adi sendiri sibuk dengan usaha distro dan kafenya yang beberapa cabangnya sudah tersebar di Bandung, Bekasi dan Jakarta.
****
Kulepaskan kerudung yang menutupi kepalaku, yang meski di dalam rumah selalu kupakai termasuk di depan Adi.
Kupandangi wajahku yang ditumbuhi beberapa butir jerawat di dahi dan pipiku. Aku merabanya, jerawat besar yang tidak disentuh pun akan terasa sakit. Menambah poin ke tidak-cantikkan di wajahku kian meninggi.
Tanganku kemudian bergerak mengambil obat jerawat yang teronggok di meja rias di depanku. Untuk selanjutnya mengoleskannya pada butiran-butiran jerawat yang sudah setia menemaniku sejak haid pertamaku saat aku masih duduk di bangku SMP.
"Anye." Melati melongokkan wajahnya dari sebalik pintu.
"Iya Mel?" Aku segera memakai kembali kerudungku.
Melati melangkah mendekatiku. "Aku mau pergi, ada urusan sebentar. Titip Adi ya," katanya.
Aku mengamati penampilannya yang telah rapi. Wanita cantik dengan pipi mulus tanpa noda itu, menggunakan gaun terusan selutut warna kuning. Kakinya dialasi flatshoes dengan warna senada dengan baju. Rambutnya dibiarkan tergerai. Tas kecil yang bertaburan mute yang tersampir di lengan kanannya, melengkapi penampilannya.
Satu kata untuknya. Cantik.
"Iya," aku menjawab singkat.
"Ya sudah. Aku pergi." Melati melangkah pergi meninggalkanku di kamar ini dengan perasaan iri bercokol di hati.
Aku segera mengambil gawai dan novelku lalu melangkah menuju kamar mereka. Kamar di mana Adi tengah berbaring. Kamar di mana suami dan maduku tidur bersama.
Aku mendapati Adi tengah tertidur pulas. Mungkin efek dari obat yang baru saja diminumnya. Aku melirik jam yang terpasang di dinding kamar. Masih pukul delapan pagi. Dan sekarang adalah weekend, jadwalku libur kerja. Sejujurnya aku ingin pergi, sekedar makan di luar untuk menyegarkan pikiran. Tapi apalah daya, nyatanya keadaan membuatku harus bertahan berada di satu ruangan dengan pria yang statusnya sebagai suamiku namun tak pernah menganggapku istrinya. Begitu yang kurasakan selama ini.
Kubuka gawaiku. Membaca pesan yang baru saja masuk.
Marta : (Nye, besok ada meeting jam 7 pagi)
Pesan dari Marta, rekan kerjaku. Aku segera membalasnya, OK.
Aku bekerja sebagai staf gudang di sebuah pabrik garmen. Sudah satu tahun aku bekerja di sana. Dan Marta adalah satu-satunya sahabatku. Kami sering menghabiskan waktu bersama, untuk sekedar nongkrong di kafe atau pun bergelung di balik selimut saat weekend setelah malamnya kami menonton drakor secara maraton.
Aku kembali menekuri n****+ milik Bunda Asma Nadia berjudul Surga Yang Tak Dirindukan. Kisah yang mungkin hampir sama dengan kisah pernikahanku. Setidaknya aku butuh referensi di kehidupan rumah tanggaku. Meski yang paling tepat kita mencontoh kehidupan Rasulullah, tapi tak apa kan kita membaca kisah yang ditulis oleh manusia biasa?
Setidaknya aku punya gambaran.
Jam sudah bergerak menunjuk pukul sembilan pagi. Dan itu artinya aku sudah menemani orang tidur selama satu jam. Aku sendiri masih fokus dengan novelku.
Merasa netraku mulai lelah, aku beralih menatap pekarangan rumah bagian belakang. Di sana terhampar taman mungil di samping kolam renang. Lalu mengamati sudut taman di mana terdapat gazebo yang menjadi tempat favoritku selama di rumah ini. Tempat di mana aku sering menghabiskan waktu seorang diri. Menangis, tertawa, bahkan tak jarang aku sering ketiduran di sana.
Aku menoleh pada Adi yang samar kulihat bergerak kecil. Pria itu menggeliat. Dia lantas membuka matanya perlahan.
"Apa yang bisa kubantu?"
Adi terlihat memosisikan dirinya bersandar di kepala ranjang. Aku masih diam di tempatku, hanya mengamatinya.
"Melati mana?"
Bahkan menjawab pertanyaanku saja, dia enggan.
"Belum pulang."
Hening. Aku masih di tempatku dan Adi entah tengah memikirkan apa, ia hanya menatap langit-langit kamar.
Kali ini aku membuka gawai. Melihat akun IG-ku. Entah ingin melihat apa, jariku hanya menggulir layar dengan gerakkan naik turun dan sesekali bergeser ke kanan maupun ke kiri.
Saat bersama Adi, aku mendadak menjadi wanita pendiam. Lagi pula percuma juga bicara jika diacuhkan.
Adi menurunkan kakinya. Ia berdiri perlahan.
"Mau ke mana?"
Adi masih diam. Tapi, langkahnya perlahan menuju kamar mandi yang masih menyatu dengan kamar.
Aku berjalan mendekati, hendak membantunya. Namun, belum juga tanganku menyentuhnya, aku melihat gerakkan tangannya yang tak ingin dibantu.
Aku diabaikan lagi. Aku mematung di tempat, membiarkannya menuju kamar mandi seorang diri.
Aku masih saja berdiri di tempat tadi Adi menolakku, entah apa salah dan dosaku hingga mendapatkan suami macam Adi.
Adi tidak kasar secara verbal dan fisik. Hanya ia terlalu abai terhadapku. Membuatku seperti sosok tak kasat mata di hadapannya.
Adi keluar setelah beberapa menit. Perlahan melangkahkan kaki menuju ranjangnya. Ia kembali menyandarkan tubuhnya. Mengabaikanku, yang masih memperhatikannya sejak tadi.
"Melati yang memintaku menjagamu." Akhirnya aku bicara. Mencoba setenang mungkin, menahan gejolak amarah yang mulai merongrong rongga dadaku.
"Aku bisa sendiri." Adi menjawab tanpa melihatku.
"Baik."
Aku berbalik menuju sofa. Mengambil gawai dan novelku lalu meninggalkan kamar, berjalan ke kamarku yang berada tepat di samping kamarnya.
Brakk!
Kututup pintu dengan kasar. Seolah ingin memberi tahu pada Adi tentang kemarahanku.
Meski aku tahu, itu percuma.
Bersambung.