Pertarungan Sengit

1534 Kata
Wanita yang berlumuran darah itu melangkah pelan sembari meminta pertolongan terduduk lemas, tangannya memegang perut. Akmal melihat ke bawah kaki wanita itu masih menapak di tanah. Nirmala dan Rosa memutar badan hendak memelesat lari marathon, tetapi tangan Akmal mendarat di pundak sang janda kembang bermata biru itu. "Hei, tunggu. Dia bukan setan, manusia biasa. Apakah kalian tidak mengenalinya?" tanya Akmal sembari menyeret Nirmala supaya ikut dengannya, menghampiri wanita yang terduduk lemas yang sedang memandang sayu ke arah mereka. Nirmala menepis tangan pria bermata sipit itu, ia mengerutkan dahi, dan menyipitkan mata belonya. Lalu, mengamati lekat-lekat sosok wanita yang ada di depannya. "Marini, kenapa kamu seperti ini?!" pekik Nirmala sambil berjongkok, wanita yang dipanggil Marini itu tersenyum tipis seraya mengangguk pelan. Bonbon berbalik badan, mematung melihat sosok wanita yang sedang terduduk lemas. Matanya berbinar menguliti wajah itu sama dengan mantan kekasihnya yang pergi meninggalkannya karena menikah dengan pria lain. Ia pun menghampiri tersenyum sumringah. Nirmala membantu Marini berdiri. Mengusap rambut teman masa kecilnya itu dengan lembut, menatap nanar. Ini sungguh di luar dugaannya, ternyata wanita itu yang sempat dikira setan adalah orang yang dulu mengajarinya tari jaipong. Mereka berempat menuntun Marini untuk ke rumahnya. Marini---yatim piatu, di rumah tidak ada sanak keluarga. Langkah mereka berhenti di depan rumah panggung berwarna cat putih dan penerangan lampu yang remang-remang. Nirmala membuka pintu yang tidak dikunci itu. Lalu, menyuruh Rosa untuk memanggilkan mantri untuk datang mengobati luka Marini dan Bonbon menawarkan dirinya untuk mengantarkan si janda kembang hitam manis itu dengan sukarela. Wanita berambut panjang gelombang itu menyapu pandangan mencari baju yang lebih layak untuk Marini karena kondisi baju yang wanita itu pakai sudah compang-camping. Ia beranjak menuju lemari dan mengambil satu stell baju atasan dan rok panjang warna putih tulang polos. Lalu, Nirmala membantu Marini mengganti pakaian, terlihat dari sorot mata Nirmala ada ketulusan. Membersihkan luka dan memberikan perban. "Coba ceritakan apa yang terjadi?" tanya Nirmala dengan nada lembut. "Kamu tidak takut kepadaku? Kita hanya berdua di sini," Marini tersenyum simpul beranjak berdiri dan mengunci pintu kamarnya. Nirmala menggeleng kasar dan melempar senyum. "Kenapa harus takut? Kita 'kan berteman." Marini tertawa melengking seperti suara kuntilanak yang sedang cari perhatian, ia membuka perban di perutnya, dan darah merah segar keluar begitu deras memancar seperti air pancuran. Nirmala membulatkan matanya dan mengatupkan mulutnya oleh tangan kanannya, ia terus melangkah mundur, tetapi terjebak hanya ada tembok. Marini menatap menyala, matanya mendadak merah, dan memelesat ke arah wanita berambut panjang itu. Dengan hitungan detik, tangan Marini sudah ada di leher Nirmala. Tenggorokan wanita bermata belo itu terasa panas dan ia tercekat, berusaha memberontak. Dalam hatinya terus berdoa karena yang di depannya bukanlah Marini, tetapi makhluk astral yang ingin menguasai jiwa temannya itu. "Kamu harus mati, tidak boleh ada yang mendekati calon suamiku!" geram Marini sembari memelotot. Keringat dingin keluar dari punggung Nirmala, ia merasakan sakit ketika rambut panjangnya dijambak. Lalu, diseret keluar kamar oleh Marini yang terus tertawa nyaring. Akmal yang sedang menunggu di luar rumah, angin malam menyusup rongga tulang-tulangnya membuatnya hampir membeku di tempat. Ia hanya menghela napas kasar sembari menggosok-gosok tangannya. Tiba-tiba pintu rumah itu terbuka, matanya terbelalak tidak percaya kalau Marini menyeret Nirmala dengan kasar. "Akhirnya, Kau datang juga kekasihku, sudah beribu-ribu tahun. Aku menunggumu, menghitung butiran padi seperti aku menghitung rindu!" Marini dengan suara serak dan lantang sembari mengulas senyum. Akmal berdiri tidak gentar. Entah apa yang sekarang dihadapi olehnya? Baru pertama kali, berinteraksi dengan alam gaib. Biasanya ia menghadapi manusia, pencuri, dan pembunuh. Matanya menatap tajam ke arah Marini sambil mengepalkan kedua tangannya. "Lepaskan dia!" bentak Akmal. Marini menyeringai melempar Nirmala ke arahnya dan tubuh wanita itu terjatuh ke tanah tepat berada di kaki pria bermata sipit itu. Nirmala meringis kesakitan, ia merasakan tulang-tulangnya patah. Wanita berdada besar itu melayang terbang, matanya menyala merah. Lalu, melempar kain selendang hijau ke arah Akmal dan tubuh pria itu dalam sekejap terbalut selendang panjang seperti kepompong. Suara nyaring ketawa Marini terdengar oleh Rosa, Bonbon, dan Pak Nurdin---mantri desa yang sebagai ustaz juga. Mereka mempercepat langkahnya. "Hei, lepaskan aku!" teriak Akmal, mulutnya mendadak kelu dan seluruh tubuhnya tidak bisa digerakkan. Nirmala terduduk dan tangannya menengadah berdoa. Ia tidak mau kejadian lima tahun lalu harus terulang, menghadapi iblis wanita yang haus darah perjaka. Suara bariton dari Pak Nurdin menghentikan tawa Marini. "Siapa yang sudah membangunkan kamu kembali?" Tangannya melempari garam ke tubuh wanita yang sedang kerasukan itu. "Sial, pak tua! Kamu selalu menganggu kesenanganku saja. Ahhhh, panass. Tunggu aku Akmal Prasraya Vrenda, kamu itu milikku." Tubuh Marini terduduk lemas, asap putih keluar dari telinganya. Lalu, ia luruh tidak sadarkan diri ke tanah. *** Keesokan harinya. Marini sudah sadar dan lukanya sudah diobati oleh Pak Nurdin. Ia pun menceritakan semuanya kepada Akmal, Bonbon, dan Pak Ridwan yang menunggunya sepanjang malam di puskesmas. Marini baru menikah lima hari yang lalu, tetapi suaminya tiba-tiba memberi talak tiga karena melihat keanehan dalam diri gadis itu. Sebelum malam pengantin tiba, pria yang sudah menjadi suaminya mendorong tubuhnya sehingga ia tersungkur jatuh ke bawah ranjang. Sang suami berteriak memarahinya. Katanya, wajahnya jelek, dan belatung semua. Ia pun menjadi tertekan juga depresi, luka yang ada di perutnya karena berusaha mau bunuh diri. Tangan dan kakinya ada sesuatu mengendalikkannya, sebuah bisikan menuntunnya datang menghampiri Akmal dan Nirmala. Akmal dan Bonbon mendengar cerita itu mengangguk pelan, posisi mereka sama menopang tangan di dagunya. Memutar bola mata ke atas, berpikir keras. "Kenapa janda di sini nasibnya malang sekali?" tanya Bonbon. "Mungkin sudah takdir mereka, kita tidak tahu 'kan kalau suatu hari nanti akan ada kebahagiaan yang menyapa mereka. Ini juga kesalahan Marini juga karena dia mau mencoba bunuh diri dan orang yang berputus asa itu adalah temannya setan," sergah Pak Ridwan menyilangkan kedua tangannya ke depan d**a. "Paman, aku penasaran. Kenapa itu setan bilangnya dia itu sudah menunggu aku lama? Dia seolah tahu silsilah keluargaku, tahu nama lengkapku juga." Akmal berjalan menghampiri sang paman yang sedang berdiri menyandar di tembok. Pak Ridwan menggeleng pelan. Ia tidak tahu apa-apa karena menjadi kepala desa di kampung janda baru dua tahun menjabat. Kepala desa yang dahulu sudah pergi meninggalkan kampung, pergi ke kota membuka lembaran baru. Akmal pun pamit untuk bertemu dengan anak Pak Boni. Ia merasakan kecemasan dan khawatir kepada sang janda kembang itu. Ada sesuatu perasaan yang berdesir aneh, menggelayut pikirannya. Hanya ada nama Nirmala dalam benaknya, setelah semalam memandang aura cantik yang terpancar, saat wanita berambut panjang itu duduk dan berdoa. Bonbon menjaga Marini di puskesmas dan Pak Ridwan pun pamit mau mempersiapkan acara adat panen untuk besok. Langit begitu cerah, ada gumpalan-gumpalan kapas yang menggantung di atas sana. Terik matahari menyengat tubuh putihnya Nirmala yang berjalan di pematang sawah. Hamparan sawah yang sudah menguning dan ada juga yang masih hijau. Rambut wanita itu dikucir kuda dari sudut bibir mungilnya melengkungkan senyum. Hari ini ia merasakan bahagia, karena besok adalah pesta padi adat kampung yang akan menyuguhkan semua tarian tradisional Sunda dan bersyukur kalau keluarganya masih diberi kesehatan. Musim panen tiba. Nirmala mengamati para pegawai ayahnya yang sedang memetik padi yang telah menguning pakai alat pemotong padi dan ada juga sebagian dari mereka menumbuk butiran padi itu. Mata belo itu berbinar melihat sosok pria yang pertama menyentuh tubuhnya yaitu sang ayah. Langkahnya pun menuju pria yang sudah berusia lima puluh tahun yang sedang berbicara dengan salah satu pegawainya. "Ayah, pulang dulu. Kata ibu ada hal yang harus dibicarakan buat acara besok," ajak Nirmala sembari menarik tangan sang ayah. "Bentar yah, cantik. Ayah mau bicara dulu sama emak Wati," jawab Pak Boni. Raut wajah Nirmala mendadak cemberut, ia melepaskan pegangan tangannya dari tangan sang ayah. Lalu, mengangguk kecil. Nirmala memutar badan, berjalan pelan. Ketika sampai di jalan perkampungan, matanya membulat sempurna ada sosok Akmal berhenti dengan motor maticnya. "Ketemu terus sama kamu, jangan-jangan kita berjodoh," goda Akmal melempar senyum. Padahal memang sudah berniat ingin menemui si janda kembang itu. Wanita bermata belo itu memutar bola matanya malas, mencebik, dan mengembungkan pipi meronanya. Ia sungguh tidak mau melihat Akmal untuk saat ini. Karena bisa merusak mood baiknya itu. Kejadian semalam membuatnya mengerti satu hal, kalau Akmal bukan orang sembarangan. Pasti ada sesuatu rahasia yang disembunyikan pria bermata sipit yang sedang duduk di motornya itu. "Aku nggak suka bertemu sama kamu, rasanya pengen nelen kamu mentah-mentah!" geram Nirmala, bersikap ketus sembari memalingkan wajahnya. "Aku khawatir kamu itu sakit, akibat kemarin malam dilempar begitu, udah kaya durian jatuh dari pohonnya, Neng," sahut Akmal sambil berdiri dan mendekat ke Nirmala yang masih berdiri di tempatnya. "Ngeledek atau merasa kasihan saja. Kamu lihat 'kan aku baik-baik saja, sehat, dan masih menginjak tanah tentunya." Nirmala pun menatap tajam pria yang ada di hadapannya itu. Kata-kata Akmal membuatnya tambah kesal. "Oke, bisa kita lanjutkan pembicaraan ini di rumah kamu saja. Banyak yang harus aku tanyakan kepadamu?" "Nggak mau, titik dan jangan sampai aku lihat wajahmu lagi. Ah, menyebalkan sekali. kamu itu terbuat dari batu, keras kepala sekali," decak kesal Nirmala memicingkan matanya. "Daripada kamu cantik. Tapi, judes sekali. Kebanyakan makan cabe rawit, nih!" Jawaban pria berhidung bangir itu membuat Nirmala ingin melayangkan seribu tinju bayangan. Ia mengibaskan tangannya dan bersikap dingin. Lalu, melanjutkan langkahnya. Teriakan Akmal memanggil namanya, tidak diindahkan. Akmal mengejarnya terus mengekor dari belakang. "Nirmala, dengarkan aku. Nyawamu dalam bahaya!" Perkataan yang keluar dari mulut pria itu, spontan mampu menghentikan langkah Nirmala, degup jantungnya terasa melompat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN