Keesokan harinya. Suasana di desa Sukaratu begitu riuh dan berkumpulnya semua orang untuk menyaksikan upacara adat Seren Taun, yang sering diadakan di kampung janda itu.
Masyarakat di kampung janda dikenal sering mengadakan upacara-upacara adat, tujuannya sebagai ungkapan rasa syukur atas apa yang telah mereka dapatkan dari Tuhan.
Seren Taun merupakan upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan setiap tahun. Rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas semua hasil pertanian yang mereka dapatkan dan sebuah harapan agar ke depannya hasil pertanian yang mereka dapatkan akan meningkat atau lebih baik dari sebelumnya. Memiliki tanah yang subur adalah suatu harta yang tak bisa diganti dengan apapun.
Diawali prosesi ngajayak (menyambut atau menjemput padi). Lalu, angklung baduy dimainkan para jejaka dari desa Sukaraja yang memakai pakaian adat. Mereka tampak tampan dan gagah.
Upacara ini berlangsung sangat ramai dan dihadiri ribuan masyarakat sekitar dari berbagai desa. Tidak hanya itu, ada juga masyarakat dari daerah luar bahkan wisatawan mancanegara datang untuk menyaksikan upacara adat tersebut.
Konon upacara adat Seren Taun sudah dilakukan secara turun-menurun sejak zaman Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran. Makanya masyarakat kampung masih memegang teguh.
Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda yaitu, ‘’Seren’’ yang artinya Serah atau seserahan (menyerahkan) dan ‘’Taun’’ yang berarti Tahun. Adapun maknanya adalah sebagai tanda serah terima dari tahun lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya.
Para wanita kini memakai kebaya berwarna hijau dan kain bercorak batik, sedangkan para pria menggunakan kaus polos berwarna putih dan celana pendek corak batik.
Nirmala pun kini dengan model rambut disanggul ke atas dan diselipkan bunga mawar merah mempercantik penampilannya. Ia juga memegang sebuah kendi ukuran sedang yang terbuat dari tanah liat sembari berdiri mengulas senyum, mengikuti upacara adat Seren Taun.
Rosa pun sama memegang kendi, melempar senyum ke arah sang sahabat yang saling bersebrangan. Keduanya tampak anggun sekali.
Para wanita dengan lemah gemulai menarikan tari buyung sangat luwes dan tampak cantik sekali. Siapa pun yang melihat mereka akan berdecak kagum.
Akmal dan Bonbon berdiri dengan kamera yang selalu menggantung di leher mereka. Setiap moment yang unik selalu jadi objek pemotretan mereka.
Ritual diawali dengan mengambil air suci dari tujuh mata air yang telah dikeramatkan, air suci itu adalah mata air dari atas gunung Burangrang. Pak Boni dan para pegawainya yang mengumpulkan, kemudian disatukan ke dalam satu wadah, dan diberi doa.
Air ini kemudian dicipratkan ke semua orang yang hadir dalam upacara tersebut agar membawa berkah dan keberuntungan.
Ritual berikutnya adalah sedekah kue, warga yang hadir akan berebut mengambil kue di tampah (wadah penyimpanan kue), bagi mereka yang berhasil mendapatkan kue ini dipercaya akan mendapat berkah juga dan selalu sehat.
Kemudian dilanjutkan dengan menyembelih kerbau.
Nirmala merelakan si o***g kerbau salah satu kesayangannya dipotong. Karena penyembelihan harus kerbau jantan. Ia sebenarnya sedih, tetapi ini semua permintaan sang ayah.
"Udah, jangan nangis gitu. Si o***g ikhlasin, nanti 'kan ada o***g lain yang menggantikannya," ujar Rosa sembari menepuk bahu wanita bermata biru itu yang sedang menatap nanar sang kerbau.
"Masih lama kalau nunggu o***g lain gede," sahut Nirmala sembari membuang ingusnya di sembarang tempat pakai tisu.
"Hei, kamu kira ini tong sampah!" Suara bass itu mengagetkan dua wanita jomlo itu yang langsung terbelalak.
Akmal mengerutkan dahinya sembari memelotot dan tangannya menunjukkan cairan putih yang ada di bajunya. Cairan ingus Nirmala menempel di bajunya. Siapapun itu pasti akan jijik, begitu pula Akmal. Lelaki itu yang suka kebersihan.
"Ko bisa, ada di dekatku. Tadi di sini nggak ada orang," balas Nirmala sembari memeletkan lidahnya.
"Nggak ada orang katamu, lihat itu orang semua lagi berkerumun melihat kerbau. Cantik, Tapi, minus sekali matanya. Mau saya kasih kaca lapion kuda," ketus Akmal berkacak pinggang. Ia sungguh jijik dengan cairan yang wanita berambut cokelat itu buang ke bajunya.
Rosa berbisik dan kedua wanita itu melangkah mundur lari menjauhi pria bermata sipit itu.
Terik matahari lambat laun bergeser, gumpalan-gumpalan putih itu mendadak menghitam. Langit tidak cerah, tetapi seperti mendung. Acara upacara dipercepat semua warga makan tumpeng bersama.
Nirmala sebagai anak tuan tanah di desanya, memberi pengumuman kalau malam akan diisi dengan pertunjukkan Wayang Golek. Ia pun turun dari panggung.
Tiba-tiba ada seorang wanita paruh baya menutupi wajahnya itu dengan kerudung kuningnya, mendarat ke pundak sang janda kembang.
"Hati-hati, Nak. Jangan sampai nanti malam akan ada pertumpahan darah," tutur wanita itu dengan suara serak. Lalu, melangkah gontai meninggalkan Nirmala yang bergeming masih berdiri di dekat panggung.
Wanita bermata belo itu mengedipkan matanya. Namun, wanita itu sudah menghilang dari pandangannya. Ia pun bergegas berlari ke arah Rosa yang sedang duduk makan nasi tumpeng kuning.
"Ros, lihat nggak tadi ada wanita di sekitar panggung memakai kerudung kuning?" tanya Nirmala sembari menukikkan kedua alisnya.
"Aku nggak merhatiin, lagi asyik makan. kenapa, sih?" tanya balik Rosa sembari mulutnya penuh nasi.
"Eh, pamali kalau makan jangan ngomong!" tegur Ibu Susi yang duduk tepat di samping Rosa.
Nirmala menggaruk-garuk kepalanya sembari melempar senyum. Ia beranjak pergi. Namun, tangan kekar melingkar menarik lengannya dan membawa wanita itu menjauhi kerumunan orang-orang.
"Willy, lepaskan aku!" pekik Nirmala sembari mencubit tangan kekar itu.
"Aku rindu kamu, sudah dua tahun tidak bertemu denganmu," balas pria bersweater hitam dan mempunyai tahi lalat kecil di atas bibirnya. "Kamu lihat teman-temanku dari Jakarta?" tanya lanjut Willy.
"Si hidung Beo itu temanmu," sahut Nirmala sembari membulatkan matanya.
Willy pun mengangguk pelan seraya tersenyum simpul dan mereka berdua berdiri di tepi sungai.
"Aku yang bilang kalau kampung kita ini unik banyak janda yang tak tersentuh. Akmal itu tingkat penasarannya tinggi dan ternyata benar dugaanku dia mau datang bersama teman-temannya," tutur Willy sambil duduk di atas batu yang datar dan besar.
Nirmala masih mematung dan menyilangkan kedua tangannya. Ia tidak menyangka Willy---anak pak kades itu memberi tahu tentang rumor kalau dirinya adalah wanita pembawa kematian.
"Kenapa kamu melakukan hal itu? Aku tegaskan lagi. Jika aku bukan wanita pembawa kematian. Kamu paham!" pekik Nirmala tegas.
***
Di lain tempat, Ria mematut diri memandang cermin, dari sorot matanya ada sebuah kebencian. Bibir seksinya belum kembali berubah ke semula.
Ia melempar batu ke arah cermin.
"Ini semua gara-gara Nirmala, bibirku tetap dower. Ah, aku benci wanita pembawa kematian itu!" teriak histeris Ria dengan tatapan menajam.