"Ada apa, Pak?" tanyaku pada Pak Hendry yang tiba-tiba saja sudah berdiri di dekat meja kerjaku. Lily dan Ayu yang meja kerjanya berada di dekatku kebetulan sedang keluar kantor. Ayu menemani Lily untuk mengecek tempat untuk event yang akan diadakan pada weekend ini.
"Kamu sibuk hari ini?"
"Nggak terlalu, sih."
"Ada planning keluar kantor nggak?"
"Nggak ada hari ini, Pak." Seharusnya aku bertemu dengan salah satu pemilik merchant ternama siang ini. Dia ingin dibantu terkait beberapa cabangnya ingin bergabung di e-commerce kami pada bagian food delivery. Tapi orangnya meminta untuk mengubah jadwalnya menjadi besok.
"Maya nggak masuk hari ini."
"Ya?"
"Pak Ervan minta salah seorang dari kalian di sini untuk membantunya. Karena kerjaan dia cukup padat hari ini. Dan juga, dia ada jadwal meeting dengan klien di luar kantor."
Aku meneguk salivaku. Sudah tahu maksud dari perkataan Pak Hendry.
"Saya mau kamu yang bantu-bantu Pak Ervan hari ini. Bisa kan, 'An?"
"Kenapa harus saya, Pak?"
"Karena kamu yang saya percaya bisa membantu beliau saat ini." Pak Hendry menghela napas. "Kalau yang lainnya, saya jamin mereka semua nggak akan fokus bekerja. Pada tebar pesona, berusaha menarik perhatian bos kita itu."
Aku sontak tertawa. Pak Hendry sendiri bisa melihat bagaimana perempuan-perempuan di kantor ini yang begitu memuja Ervan. Andai dia tahu mengenai aku yang juga masih menyimpan rasa pada CEO baru kami itu...
Baiklah, aku akan mengiyakan permintaan Pak Hendry. Lagi pula, siapa tahu nantinya aku punya kesempatan untuk berbicara dengan Ervan mengenai masalah pribadi kami ketika berada di luar kantor.
"Kamu harus mau ya, An? Saya nggak ada pilihan lain soalnya."
Aku mengangguk.
Setelah Pak Hendry kembali ke meja kerjanya di ujung sana, aku bangkit berdiri dan menuju ruangan CEO. Setelah masuk, Ervan yang sedang mengetik sesuatu di macbook yang berada di depannya, seketika berhenti dan menatapku lekat.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Oh, kamu yang diminta Pak Hendry buat gantiin tugasnya Maya hari ini?"
"Iya, Pak."
"Kenapa mesti kamu? Apa nggak ada yang lainnya?"
Apa segitunya dia tidak mau aku berada di dekatnya? Dadanya rasanya sesak. Tapi kenapa aku masih saja berharap padanya? Sudah tahu sikap yang ditunjukkannya padaku semenjak hari pertama dia menjabat sebagai CEO sama sekali tidak bersahabat.
Cinta memang terkadang membuat orang bodoh. Tak peduli betapa sakitnya berharap sendirian, namun tidak ada niat untuk menyerah.
"Saya juga nggak tahu kalau itu," balasku sambil berusaha untuk tetap tersenyum. "Tapi kalau Bapak keberatan, saya bisa minta yang lain untuk menggantikan saya."
"Hmmm. Ya udah lah, kamu aja dari pada harus nyari yang lain lagi. Lama. Ini ada banyak yang harus dikerjakan."
Ervan memintaku untuk mendekat dan menjelaskan apa saja yang harus aku kerjakan hari ini. Dia tampak serius berbicara, sedangkan aku agak gugup apalagi di saat lengannya yang tak sengaja bersentuhan dengan lenganku. Darahku berdesir.
"Kamu paham?" tanya Ervan setelah selesai menjelaskan setiap detail apa yang harus aku kerjakan.
"Paham, Pak."
"Ya sudah, sana keluar! Nanti semuanya harus selesai sebelum jam makan siang. Jam 2 siang nanti, kamu ikut nemenin saya meeting keluar."
Aku mengangguk. "Saya permisi keluar dulu."
Ervan berdehem.
"Anita?"
Baru beberapa langkah berjalan menuju pintu, Ervan memanggilku. Aku berbalik menghadap padanya kembali.
"Kenapa kamu nggak ikutin apa yang saya larang minggu kemarin?"
Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Tentu saja aku tahu apa mengerti apa yang tengah dibicarakannya. Setelah aku pikir, kenapa juga aku harus mengikuti apa yang dikatakannya? Sedangkan, dia hanya melakukan itu padaku tanpa alasan yang jelas. Yang lainnya, tak ada yang ditegur. Lagi pula, menurutku pakaian yang aku gunakan masih sopan.
Sekaligus, ini sebagai tanda kesalku padanya dengan cara tak menghiraukan ucapannya. Aku masih kesal mengingat kata yang keluar dari mulutnya kalau meeting dengan divisiku.
Aku berjalan mendekat ke arah mejanya. "Kalau boleh tahu, kenapa hanya saya saja yang Bapak tegur? Apa alasannya? Menurut saya, pakaian yang saya gunakan masih tergolong sopan."
"Ah, itu, nanti juga saya akan tegur yang lainnya," katanya berkilah.
Aku mencibir di dalam hati.
"Sebelumnya, Pak Arman sama sekali enggak keberatan dengan apa yang kami kenakan setiap harinya. Saya heran, kenapa Bapak jadi mengatur tentang bagaimana cara kami berpakaian?"
"Kamu lupa? Saya bos di sini. Saya bisa mengatur segalanya tentang karyawan saya termasuk cara berpakaian agar citra perusahaan terlihat baik juga di mata orang."
"Nggak ada omongan jelek sejauh ini."
"Kamu ini ngejawab terus. Kamu harusnya sadar dengan posisimu di sini? Kalau saya mau, saya bisa aja-- "
"Bisa apa? Bapak mau mecat saya? Silahkan kalau begitu! Saya akan dengan senang hati keluar dari perusahaan ini karena bete juga punya bos arrogant, galak dan suka semena-mena sama karyawan seperti saya." Aku juga bisa emosi kalau Ervan bertindak seenaknya saja. Kalau terus dibiarin, aku lama-kelamaan jadi makan hati.
Percaya lah, ini cuma gertakan saja. Di dalam hatiku, sungguh masih ingin terus melihat Ervan setiap harinya. Menyedihkan sekali karena hanya aku yang berharap ini.
"Maksud saya-- "
"Bapak punya dendam pribadi sama saya, ya?" tanyaku dengan mata menyipit. "Kalau iya, bukannya Bapak sendiri yang bilang untuk nggak campurin urusan pribadi dengan pekerjaan?"
***
Malas berdebat dengan Ervan, aku terpaksa mengikuti kemauannya untuk mampir ke salah satu pusat perbelanjaan terlebih dahulu. Dia membelikanku 10 potong celana sekaligus. Mentang-mentang punya banyak uang.
Dari sana, kami langsung menuju sebuah restoran mewah tempat Ervan dan kliennya bertemu.
Aku risih ketika klien yang aku dan Ervan temui itu tak henti-hentinya curi pandang padaku. Tatapan matanya padaku, aku bisa menilai dengan jelas bahwa lelaki itu tertarik kepadaku.
"Selanjutnya, nanti bisa komunikasi dengan sekretaris saya, Pak," ujar Ervan ramah pada lelaki yang kira-kira usianya sekitar 30 tahunan itu.
"Oh, baiklah kalau begitu." Lelaki itu beralih menatapku dengan mata berbinar. "Berapa nomor ponsel kamu, Anita? Saya, umm... sekretaris saya akan menghubungi kamu nantinya." Dia menyodorkan ponselnya padaku.
Ervan menepis tangan lelaki itu.
"Anita bukan sekretaris saya, Pak. Dia ini tunangan saya."
Aku melongo mendengar ucapan Ervan.
"Di kartu nama saya, ada nomor telepon kantor di sana. Nanti sekretaris saya yang akan menjawab telepon itu." Ervan merangkul bahuku, lalu mengecup keningku sekilas membuatku mematung. Tak mampu berbicara. "Saya sengaja mengajak tunangan saya ke sini karena habis ini kami akan pergi menonton bioskop bersama. Kencan. Kami akan kencan setelah ini."
Hingga tiba di mobil kembali, aku ingin bertanya, namun Ervan sudah mengeluarkan suara terlebih dahulu.
"Jangan ge-er buat yang tadi. Itu cuma cara saya lindungin kamu dari p****************g," ucapnya dingin.
"Hah?!" Aku sama sekali tidak ge-er, hanya saja agak kaget karena menerima perlakuan begitu darinya. Bagaimana pun, aku masih ada rasa padanya. Tentunya jantungku akan berdebar saat dia merangkul dan menciumku walau aku tahu maksudnya. Tidak mungkin tiba-tiba saja dia melakukan itu padaku tanpa alasan. Sedangkan selama ini dia tampak enggan aku berada di dekatnya.
"Saya jadi penasaran, gimana selama ini kamu menghadapi klien seperti itu?"
"Bukan urusan Bapak. Yang penting, saya bisa mengatasinya dengan baik."
Ervan tak menyahut lagi, dia menyalakan mesin mobilnya dan mulai mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang.
Hening.
Kami berdua tak berbicara lagi satu sama lain, sama seperti saat berangkat tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 17:15. Rasanya aku ingin langsung pulang saja kalau tidak ingat ada barangku yang ketinggalan di kantor. Ada file yang harus aku bawa pulang dan kerjakan di rumah. Hari ini aku sibuk membantu Ervan melakukan tugas Maya, jadi pekerjaanku sendiri ada yang belum terselesaikan.
Aku melirik Ervan yang tampak fokus menyetir. Mulutku terbuka, kemudian tertutup hingga beberapa kali, sampai aku punya keberanian untuk membahas kembali apa yang mengganjal di pikiranku selama 6 tahun belakangan ini.
"Kenapa berubah, Van? Apa aku ada salah sama kamu?" tanyaku tak mampu lagi membendung rasa penasaranku. Ini sudah di luar kantor dan bukan jam kerja lagi. Tak ada salahnya bukan jika aku membicarakan hal pribadi padanya?
Ervan menoleh sekilas, sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. "Pikir aja sendiri," jawabnya ketus.
"Aku nggak ngerasa melakukan kesalahan apa pun."
Ervan tersenyum sinis. "Munafik."
"Apa?! Kamu bilang apa barusan?"
"Telinga kamu masih berfungsi dengan baik, 'kan?"
Aku tertawa sumbang.
"Aku benar-benar nggak ngerti, Van. Kenapa kamu bisa bilang begitu? Tolong jelasin, salah aku di mana?"
Ketika Ervan membuka mulut hendak bersuara, ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Usai menyudahi pembicaraannya di telepon, Ervan berkata, "Sorry, sepertinya saya nggak bisa anterin kamu balik ke kantor. Kamu saya turunin habis lampu merah di depan. Ongkos taksinya nanti kamu reimburst aja ke kantor."
Tak lama, Ervan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Sebelum aku keluar membuka pintu, Ervan kembali bersuara.
"Masa lalu kita tolong jangan diungkit lagi. Saya dan kamu telah selesai sesaat sebelum saya melanjutkan kuliah keluar negeri saat itu. Kamu nggak lupa, bukan? Untuk sekarang, hubungan kita hanya sebatas bos dan karyawan aja. Kamu jangan ngelunjak karena merasa pernah punya hubungan spesial dengan saya dulu. Karena saat ini kamu tak lebih dari sekedar karyawan aja. Kamu sama aja dengan karyawan lainnya bagi saya, there is nothing special on you."