Pagi ini mentari bersinar terang. Satu persatu rombongan naik ke dalam bus. Bima selalu mengikuti gerak-gerik Tania, seolah tak ingin jauh darinya. Tania sengaja mengambil duduk di tengah kedua orangtuanya. Bima mengernyitkan dahi. Ia kecewa karena Tania terkesan menjaga jarak darinya.
Matahari mulai bergeser ke barat, akhirnya rombongan tiba juga di kota Medan. Mereka akan menginap satu malam di sini.
"Yaiii, kita sampai," teriak Tania kegirangan. Ia melompat dari pintu bis, tidak sabar ingin segera menjelajah kuliner khas Medan. Tania sudah punya sederet daftar makanan yang harus dicoba. Dari mulai mi aceh titi b****k, es koteng, durian ucok, bika ambon, dan jajanan khas tanah deli lainnya.
Setelah beristirahat sejenak di kamar, Tania dan Tanty ikut berkumpul di lobi utama. Pihak hotel menyediakan dua mobil tiga perempat untuk mengantar para tamunya ke tujuan masing-masing. Tania naik di mobil kedua bersama keluarganya. Bima yang harusnya berada di mobil pertama bersama Saras, bergeser ke mobil belakang meninggalakan Saras yang sudah terlebih dulu masuk ke dalam mobil.
"Masih muat?" tanyanya seraya membuka pintu kabin.
Sontak saja seisi mobil sibuk merapatkan duduk, mengosongkan satu kursi untuk Bima.
"Masih, Mas Bima, ini ada bangku kosong." ujar Tanty bergeser, memberikan satu kursi untuk Bima di sampingnya.
Bima mendongak, memastikan ada tempat duduk untuknya. Melihat ada kursi kosong, ia segera naik, "Terima kasih," ujarnya seraya duduk.
Semua mata tertuju padanya. Bagaimana tidak, bukankah harusnya dia bersama Saras di mobil pertama? Mengapa memilih naik di mobil kedua? Apa karena ingin bersama Tania?
Tania menoleh dan melempar senyum pada Bima. Bunda berdehem seolah mengingatkan Tania agar menjaga sikapnya. Tania menyipitkan matanya dan melirik bunda. Tidak sengaja matanya tertuju pada Dimas dan beberap pasang mata di mobil itu, mata mereka tertuju padanya seolah sedang menunggu pertunjukan sirkus yang menegangkan. Tania memutar bola matanya dan menoleh ke jendela kaca, ada rasa tidak enak di hatinya. Walau berusaha mengjindari Bima, tetap saja mata mereka seolah sedang menghakiminya layaknya plakor.
Bima tampak gelisah, bagaimana tidak? Otaknya terus berpikir agar bisa duduk di samping Tania. Sebuah ide pun muncul di kepalanya.
"Tania, boleh aku duduk dekat jendela?" ujarnya seraya setengah berdiri, memaksa Tania dan Tanti bergeser. Mobil elf yang mereka tumpangi mulai bergerak menenuju pintu keluar hotel.
Tanty bergeser ke ujung, mau bagaimana lagi, mana mungkin dia membantah Bima-anak komisaris perusahaan. Tania ikut bergeser, karena Bima memaksa duduk di pojok. Bima mengulum senyum melirik Tania. Lelaki bermata sipit itu tidak ambil pusing dengan mata yang terus mengawasinya curiga. Memenagnya siapa mereka berhak mengatur hidupnya? Tania melirik tepat saat Bima melirik. Keduanya melempar senyum lalu tersipu menahan rasa yang bergejolak di d**a.
"Kamu sudah pernah berkunjung ke sini?" tanya Bima memelankan suaranya.
"Belum. Ini yang pertama. Kak Bima sudah pernah?"
Bima tersenyum menoleh pada Tania, "Ibuku orang Medan, jadi aku sering bolak-balik ke sini."
"Ohya? Punya kebun jeruk, nggak?"
"Punya, donk. Tapi di Berastagi." jawab Bima berbohong. Kebun jeruk itu bukan miliknya melainkan milik bibiknya. Tapi demi bisa berduaan dengan Tania, ia rela berbohong.
"Berastagi? Dimana itu?"
"Di tanah Karo. Kalau dari sini, kira-kira dua jam naik mobil, kita akan sampai ke sana."
"Wah, kalau saja kita bisa ke sana, pasti seru banget memetik jeruk."
"Kamu mau ke sana?"
"Mau! Tapi, kita tidak punya agenda kesana, kan?"
"Tenang saja, itu bisa diatur. Malam ini, kita akan menginap di sini, bagaimana kalau kita manfaatkan waktu yang ada untuk pergi ke Berastagi?"
Tania membulatkan matanya, wajahnya semeringah menatap Bima. "Sungguh?" tanyannya.
Bima mengangguk meyakinkan Tania. "Ayo, kak Bima, aku mau!" ujarnya kegirangan.
"Ehem," Tanti berdehem yang sejak tadi menguping pembicaraan mereka.
Tania dan Bima acuh saja, walau mereka menyadari ada yang menguping obrolan mereka. Lagi pula, mereka tidak sedang membicarakan hal rahasia.
"Mba Tanti, mau ikut?" tanya Tania, menoleh. Tentu saja dia mengajak kakaknya itu, mana berani dia pergi berduaan dengan Bima. Kecuali tersesat lagi. Dan mustahil bukan, mereka mengaku tersesat untuk bisa berduaan lagi, apalagi tersesat lalu terdampar di kebun jeruk.
Tanti masih diam, seolah gengsi menyanggupi ajakan Tania. Walaupun dia sangat ingin ikut.
"Mau kemana, Tania? Ajak-ajak, donk!" celetuk Dimas yang duduk di kursi belakang.
"Ke Berastagi metik jeruk, mau ikut?"
"Mau, donk, kalau diajak!" jawab Dimas cengengesan.
"Nah, pas tuh, kita berangkat berempat!" ujar Bima.
Tania tersenyum girang menampakkan giginya yang berbaris rapi. Sesaat kemudian, ia menepuk pundak ayah dan memijatnya.
"Boleh ya, Yah?" tanyanya minta izin.
"Boleh, tapi jangan sampe nyasar lagi!" jawab ayah mengingatkan.
Sontak seisi mobil tertawa mengulum senyum, termasuk Bima dan Tania. Mata keduanya kembali saling curi pandang. Ada desiran indah yang terasa aneh menjalar di hati Tania. Dia berusah menepis rasa itu, tidak ingin menjadi orang ketiga diantara Bima dan Saras.
Bima meminta sopir meminggirkan mobil. Setelah Mobil berhenti, keempatnya berpamitan dan turun.
"Hati-hati di jalan, usahakan pulangnya jangan larut malam." pesan ayah pada Tania dan Tanti. Tapi, siapapun tahu, pesan itu ditujukan pada Bima, agar mengembalikan kedua putrinya sebelum tengah malam.
Setelah keempatnya turun, mobil kembali melanjutkan perjalanan mengantar rombongan menjelajah kota Medan sembari berburu kuliner dan oleh-oleh khas Medan.
Bima memesan taxi online dari aplikasi di ponselnya. Tidak lama menunggu, sebuah mobil berwarna putih, datang menghampiri. Dimas mempersilakan Bima duduk di depan. Tapi Bima menolak, ia ingin duduk di samping Tania dan mengobrol sepanjang perjalanan. Bima seperti candu berdekatan dengan Tania. Kapan pun ada kesempatan, dia pasti ingin mengobrol dan berduaan dengan gadis yang baru tiga hari di kenalnya itu.
Mobil melacu cukup kencang melintasi kota Medan. Tania menikmati perjalanan. Satu jam kemudian panorama alam pegunungan mulai terlihat. Jalana berkelok dan tikungan yang patah, sempat membuat Tania menahan napas untuk sesaat. Bima mengulum senyum melihat Tania yang setengah mabuk menahan mual karena jalan yang berkelok dan curam. Tapi, semua terbayar lunas dengan sajian pemandangan indah Tanah Karo. Dari lereng bukit, hamparan hijau di bawah langit biru terbentang indah.
Tanpa terasa, mereka sampai di tujuan. Bima mengarahkan mobil menuju kebun jeruk milik bibiknya. Biasanya saat siang begini, bibik dan kilanya selalu ada di sana.
"Waw, jeruknya banyak banget," Tania berdecak kagum saat memasuki kebun. Di sana terlihat pohon jeruk yang berbaris rapi sejauh mata memandang dengan buah yang ranum siap panen. Ingin sekali dia berlari ke pohon jeruk itu dan memetik buahnya yang mulai menguning. Tapi langkahnya terhenti saat seorang wanita paruh baya datang menghampiri.
"Sudah sampai kalian, Nakku?" sapanya mendekat.
"Sudah, bik. Ini kawan-kawanku." jawab Bima mengikuti dialeg bik Tekang, begitu dia bisa memanggilnya.
Tania, Tanty, dan Dimas segera memberi salam dan mengenalkan diri pada Bik Tekang.
"Yang mana calon istrimu, Bima?" tanya bik Tekang memperhatikan Tania dan Tanti bergantian.
Sontak Bima kebingungan menjawabnya. Tania menunduk, sesaat kemudian berpaling. Membuang tatapannya ke sekeliling kebun. Sekadar menyembunyikan rasa tidak enak di hatinya.
"Nggak ikut dia, Bik. Ada urusan yang nggak bisa dia tinggalkan." Bima memberi alibi.
Dimas, Tania, dan Tanti, hampir bersamaan melirik Bima. Alasan macam apa itu? Bima melirik Tania, entah apa arti tatapan itu, hanya dia yang tahu. Tania berjuang untuk tidak menatap mata Bima.
"Ow, ya sudah, tidak apa-apa. Ayo, petik jeruknya, yang mana kalian mau." ujar bik Tekang.
"Boleh, bik?" tanya Dimas bersemangat.
"Boleh, Nakku. Tapi, metik buahnya diputar, ya. Jangan di tarik."
"Siap, Bik." jawab mereka hampir bersamaan.
Mereka mengambil kresek yang sudah disiapkan, lalu mulai berkeliling mencari jeruk yang matang.
"Kenapa tadi tidak ngajak Mbak Saras sekalian?" tanya Tania saat Bima memetik jeruk di sampingnya.
"Pertanyaan macam apa itu?" tanya Bima balik.
Tania menghela napas, perasaannya kacau. Matanya lekat memandang Bima. Dia tidak mengerti dengan perasaannya. Semua serba salah.
Antara senag dan takut bergantian menyelinap di hatinya. Senang karena bisa bebes bersama Bima tanpa ada Saras yang menggangu. Tapi, dia juga takut jatuh cinta beneran pada Bima. Bagaimana nasib cintanya jika lelaki yang dicintainya sebulan lagi akan mengikat janji dengan wanita lain?