Rumaisha terbangun dengan mata yang terasa agak berat. Semalam Gaza minta tidur dengan Papanya, sementara pria itu tampak begitu sibuk menenangkan bayi besarnya yang uring-uringan karena menolak tidur di kamar belakang. Romeo bahkan hilang akal saat Julietnya melempar apapun dengan alasan gerah.
"Rum, tukeran, dong. Aku yang tidur di kamar utama."
Teringat Letia mendatanginya saat dirinya tengah menemani Gaza bermain di belakang rumah. Meminta ganti posisi kamar tanpa rasa malu, sore kemarin. Seminggu sudah Letia datang ke rumah ini, rupanya dia tak kunjung beradaptasi, sikapnya masih sama. Sombong, angkuh dan manja.
"Kamu dan anakmu yang pantas tidur di kamar pembantu. Anakmu yang sumbing itu tidak pantas tidur di kamar utama," ejeknya makin tengil.
"Apa katamu?' Mata Rumaisha membesar. Dia selalu punya energi untuk melawan siapapun yang menghina putranya. Begitulah seorang ibu.
"Sumb...."
Plak.
Plak.
Rumaisha menatap perempuan rendah attitude yang tengah mengaduh karena tamparannya itu dengan dingin.
"Panggil Arka. Katakan aku telah menamparmu."
"Sialan." Letia menghentakkan kaki gusar. Dia ingin melawan tapi perutnya yang sudah membesar, tak memungkinkan dirinya berkelahi. Nanti saja, kalau Arka pulang kerja. Letia akan mengadukan semua kelakuan Rumaisha terhadap dirinya
"Tunggu pembalasanku." Letia mengancam.
"Lakukan. Jangankan cuma dirimu, harimau pun kalau sudah merendahkan harga diri anakku, aku lawan."
"Papa...." Suara Gaza mengigau. Tangan mungilnya bergerak- gerak seperti mencari seseorang.
"Papa," panggil bocah itu tidak berhenti memanggil Arka.
"Mama, mana Papa?" Gaza mengangkat kepalanya yang masih ngantuk saat tangan mungilnya tidak berhasil menemukan papanya.
"Kamu ingin papa?" Rumaisha yang baru saja menyelesaikan tadarus Al- Quran mendekati Gaza. Mengusapnya dengan lembut. Mata mungil itu mengerjap dalam kantuknya.
"Papa kemana, Ma?" Gaza kembali menanyakan Arka.
"Papa ada di kamar belakang. Gaza ingin tidur sama papa?"
Gaza mengangguk lugu.
"Baik, Sayang. Tunggu sebentar." Rumaisha merapikan hijabnya.
Dirinya sedang dalam fase tidak ingin melihat putranya menangis. Cukup sudah perceraian yang melukai hati Gaza, jangan ada hal lainnya. Lagi pula apa yang Gaza inginkan adalah hal yang paling wajar diminta seorang anak. Memeluk papa dan mama adalah hal yang selayaknya seorang anak dapatkan. Cukup kata talak itu menjauhkan dirinya dan Arka, bukan menjauhkan Arka dan Gaza.
Setelah menenangkan putranya dan memakai hijab dengan benar, Rumaisha membuka pintu kamar. Gema adzan subuh sudah berhenti menyisakan hening. Hati Rumaisha berdebar pelan, teringat sebelum kehadiran Letia, jam segini biasanya Arka sudah kembali dari mesjid sambil membawakan cemilan atau sarapan dari jalan yang di laluinya. Arka tahu dirinya suka nasi uduk, Arka begitu sering membelinya, bahkan pria tahu selera nya yang sangat suka sambal kacang.
Tak ada yang kurang dengan pria itu. Meski dia tidak hangat dan manis, tapi dia suami yang bertanggung jawab. Bahkan jika melihat Rumaisha sibuk di dapur, dia tidak segan membantunya meski hanya sekedar ikut memotong sayuran. Sampai Letia hadir, sampai segalanya berubah.
Kesalahan terbesar yang Arka lakukan adalah kembali pada Lestia dan menciptakan racun dalam pernikahan nya dengan Rumaisha.
Rumaisha menghembuskan nafas sedikit keras, laki- laki memang seperti itu. Menganggap wanita masa lalu lebih baik dan istri dan anaknya. Padahal pada kenyataannya mahligai kedua tidak selamanya manis.
Suara langkah kaki Rumaisha terdengar jelas saat melewati heningnya ruangan. Rumah ini sebetulnya cukup luas meski tidak terlalu besar. Selain kamar tidur yang ditempat Rumaisha, sebetulnya masih ada dua kamar tidur lagi, hanya saja kondisinya kurang bagus karena bocor. Rencana untuk renovasi hanyalah rencana, saat Arka menghabiskan uang tabungannya untuk memenuhi selera dan gaya hidup Letia yang luar biasa.
"Rumaisha?" Arka yang kebetulan berada di ruang tengah tampak kaget saat menyadari kehadiran Rumaisha. Entah apa yang akan dilakukan Arka di ruang tengah ini.
"Mas," panggil Rumaisha hati- hati.
"Iya, Rum." Arka menjawab pendek.
"Gaza memanggilmu. Dia ingin tidur bersamamu." Rumaisha melanjutkan katanya.
"Tidurlah, bersama Gaza. Temani dia walau sebentar. Biar aku tunggu di sini." Seperti sadar kalau diantara mereka sudah tidak ada lagi ikatan, Rumaisha menjelaskan tanpa di minta.
"Gaza ingin tidur bersamaku?" Arka tampak bimbang.
"Betul, Mas. Dia memanggil namamu."
Arka mengusap wajahnya dengan kasar. Jelas gelisah terpatri di wajah tampannya.
"Rum...."
"Kenapa, Mas?"
"Maaf, aku tidak bisa. Letia dari semalam tidak mau tidur. Dia ingin aku ada di sisinya." Arka tampak tidak enak hati. Matanya tidak berani menatap wajah Rumaisha.
"Dia ingin aku membawakan air panas dalam botol. Dia ingin aku memijit kakinya dan tidak....."
"Mas, sebentar saja. Aku mohon." Rumaisha menghiba.
"Dari kemarin, Gaza tidur gelisah. Aku ikhlas akan talakmu, aku menerima semua suratan takdirku dengan senyum. Aku hanya mohon satu hal, kau tetaplah ada untuk Gaza." Rumaisha kembali memohon.
"Aku tak akan mati karena luka. Tapi Gaza...dia belum layak mendapatkan air mata atas kesalahan kedua orang tuanya." Rumaisha berdesis pelan.
"Rumaisha...maafkan jika ini berat bagimu. Tapi mulai sekarang, ajarkan Gaza untuk tidak terikat denganku. Aku ingin fokus menemani Letia. Aku ingin fokus menunggu kelahiran buah hati ku dari rahimnya."
Deg.
"Mas, walau hanya sebentar?"
Arka mengangguk.
"Aku tidak mau, kalau Gaza semakin sulit lepas dariku. Aku tidak ingin konsentrasiku menemani Letia terganggu. Aku tidak ingin....."
"Cukup, Mas." Suara Rumaisha meninggi. Matanya seketika berkaca, tubuh Rumaisha mundur ke belakang
"Cukup, Mas. Tidak usah dilanjutkan." Rumaisha menyeka air mata. Sakit sekali mendapati Gaza sama sekali tidak berharga di mata Arka, pria bergelar ayah.
"Aku pikir setelah aku dicampakkan begitu saja, masih tersisa di hatimu sedikit saja ruang untuk kehadiran Gaza. Ternyata aku salah besar. Bodohnya aku... Seharusnya aku dari awal mengerti, bahwa aku dan Gaza tidak pernah berarti bagimu." Suara Rumaisha tertahan. Ada yang tak kuasa dia tahan berloncatan dari sudut matanya.
"Maafkan aku, Rum...."
Rumaisha hanya. mengangguk. Tak ada gunanya terus memohon. Dengan hati yang patah, ia menyeret langkah kembali masuk ke dalam kamar.
"Mama, Papa nya mana?" Gaza tampak menunggu penuh harap di atas kasur, menatapnya tak berkedip. Tatap penuh harap seorang anak yang hari-harinya biasa sepi, berharap bisa dipeluk Papanya walau hanya sebentar.
"Maafkan Mama, Nak...." Rumaisha memeluk tubuh Gaza yang tengah menanti sosok ayahnya. Tumpah sudah tangisnya di punggung mungil Gaza.
"Sayang, ayok kita pergi...."