Setelah Cerai (4)

1199 Kata
Mengapa perceraian itu harus ada, jika pada kenyataannya tak semanis dan seindah bayangan. Mengapa harus ada kata perpisahan, kalau akhirnya banyak hati yang terluka. *** "Rumaisha, aku mohon jangan pergi." Suara Arka terbata- bata. "Aku tahu kisah kita telah selesai. Tak ada lagi yang ikatan diantara kita. Hanya saja...." Arka menatap rembesan air di sudut kamar. Rencananya besok Rumaisha akan memanggil tukang. Sebatang pohon jatuh tadi pagi, sepertinya membuat genting menjadi bocor. Rembesan yang begitu deras mengingatkan pada sudut mata Rumaisha, sebanyak itukah luka yang dia rasakan? Bahkan hanya untuk menggeleng dan membela diri pun dia tak mampu. Arka mendesah, jahatnya aku. "Bukankah Selama Iddah, kau harus ada di rumah ini?" Kembali Arka membuka suara. Mata dalamnya menatap lekat ke arah wajah perempuan yang terlihat tengah memperhatikan pantulan kilat yang menerawang di jendela kamar. Akankah dia takut pergi menembus cahaya dan gelegar guntur dalam guyuran hujan yang masih deras? Arka yakin, Rumaisha tidak memikirkan itu, langit gelap atau tenang dia akan segera pergi. perempuan yang hatinya terluka dan berdarah tidak takut apapun, itu yang dirinya tangkap dari raut wajah Rumaisha yang terus menatap jendela, menatap rintik hujan yang tidak kunjung berhenti. Atau bahkan mungkin Rumaisha lebih senang pergi di bawah hujan, karena dia tidak harus menjelaskan kepada semua orang mengapa ada air mata di kedua kelopak matanya. Bukankah dengan tetesan air hujan, orang tidak akan tahu betapa dalam kesedihan yang tengah dia rasakan. "Masa Iddah? Aku harus tinggal di sini?" Rumaisha seperti baru tersadar. Ah, seharusnya iya. Bagaimana mungkin, wanita yang selama ini berjuang agar tidak melanggar syariat bisa abai hal ini? Resah Rumaisha menatap tas dan koper besar yang sudah dia siapkan hanya sesaat usai talak Arka jatuh padanya. "Kamu belum boleh pergi, sampai masa iddahmu habis." Tololnya aku, bukankah aku yang meminta perempuan berwajah sendu itu menjauh, desis Arka menyesali kecerobohannya yang menyuruh Rumaisha pergi begitu saja. Seperti orang baru tersadar, Rumaisha celingukan. Otaknya yang kacau sulit menerima kalau selama masa Iddah dia tetap harus di sini. Bersama pria yang dengan wajah penuh keyakinan memberinya talak tanpa perasaan. Dia ingin pergi begitu jauh. Kalau bisa ke dasar lautan agar apapun tentang Arka dan pernikahan mereka yang kandas hilang tertiup masa. "Mama, aku tidak mau pergi." Gaza memeluk kaki ibunya dengan mata berkaca. "Aku ingin bersama Papa." Suara kecil Gaza terdengar sedih. Rumaisha tahu, tak akan mudah bagi putranya pergi ke tempat baru dengan orang baru, otak kecilnya berkata ada yang kurang dari dirinya. Otak kecilnya yang polos merasa bahwa tidak semua orang dewasa bijaksana memahami kekurangan dirinya, bahkan tak segan diantara mereka ada yang mengoloknya . Ingat itu, hati Rumaisha selalu berdenyut nyeri. "Gaza ...." Rumaisha menarik tubuhnya agar sejajar dengan putranya. Menatap manik bola bening itu dengan perasaan yang makin kacau. "Mengapa kamu tidak mau pergi bersama Mama?" "Aku ingin bersama Papa. Jika mainananku ada yang patah, Papa akan membetulkannya. Papa hebat." "Gaza, kamu belum mengerti apa-apa." Rumaisha mendesah sedih, memeluk tubuh mungil putranya. Ingin dia menggeleng dan menjelaskan, tapi tahu apa bocah itu tentang badai yang sedang menerjang mahligai rumah tangga papa dan mamanya.Tahu apa bocah itu kalau dalam hati papanya ada sosok lain yang sangat berharga, selain wanita yang selama ini dia panggil Mama. "Mama bisa membetulkan robotmu yang patah." Rumaisha membujuk. "Mama juga bisa membetulkan mobil mainanmu yang rusak. Mama bisa melakukan apapun demi ku, Nak." Rumaisha menahan tangis. Sadar, bagi seorang anak laki- laki, ayah adalah matahari yang membuat hidupnya lebih berwarna dan bercahaya. Bagi seorang Gaza, betapapun Arka tak perduli, dia adalah sosok yang luar biasa di matanya. Hati polosnya belum bisa mencerna kalau di luaran sana begitu banyak pria hebat yang mencintai anaknya setulus hati. "Papa lebih jago dari Mama. Lihat, robotku bagus." Gaza yang biasa penurut menggeleng. Rumaisha menghela nafas. Sedih. "Kita harus bicara, Mas." *** Suasana ruang tengah mendadak terasa tegang. Wajah Rumaisha tampak memerah. "Aku sudah mengatakan, jangan membuat jiwa anakku makin sengsara. Gaza menolak berpisah denganmu, di saat pernikahan kita sudah hancur." Rumaisha menatap Arka dengan tatapan kecewa. Ah, mengapa begitu pandainya kau membuat aku dan Gaza menangis? Bahkan sesaat sebelum.aku pergi. Rumaisha menghapus butir air mata yang selalu begitu saja keluar. "Aku tidak melarangmu menyayangi Gaza. Engkau papanya. Tapi...." "Maafkan aku, Rum." Arka menjawab lirih. "Untuk apa kau tiba- tiba bersikap manis pada Gaza sesaat setelah pernikahan kita kandas?" Rumaisha protes. Arka terdiam, sesaat kemudian menjawab. "Aku ingin Gaza bahagia." "Apa, Mas?" "Aku ingin Gaza, anakku, bahagia." Arka mengulang katanya. Entahlah, dia juga tidak yakin dengan jawabannya. Jawaban yang manis tapi t***l. Ingin Gaza bahagia dengan melempar ibunya dengan pengkhianatan cinta. Tidak lucu. "Bahagia? Kamu ingin Gaza bahagia?" Seperti dugaan Arka, Rumaisha tertawa pahit. Pelan tapi terasa cukup untuk menampar jiwa Arka yang selama ini angkuh. "Dengar, Mas. Tak ada perceraian yang membuat seorang anak bahagia." "Tak ada perpisahan yang membuat hari seorang anak berwarna. Perpisahan kalau tidak memberikan luka dia akan memberikan lara." Rumaisha menghela nafas, melirik ke arah kamar utama di mana dia meminta Gaza menunggu. Ada pembicaraan yang harus dia selesaikan dengan Arka. Setelah bertahun- tahun Rumaisha tidak pernah membantah, kini saatnya dia membuka mata pria itu, kalau cara dia menempatkan dirinya dan Gaza itu salah. " Kau seorang ayah, seharusnya kau faham definisi bahagia bagi seoran anak. Harusnya kau mengerti bahwa membahagiakan anak dengan memberikan perceraian adalah ketololan yang hakiki." "Rum?" Arka tersedak. Belum pernah dirinya mendengar kata seperti itu dari bibir Rumaisha. Ketololan yang hakiki, manis sekali kedengarannya. Arka tersenyum kecut . " Kau berani mengatakan aku pria t***l, Rumaisha?" Arka maju, sejujurnya dia tersinggung di katakan pria t***l. " Lalu aku harus menyebutmu apa? Pria yang berteriak tentang kata bahagia dengan cara mencampakkan aku dan anakmu, laksana barang tak layak pakai?" "Cukup, Rumaisha. Cukup." Arka mendekat. Tangannya terulur di udara, seolah ingin memberi tanda kalau dia menyerah dan mengakui segala salahnya. Entahlah. "Letia." Kembali panggilan video di layar ponsel Arka, nada deringnya terdengar jelas di ruangan yang sepi. Arka mundur, hendak menjawab telepon di tempat yang jauh dari Rumaisha. "Jangan pergi, Mas. Aku ingin mendengar apa kata istrimu?" Rumaisha menggigit bibir, sakit sekali mengatakan kata istrimu. Betul, Letia lah istri pria yang begitu dicintainya. "Belum ....Rumaisha masih di sini." Arka menjawab pelan. "Apa?" Letia mendelik di seberang sana. "Dia masih massa Iddah. Dia masih tinggal di sini." Arka menjelaskan. Meski terlihat jengkel dengan nada bicara Letia, tapi Rumaisha menangkap nyala cinta di matanya untuk Letia begitu besar. Nyala cinta yang tidak pernah dia dapatkan selama ini. Nyala cinta yang bagi dirinya hanyalah mimpi. "Kalau begitu, suruh Rumaisha dan anaknya yang sumbing tidur di kamar pembantu." Tanpa Tedeng aling- Aling, Letiaemberi perintah. Laganya persis nyonya besar, membuat Rumaisha sangat muak. "Hey, kamu ...!" Letia melotot ke arah Rumaisha yang kehadirannya terlihat di layar ponselnya. "Perempuan tak tahu diri, mengapa tidak pergi?" Letia menghardik. Rumaisha tersenyum misterius. Sikap angkuh Letia membuatnya berubah pikiran. "Aku tidak akan pergi. Aku juga tidak akan membawa anakku tidur di kamar belakang. Kalau kamu mau ke mari, Letia...." Rumaisha tersenyum dingin. "Kamulah yang harus tidur di kamar belakang. Di kamar pembantu." Apa? Letia membeliak. Tapi Rumaisha hanya melengos, tak sedikitpun hirau saat Letia mengoceh panjang pendek dengan penuh murka. Setelah cerai, segalanya berubah bukan? Pun, hari ini, Rumaisha bertekad akan menjadi ratu untuk hidupnya dan Gaza.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN