Alur maju—mundur...
"Nggak usah hubungin gue lagi. Lo cuma buang-buang waktu aja ngarepin seseorang yang sama sekali nggak mempunyai perasaan apa pun sama lo."
"Ray... " cicit Livya pelan.
Livya tersenyum getir di seberang sana. Kemudian dia menggigit bibir bawahnya menahan agar tangisnya tidak pecah saat ini juga.
"Ta-pi... kenapa Ray?"
Livya sudah banyak mengubah kebiasaannya demi Ray. Kata Ray, dia tidak menyukai perempuan yang manja dan cengeng. Dan Livya juga yang biasanya ceria, namun cengeng itu--berusaha untuk tidak menangis setiap kali mendapatkan kesulitan. Bukan itu saja, ada hal lain juga yang Livya ubah demi bisa bersama dengan seorang Ray Pamungkas.
Namun, hingga memasuki tahun kedua dirinya menempuh pendidikan di negara super power, sikap Ray padanya tetap tidak berubah. Enam bulan yang lalu, Livya menyempatkan diri untuk pulang hanya demi bertemu dengan lelaki itu. Livya sedikit senang, Ray pada suatu hari mau menghabiskan waktu bersamanya. Hanya sehari saja, setelah itu Ray banyak beralasan hingga Livya kembali ke Amerika karena harus melanjutkan study-nya.
Bukannya karena tidak ada laki-laki yang menyukainya. Hanya saja, di mata Livya hanya Ray satu-satunya lelaki yang membuatnya jatuh hati berkali-kali. Sejak SMP hingga beranjak kuliah, perasaan Livya kepada Ray tidak pernah berubah.
Livya memejamkan matanya--mengingat kembali alasannya mengapa begitu menyukai lelaki yang sudah kali kedua menolaknya itu. Saat kali pertama bertemu Ray setelah pemakaman neneknya kala itu.
"Kenapa nangis?"
Livya mendongak di saat melihat seorang anak lelaki kecil duduk di sebelahnya. Perempuan itu menyeka air matanya perlahan.
"Aku sedih. Nenekku baru aja meninggal. Aku sayang banget sama nenek, kenapa nenek malah pergi ninggalin aku? Kalau mama dan papa sedang pergi tanpa aku, siapa lagi yang ngajak aku main? Si Bibi enggak asik."
"Udah takdir," ujar bocah lelaki itu cepat.
Livya kembali menangis kencang. "Kenapa takdir kayak gini? Aku mau nenek tetap hidup. Huwaaa... "
Bocah lelaki yang bernama Ray itu tampak panik melihat perempuan yang di sebelahnya itu kembali menangis. Ray ke tempat ini bersama sang kakek yang mengunjungi pemakamam temannya. Ray meminta untuk ikut karena merasa bosan berada di dalam rumah. Namun, terlalu lama di dalam makam membuat Ray jenuh , diam-diam bocah kelas 5 SD itu beranjak pergi keluar area makam--hendak menunggu di mobil saja. Ada pak sopirnya yang tidak ikut masuk ke dalam makam dan menunggu di mobil. Akan tetapi, melihat seorang anak perempuan yang duduk sendirian tidak jauh dari mobil kakeknya terparkir, entah dorongan dari mana, Ray malah menghampiri bocah perempuan itu.
Ray ingat, dia memiliki satu lolipop berbentuk hati dari asisten rumah tangganya tadi. Ray yang awalnya meminta tolong dibelikan karena ingin memberikannya kepada anak tetangganya yang baru berusia 3 tahun. Ray gemas melihatnya yang lucu bak boneka, namun gadis kecil itu seringkali menangis jika Ray menghampiri. Makanya, Ray berniat memberinya lolipop agar mau di dekati olehnya. Ray mendambakan seorang adik perempuan.
Setelah menimang-nimang, Ray akhirnya mengeluarkan lolipop tersebut dari saku celananya.
"Ini buat kamu." Ray menyodorkan lolipop tersebut untuk gadis kecil yang berada di sebelahnya itu.
Livya menoleh, tangisnya reda seketika melihat lolipop di tangan Ray.
"Kamu kok tahu kalau aku suka lolipop berbentuk hati begitu?"
Ray bengong. Mana dia tahu kalau gadis itu menyukai lolipop. Ray memberikan lolipop itu karena berusaha untuk membuat gadis itu berhenti menangis.
Livya menyeka air matanya, lalu mengambil lolipop tersebut. "Terima kasih," ucapnya sembari tersenyum. Dengan cepat, membuka plastik lolipop dan memakannnya sebelum kedua orang tuanya melihat. Karena kedua orang tuanya melarang Livya memakan itu, hanya neneknya yang diam-diam suka memberi Livya lolipop itu.
Ray lega karena gadis kecil itu sekarang sudah tidak menangis lagi. Tak lama, Ray dipanggil oleh sopir kakeknya yang melihat lelaki itu duduk bersama anak kecil lainnya di luar makam.
Pertemuan singkat dengan Ray masih terekam jelas dalam benak Livya. Hingga dia bertemu lagi dengan lelaki itu pada saat SMP. Mereka sekolah di tempat yang sama. Dan Livya mulai jatuh hati kepada lelaki itu dari hari-hari karena semua hal yang ada pada diri lelaki itu. Livya yang beranjak remaja mulai mengenal apa artinya cinta.
"Lo itu cantik dan punya segalanya. Seharusnya lo nggak ngejar-ngejar cowok kayak begini! Di mana harga diri lo, hah?!"
Livya tersentak akan lamunannya. Kata-kata Ray begitu menyakitinya. Perempuan itu sadar, namun dia tidak bisa menghilangkan perasaannya begitu saja kepada Ray.
"Kasih gue alasan yang tepat kenapa gue mesti berhenti? Apa ada seseorang yang lo suka?"
Ray berdecak untuk ke sekian kalinya.
"Lo... apa lo suka sama Anita? Apa, kalian sekarang berpacaran?" Livya ingat apa yang dikatakan Ervan beberapa hari yang lalu.
"Lo nggak berhak tahu apa pun mengenai urusan pribadi gue." Ray mematikan sambungan teleponnya.
Livya menatap layar ponselnya di mana wallpaper di sana menunjukkan fotonya berdua dengan Ray di hari kelulusan mereka. Ray sama sekali tidak tersenyum di dalam foto tersebut. Livya tersenyum kecut. Ternyata beberapa hal yang dilakukan Ray padanya sejak dulu, bukan karena lelaki itu memiliki sedikit rasa padanya.
Ray pernah menjemput Livya hujan-hujanan di sekolah. Ray yang melindungi Livya dari lelaki yang ingin melecehkan perempuan itu dengan memukuli orang tersebut hingga sempat di-skors dari sekolah. Ray yang mengatakan Livya cengeng, namun tetap memberikan pelukan kepada perempuan itu untuk menenangkan kesedihan yang Livya rasakan di saat ingat akan neneknya yang sudah meninggal. Ray yang marah di saat Livya di-bully oleh beberapa orang siswa perempuan karena iri dengan paras cantik dan kepintaran yang Livya miliki.
Bagaimana Livya tidak jatuh hati kepada lelaki itu?
Hingga Livya menyadari jika Ray hanya iba kepadanya, karena lelaki itu lebih sering menunjukkan sikap dingin kepadanya.
Livya menyeka sudut matanya yang mulai berair.
"Apa ini saatnya gue berhenti mengejar Ray?"
***
Beberapa hari yang lalu, Livya menelepon Ray karena ingin memastikan berita yang didapatkannya dari Ervan. Tentang Ray yang saat ini sedang menjalin hubungan dengan Anita, gadis yang masih sangat Ervan cintai. Livya tak percaya, makanya perempuan itu menelepon Ray. Jawaban dari Ray malah membuat Livya kecewa. Ingin memastikan dengan menelepon Anita, namun Ervan tiba-tiba datang ke unit apartemennya. Lelaki itu melarang Livya menghubungi Anita. Livya bingung. Livya ingat kata-kata Ervan waktu itu di area kampus, sebelum menelepon Ray.
"Yang satu pembohong dan satu lagi pengkhianat!" seru Ervan tampak kesal.
"Lo yakin mereka berdua selingkuh?" tanya Livya tak percaya setelah Ervan menceritakan segalanya dan memperlihatkan foto dan video kedua orang itu.
"Menurut lo?"
"Gue nggak yakin Ray nusuk lo dari belakang. Dan dia kan gitu, dingin sama cewek."
"Entahlah, gue sendiri bingung."
"Nggak tanya langsung sama mereka?"
"Maling mana ada yang mau ngaku," jawab Ervan kesal. "Gue udah tanya teman gue kemarin, katanya video dan foto itu bukan editan."
Terdengar helaan napas dari Livya.
"Ray gue nggak mungkin khianatin temannya sendiri."
Ervan berdecih.
"Bela aja terus cowok favorit lo itu! Gimana pun dia juga, lo pasti selalu ada di pihak dia," dengus Ervan tampak kesal, lalu bangkit berdiri.
Livya menghela napas menatap punggung sahabatnya yang mulai beranjak pergi tersebut.
"Bukannya gitu, Van. Ray berarti banget bagi gue. Lo nggak akan ngerti apa yang gimana perasaan gue sesungguhnya sama dia. Dan ya... sulit rasanya bagi gue nerima dia yang selama ini cuek sama cewek, tiba-tiba aja menjalin hubungan dengan seseorang yang dicintai sahabatnya sendiri," gumam Livya.
Walau Ray seringkali bersikap ketus kepadanya, namun Livya masih ragu jika Ray tega merebut perempuan yang dicintai oleh Ervan. Akan tetapi, tak lama setelah kepergian Ervan dari unit apartemennya, Livya mendapatkan pesan dari Ray yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Pesan beserta foto yang dikirim oleh lelaki itu. Di sana tampak Ray sedang merangkul Anita dan keduanya tersenyum bahagia ke arah kamera. Apa Anita tak lagi setia menunggu Ervan? Livya bertanya-tanya. Livya tahu betapa besarnya cinta Anita untuk Ervan karena dia juga dekat dengan perempuan itu.
Ray
Nggak usah ganggu kita yang lagi jauh di sini
Lo urus aja si Ervan, sahabat lo dari kecil itu
Berdua di negara orang yang bebas...
Gue enggak yakin kalau lo berdua enggak ngapa-ngapain hahaha
Biar Anita buat gue aja
Livya mendesah kecewa. Tentu dia tak akan memberitahu hal ini kepada Ervan, karena tak ingin membuat sahabatnya itu bertambah marah dan kesal. Livya beralih pada sebuah room chat lainnya, tanpa membalas pesan Ray. Perempuan itu malah memilih untuk membalas chat lelaki lain yang belakangan ini tampak serius mendekatinya.
***
Livya berusaha membuka hati untuk dekat dengan lelaki lain usai patah hati kesekian kalinya disebabkan oleh Ray. Sejak sekolah hingga kuliah di luar negeri, memang ada banyak yang mendekati Livya. Bersama sahabatnya--Ervan, Livya ikut bergabung dengan perkumpulan mahasiswa asal Indonesia. Livya pikir, selain sibuk dengan study-nya, dia harus menemukan seseorang agar perlahan bisa melupakan sosok Ray. Kadang di kala sendiri, Livya merasa butuh sosok seseorang yang benar-benar bisa dijadikannya sebagai sandaran.
Ervan bisa dibilang adalah sosok sahabat yang mengerti akan Livya. Mereka berteman dari kecil. Beda dengan Ray, yang mana mereka bertiga dekat dari SMP. Setelah Ervan berpacaran dengan Anita waktu SMA, Livya tetap bersahabat dengan Ervan, tetap suka bercanda dan bercerita, namun membatasi dirinya untuk tidak terlalu dekat sekali. Ada hati Anita yang harus dijaga perempuan itu, yang tak lain adalah perempuan yang dicintai Ervan.
Saat ini, Ervan dan Livya sama-sama sedang patah hati. Livya tetap fokus dengan pendidikannya, selain dekat seseorang yang juga keturunan Indonesia. Livya berharap orang itu benar-benar tulus dengannya dan bisa saling mendukung satu sama lain. Terutama menjadi sandaran ketika dirinya merasa sedih.