"Mungkin Ervannya sedang sibuk, An. Fokus belajar dan kegiatan lain di sana," ujar Ray berusaha menenangkan Anita yang belakangan ini sering mengeluh sedih kepadanya.
Ray berusaha untuk selalu ada untuk Anita--akan siap siaga tatkala perempuan itu membutuhkan sebuah pertolongan. Dengan cepat, Ray akan mengulurkan tangannya. Mengambil kesempatan mendekati perempuan berwajah mungil nan manis itu di saat lelaki yang dicintainya berada jauh di Amerika sana. Ray berharap Anita bergantung kepadanya. Dia berharap menjadi pengganti Ervan di sisi perempuan itu, selamanya. Tetap berempati terhadap kesedihan yang dirasakan Anita, padahal dia tahu persis permasalahannya. Dirinya sendiri yang membuat hubungan kedua orang yang saling mencintai itu merenggang, bahkan sampai putus komunikasi.
"Tapi enggak biasanya kayak gini, Ray. Sesibuk-sibuknya dia, pasti selalu nyempetin untuk kabarin gue."
Ray mengedikkan bahunya. "Gue juga nggak tahu, sih. Gue udah coba hubungin dia juga enggak bisa. Terus Livya juga samanya."
"Iya. Livya juga enggak bisa gue hubungin. Apa dia ganti kartu, ya?" terka Anita. "Tapi, Ray, gue juga email keduanya pun, sama. Mereka enggak bales email gue. Livya kan juga sempat bikin IG sebelum ke luar negeri, pas gue coba kirim DM, enggak dibaca."
"Yaa... mungkin mereka berdua emang lagi nggak mau diganggu kali?"
Anita menundukkan kepalanya, sedih.
"Segitu sibuknya ya, mereka?" Anita tersenyum miris. "Padahal gue cuma pengen tahu kabar mereka aja, Ray. Gue pengen ke rumahnya Ervan, enggak enak sama orang tuanya. Apa alasan gue coba? Karena Ervan nggak ada hubungin gue?" Perempuan itu tertawa sumbang. "Emang sih, orang tuanya baik sama gue, merestui hubungan gue sama anaknya, tapi... gue enggak mau mesti libatin keluarga hanya karena perihal komunikasi gue sama anak mereka yang tersendat. Mereka tahu anak bungsunya itu menuntut ilmu jauh di negara orang, masa iya perihal cinta-cintaan begini gue ngadu? Gue sama Ervan belum ada ikatan resmi, Ray. Kecuali kita berdua udah tunangan paling tidak."
Ray menghela napas, dia menggeser posisi duduknya di dekat Anita, lalu menepuk-nepuk pelan bahu perempuan itu. "Yang sabar ya, An. Jangan sedih terus karena Ervan nggak mungkin lupain lo begitu aja." Ray tersenyum. "Masih ada gue di sini dan... lo bisa cerita apa pun sama gue. Umm... anggap aja gue sebagai pengganti Ervan di sini."
Anita mendongak.
"Maksud gue, lo bisa andelin gue karena gue ini sahabat baiknya Ervan. Nggak usah segan jika butuh bantuan atau apa pun. Demi Ervan, sahabat gue dari SMP itu, gue akan bantu jaga dan lindungi perempuan yang dicintainya di sini. Itu juga pesan Ervan yang dibilangin Ervan ke gue, dia minta gue selalu jagain elo di sini."
***
Ervan telah kembali ke Amerika setelah mendapat telepon dari Livya. Masih dalam masa berkabung atas meninggalnya kakak semata wayangnya, sekarang Ervan malah dihadapkan pada hal lain. Livya diperkosa.
Sibuk dengan lukanya sendiri dan merasa hancur hingga mendapatakan info tentang kecelakaan sang kakak yang nyawanya tidak dapat tertolong lagi, Ervan sampai lupa jika dia juga harus menjaga Livya di negara orang. Ervan diamanatkan oleh kedua orang tua Livya untuk menjaga anak semata wayang mereka itu. Ervan merasa bertanggung jawab atas Livya karena mereka berkuliah dan tinggal di gedung apartemen yang sama. Namun, ketika mendengar isak tangis perempuan itu ditelepon, Ervan merasa bersalah. Seandainya dia ada di dekat Livya--menjaga perempuan itu, tidak akan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Ervan menyeret koper kecilnya langsung ke arah unit Livya, tanpa ke unitnya terlebih dahulu.
Livya yang mendengar suara bel--tahu bahwa Ervan telah mendarat satu jam yang lalu, langsung membukakan pintu untuk lelaki itu.
"Ervan... "
Livya menghamburkan diri ke dalam pelukan Ervan dan menangis terisak di dadanya lelaki itu.
"Gue bodoh, Van... gue bodoh!"
Tangan Ervan membalas pelukan perempuan itu dan mengusap rambutnya dengan lembut.
"Sekarang gue udah kotor. Gue udah hina. Gue-- "
"Sssstt... jangan ngomong apa-apa lagi." Ervan mendekap erat sahabatnya itu. Rasa bersalahnya kian terasa karena meninggalkan Livya sendirian. Harusnya, sebelum pulang karena kemalanagan yang menimpa kakaknya, Ervan memastikan dulu keadaan Livya yang juga sama patah hati sepertinya. Ervan merasa kecolongan karena tidak tahu jika Livya sedang dekat dengan seseorang. Ervan seharusnya memperhatikan dengan siapa saja perempuan itu bergaul.
Sejak kejadian saat itu, Livya tidak mau keluar dari apartemennya. Bahkan ke kampus pun, dia enggan. Livya merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ervan sudah berkali-kali membujuknya, namun Livya tidak mendengarkannya. Perempuan itu lebih banyak diam, mengurung diri di unit apartemen.
Hingga pada suatu hari, Ervan mendapati Livya yang hendak bunuh diri di apartemennya dengan menggantungkan diri. Untung saja Ervan cepat datang dan telah mempunyai kartu akses unit apartemen perempuan itu. Melawan rasa sakit karena patah hati oleh Anita yang diketahuinya telah bersama Ray, kemalangan yang menimpa kakaknya serta Livya, Ervan berusaha tegar. Livya membutuhkannya saat ini. Ervan tidak akan egois mementingkan dirinya sendiri di saat sahabatnya itu benar-benar butuh kehadirannya di sisi perempuan itu.
Ervan menarik Livya dan menggendong perempuan itu yang hendak memasukkan kepalanya ke dalam tali. Dengan muka memerah menahan emosi, Ervan menendang kursi yang diinjak Livya baru saja.
"Lepasin, Van! Biarin gue mati! Gue benci sama diri gue... benciiii!!!" Livya berteriak histeris sambil memukul-mukul d**a Ervan.
"Nggak gini caranya, Vy!" seru Ervan dengan deru napas yang naik turun. Rasanya campur aduk, marah, sedih dan kecewa melihat keadaan Livya yang tampak kacau.
"Lo masih berhak untuk lanjutin hidup lo, Vy," lanjut Ervan lagi dengan lirih. "Jangan akhiri hidup lo dengan cara begini." Lelaki itu berjongkok di depan Livya. "Gue tahu lo merasa sedih, hancur dan rasanya nggak tahu mesti gimana. Tapi, inget, kalau lo berniat untuk akhiri hidup, apa lo nggak kasihan sama orang tua lo yang selama ini sayang banget dan berjuang demi kebahagiaan lo sejak lo kecil? Lo tega ninggalin mereka?"
Livya tidak menjawab. Dia hanya terus menangis.
Ervan meraih kedua tangan perempuan itu menggenggamnya. "Lo harus bangkit. Gue akan bantu lo buat lewatin ini semua. Dan gue janji, nggak akan ninggalin lo lagi sendirian."
***
Livya melarang Ervan untuk memberitahu kedua orang tuanya perihal kejadian yang menimpanya. Dan Ervan mau menuruti ucapan Livya, asalkan perempuan itu mau berobat ke psikiater. Karena setelah Ervan perhatikan, perempuan itu tampak seperti orang depresi. Ervan bahkan Livya untuk tinggal di apartemennya agar bisa memantau. Karena unit Ervan ada 2 kamar, tidak dengan unit Livya yang lebih kecil.
Jika sedang ada kuliah, Ervan akan meminta seorang suster untuk menjaga dan menemani Livya. Ervan masih khawatir Livya masih mempunyai niat untuk bunuh diri, walau perempuan itu sudah mulai mendatangi psikiater bersamanya.
"Vy, gue mau ngomong sesuatu," ujar Ervan saat itu di apartemen Livya. Mereka baru saja pulang dari konsultasi.
Sejak sebulan rutin ke psikiater, Livya hari ini memutuskan untuk kembali tinggal di apartemennya. Sempat ragu, namun Ervan mengizinkan perempuan itu untuk kembali ke sana. Dia akan tidur di sofa ruang tamu apabila menginap nantinya di sana.
"Ngomong apaan?"
Ervan mengatakan sesuatu hal kepada Livya hingga membuat perempuan itu terkejut. Ervan mengajak Livya menikah!
"Gue udah kotor, Van. Lo mau sama gue yang bekas orang ini?" Livya tersenyum getir.
"Gue nggak peduli gimana pun elo, Vy."
"Stop talking non sense, Van." Livya terkekeh. "Gue tahu lo masih cinta banget sama Anita. Jadi, kenapa lamar gue?"
"Vy, gue-- "
"Gue akan baik-baik aja, kok. Nggak usah kasihan sampe segitunya pengen nikahin gue. Nikah itu sekali seumur hidup, bukan untuk main-main."
Livya tahu persis bagaimana sahabatnya itu yang masih mencintai Anita.
Memang, Ervan pernah menyatakan perasaan kepadanya dulu sewaktu SMP. Namun, Livya rasa itu hanya lah sekedar cinta monyet sesaat. Karena Ervan telah terbiasa bersamanya dari kecil. Hubungan mereka tetap baik walau Livya menolak Ervan kala itu karena Ray lah lelaki yang disukainya. Buktinya, Ervan biasa saja setelah itu. Hingga kemudian beranjak SMA dan mereka bertemu dengan Anita, lalu Ervan jatuh cinta kepada perempuan itu. Dari situ, Livya bisa melihat jika Ervan benar-benar tulus mencintai seorang perempuan lawan jenis. Beda dengan apa dirasakan terhadapnya. Ervan hanya sayang padanya sebatas rasa sayang kepada seorang teman yang sering menghabiskan waktu bersama dalam kurun waktu lama, tidak lebih.
Lama mereka berdebat, hingga kemudian Livya bangkit berdiri. Sebelum menuju kamarnya, perempuan itu berkata, "Gue janji nggak akan sia-siain hidup gue. Enggak usah khawatir dan... jangan coba ngomong kayak gitu lagi sama gue. Itu cuma akan bikin gue jadi sedih lagi. Serasa kayak... nggak ada lagi cowok yang mau sama gue nantinya, sampe sahabat gue sendiri yang harus berkorban?"
Livya terkekeh, namun sudut matanya mulai berair.