KEMATIAN ADRIAN
Malam itu, saat hendak beranjak tidur, gawai Mas Danang berdering. Aku yang tengah merapikan bantal dan menata selimut hanya melirik sekilas saja. Mengira, itu hanya sebuah panggilan biasa.
“Apa? Kapan? Dimana?” Pertanyaan beruntun yang diucapkan suamiku membuat tangan ini sejenak menghentikan aktivitas yang sudah biasa kulakukan menjelang tidur.
“Baik, baik, saya akan segera ke sana.” Mas Danang menutup teleponnya.
“Kenapa, Mas?” Tanyaku cemas, sambil melangkah pelan menuju dirinya yang berdiri di tepi ranjang dengan menatap layar gawai. Seperti orang yang tengah panik, ayah dari anak-anakku itu tidak mengindahkan pertanyaan dariku. Kuusap pelan pundaknya, Mas Danang berpaling menatap diri ini dengan tatapan yang tidak baik-baik saja.
“Adrian kecelakaan, Ma ...” Aku kaget mendengar kabar itu. “Aku harus segera ke rumah sakit. Kamu, jaga anak-anak di rumah, ya? Nanti aku kabari setelah sampai di sana.” Lanjutnya lagi, yang kujawab dengan anggukan kepala.
Mas Danang bergegas meraih jaket yang tergantung capstok dan mengambil kunci mobil yang ia letakkan di nakas samping ranjang tidur. Kuantar priaku menuju tempat parkir kendaraan roda empatnya.
Tubuh ini berdiri di teras, perasaanku membatu, entah karena apa. Feeling mengatakan, akan terjadi sesuatu pada keluarga mertua. Sesaat sebelum masuk ke dalam mobil berwarna putihnya, Mas Yuda mencium keningku, lama sekali …
Kulangkahkan kaki kembali masuk ke dalam rumah, setelah deru mobil suamiku terdengar menjauh. Perasaan was-was, membuat kelopak mata yang sedianya ingin menutup rapat, kembali terbuka. Berkali-kali, mengecak benda pipih di atas nakas, padahal, bila ada suatu panggilan ataupun pesan masuk, pastilah berdering.
Untuk mengusir gundah, aku berpindah tempat menuju kamar kedua putriku, si sulung Nadine dan adiknya, Raline.
Di dalam ruangan yang bernuansa dusty pink itu, diriku hanya mondar-mandir saja. Apa yang kucemaskan sebenarnya? Adrian, adik iparku? Atau, Mas Danang suamiku? Entahlah …
Kembali, kaki ini kubawa ke kamar pribadiku, untuk mengambil gawai yang tertinggal di dalam sana. Tepat setelah pintu tertutup , benda pipihku berbunyi. Setengah berlari, padahal jarak antara pintu dengan nakas tentulah dekat, karena kamar ini tidak terlalu luas. Kuambil serta segera menggeser gambar telepon hijau dan menempelkan pada telinga ini.
“Ma … Adrian tidak selamat …” Tubuh ini lunglai di atas tempat tidur. Telepon dari Mas Danang-pun langsung dimatikan, setelah dirinya selesai memberikan kabar duka itu.
.
.