01.

1312 Kata
Sepenggal kata 'terserah' mempunyai banyak makna. Bisa saja memang berarti terserah, atau si pemberi pertanyaan bisa memilih sesuai harapan mereka. Bisa jadi itu hanya ungkapan bahwa perempuan ingin lebih di mengerti. Atau, sebuah ungkapan yang artinya tidak peduli. Begitu pula dengan Mika. Kata terserah selalu ia ucapkan dengan nada masa bodoh. Gadis itu selalu mengatakan hal yang sama jika ia lelah dan tak mau memerpanjang urusan. Termasuk pada papanya yang terus meminta Mika agar pulang lebih cepat. Alih-alih menurut dan pulang. Mika hanya mengatakan satu kata yang tak pasti. "Terserah," Kata Mika beberapa menit lalu di telepon. Gadis itu tak pernah berpikir papa akan setega itu. Kata-kata tajamnya masih begitu membekas di ingatannya. Via telepon yang tak menampilkan wajah saja papa bisa membuat hatinya berdenyut nyeri. Laki-laki yang selalu jadi prioritas utama nyatanya juga menyakiti Mika dengan segala ucapan pedasnya. Biarlah dia diusir dari rumah. Mika sudah tak peduli lagi. Dia punya uang, pekerjaannya cukup untuk menghidupi diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Dia tak akan merepotkan siapapun. Mengasingkan diri sepertinya adalah tujuan yang tepat bagi Mika. Setidaknya, tempat baru tak akan pernah menyakitinya seperti ini. Tempat baru seolah manusia yang amnesia. Tak ada yang membekas, yang ada hanya masa depan. Masa lalu tak akan pernah terbawa ke dalam tempat yang baru. Dan Mika berharap bisa melepas semua masa lalunya. "Belum pulang, kak?" Mika tersentak. Menoleh ke arah kanan hanya untuk mendapati laki-laki yang melambai dari mobil yang terlalu mengkilap di kegelapan. "Bawa kendaraan?" Mika tersenyum saja. "Bawa kok. Cuma pulang nanti," laki-laki bermata sipit itu mengangguk kecil. "Hati-hati kak, jangan kemaleman. Nanti masuk angin," Mika tertawa saja. Memang, dari dulu adik tingkatnya itu terlalu ceplas ceplos. "Kamu juga hati-hati, Lang," si laki-laki mengangguk kecil kembali masuk ke dalam mobil hitamnya yang terparkir tak jauh dari tempat Mika duduk. Gadis itu menatap mobil hitam milik Elang yang menghilang menembus malam yang dingin. Memang belum terlalu malam, tapi ini bisa jadi sangat malam untuk manusia seperti Mika. Gadis itu tak pernah bisa bergadang. Tidurnya mentok sampai jam 11 malam. Kecuali jika pekerjaannya memaksa, maka Mika akan mengusahakan agar matanya terus terbuka. Dan berakhir dengan obat tidur seperti beberapa malam terakhir ini. Acara baru saja selesai. Ketika alumni lain memilih untuk mengobati rasa rindunya dengan adik tingkat. Mika memilih kembali pada rutinitasnya, mengasingkan diri. Gadis itu sekarang tak terlalu suka pada keramaian. Sendiri menurutnya lebih baik. Tenang. Tenteram. Tanpa banyak pertanyaan yang hanya membuatnya kembali dipojokkan. Mika hanya menduga. Tak tahu jika ia benar-benar duduk bersama yang lainnya. Teman seangkatannya tak banyak yang datang. Pun, sepertinya mereka memang sudah tidak mengenal Mika sama sekali. Atau, mungkin saja mereka tak melihat Mika hadir di tengah keriuhan musyawarah besar itu. Mika menghela napas. Menoleh ke kanan kiri. Kali saja ada salah satu pengendara berjaket hijau yang bisa ia hentikan untuk mengantarnya pulang. Mika berbohong pada Elang. Mengatakan bahwa dirinya membawa kendaraan. Bulshit sekali. Sekarang, Mika hanya bisa meneguk ludah. Semakin banyak manusia yang keluar dari area fakultas. Berboncengan ataupun menggunakan mobil mereka masing-masing. Mika tertawa dalam kegelapan selasar. Meruntuki kebodohannya sendiri. Meninggalkan mobilnya di depan kantor hanya untuk buru-buru ke tempat ini. Menganggap bahwa mungkin saja ada seseorang yang mengenalnya dan mengantarnya pulang seperti tujuh tahun yang lalu. Pikirannya kembali berkelana jauh. Terlalu jauh, sampai gadis itu berupaya untuk amnesia saja. Karena sepertinya, Mika memang harus amnesia dan melupakan semuanya. Tentang dia, himpunan, juga masa lalunya yang terus merangsak masuk memenuhi ingatan. Denting notifikasi membuat Mika tersadar. Memperhatikan aplikasi taxi onlinenya. Ternyata masih ada beberapa driver di waktu menjelang dini hari ini. Jari Mika berkelana menelusuri layar ponselnya. Mencari driver yang paling dekat dengan tempatnya berdiri saat ini. Gadis itu hampir menekan salah satu driver yang menurutnya lumayan dekat. Sebelum klakson di belakangnya terdengar memekakkan telinga. Sampai Mika terlonjak dan hampir saja menabrak tiang halte di dekatnya. Si pengendara menyeringai lebar. "Sorry kak. Pulang nggak?" Mika berdecak. Menemukan Jevano dengan cengiran lebar di dekatnya. Lantas laki-laki itu memarkirkan motor tepat di depan halte. Hanya untuk duduk menemani gadis itu. Dulu, Jevano sering melakukan hal yang sama. Dan berakhir dengan laki-laki itu yang mengantar Mika sampai rumah dengan selamat. Mika lupa, bahwa dirinya tak boleh mengulik masa lalu itu. Ini harus jadi pertemuan terakhirnya dengan Jevano. "Ah. Pulang nanti. Pulang duluan aja, Vano," Mika jelas mengusir Vano dari hadapannya. Kembali berkutik pada handphonenya. Gadis itu mendesah. Driver yang akan ia hubungi ternyata sudah dipesan orang. Terpaksa, gadis itu kembali memindai Driver yang masih kosong. Vano menghela napas. Kemudian berdiri dan membuka jok belakang motornya. Mengeluarkan sebuah kain berwarna navy yang cukup menyita perhatian Mika yang harusnya tidak peduli. Mika melirik dari ekor matanya setelah sekian lama terus menyibukkan diri dengan ponselnya. Bagaimana Jevano masih setia duduk di sampingnya. Ikut bermain handphone dengan mulut sibuk mengunyah permen yang baru saja laki-laki itu buka. "Udah malem. Jangan pulang sendiri, bahaya," mata tajam Vano mungkin mengarah ke jalanan. Tapi sudah jelas bahwa ucapannya merujuk pada Mika yang masih tak menggubris. "Ayo pulang." Mika hanya melirik. Tak begitu tertarik. Apalagi uluran jaket berwarna navy di depannya yang cukup membuat Mika muak. Jevano masih sama saja. Sudah berapa banyak perempuan yang memakai jaket yang sama ketika membonceng laki-laki itu? Sepertinya, Mika memang harus cepat memesan taxi agar tak berlama-lama dengan adik tingkatnya itu. "Kak. Udah malem, gak baik pulang sendiri," Dengan ogah Mika bangkit dari duduknya. Memperhatikan Vano yang juga menatapnya tanpa berkedip. Laki-laki itu ikut bangkit, menyerahkan jaket navy itu pada Mika. Bukannya menerima, Mika hanya membiarkan tangan Jevano kebas di udara. Ternyata, Mika masih kejam. "Lo terakhir kelihatan sama gue. Jadi, pulang sama gue. Ini tanggung jawab gue sebagai cowok," Besar sekali ucapan Jevano ini. Tanggung jawab? "Tanggung jawab?" tanya Mika dengan nada tak habis pikir. "Jangan terlalu gencar pada satu kata tanggung jawab. Mungkin kita punya dua pengartian yang berbeda. Jevano. Sebaiknya kamu pulang, saya bisa pulang sendiri," Jevano menghela napas. Mikayla Cyrene memang si kakak tingkat yang tak pernah mau dibantah. Apapun yang ia lakukan seolah benar seutuhnya. Gadis itu mungkin lupa, bahwa tidak ada satupun manusia yang selalu benar. Meski, anggapan perempuan selalu benar memang mengalahkan segala macam bantahan lelaki. Tapi, Mika juga lupa bahwa perempuan punya lebih banyak persentase pada kesalahan yang mereka buat sendiri. "Pulang sama saya, Kak Mika. Sebentar lagi fakultas ditutup. Tidak ada lagi seorangpun yang mengenal kakak. Pulang sama saya, atau sendiri menunggu di sini," Oke. Kali ini Mika menghela napas panjang. "Terserah," finalnya. Jevano menyerahkan jaket navy itu pada Mika. Berlari kecil menghampiri motornya untuk mengantar Mika pulang. Laki-laki itu selalu dibuat tak habis pikir dengan jalan pikiran Mika. Pengartian tanggung jawab yang berbeda? Mungkin sangat berbeda. Karena dia laki-laki dan Mika perempuan yang selalu ingin dianggap benar. Mika hanya diam di balik tubuh besar Jevano. Membiarkan angin menerbangkan rambutnya yang tak terlindungi helm. Biarlah, polisi mana mau patroli malam-malam? Lagi pula, jika nanti dia ditilang toh ini salah Vano. Bukan salahnya. Kenapa Vano dengan sikap keras kepalanya terus meminta Mika untuk pulang bersama. Mungkin laki-laki itu tak pernah berpikir akan bertemu dengan Mika. Dan Mika, gadis itu tengah bersiap untuk kembali menjauh dari semuanya. Ia harus lari sejauh mungkin. Mengasingkan diri, jika perlu ia akan mengganti lagi nomor ponselnya dengan yang baru. Mika mulai membentengi diri. Lagi. Mika berharap, ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Jevano. Biarlah kali ini ia menurut diantar pulang. Tapi nanti, Mika akan kembali menghilang. "Rumahnya masih yang lama kan?" pertanyaan Jevano sukses membuat lamunan Mika untuk mengasingkan diri buyar seketika. Gadis itu menggumam menyebutkan alamat rumahnya yang baru. Motor besar Jevano berhenti tepat di depan rumah dengan pagar tinggi. Lantas, setelah berhasil turun, gadis itu kembali memberikan jaket Jevano, dengan satu garis senyum yang Mika paksaan. "Makasih ya Vano. Pulangnya hati-hati," Mika berbalik. Tak peduli bagaimana wajah Jevano yang menatapnya datar. Mengikuti setiap pergerakan Mika membuka gerbang hitam rumahnya. Yang tak lama, laki-laki itu menggeleng dengan senyum tipis tercetak di bibirnya. We meet again, kak Mika! 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN