Bab 5 - Rencana Papa

1234 Kata
Sasmita pikir semalam Wira hanya bercanda perihal akan mengecek mobilnya besok pagi, tapi ternyata tidak. Pagi sekali, ketika jam di kamar masih menunjukkan pukul lima pagi, Wira sudah sibuk dengan mobil di halaman depan rumah. Laki-laki itu membuka kap depan mobil dan mengeceknya dengan teliti. Setelahnya Wira memanaskan mesin mobil. Tidak hanya pada mobil adiknya saja, tapi Wira juga melakukan hal yang sama pada mobilnya sendiri dan ayahnya. Laki-laki itu benar-benar memastikan keselamatan keluarganya. Padahal Wira tidak seharusnya melakukan hal tersebut karena Pak Asep, sopir keluarga mereka akan dengan senang hati melakukan semua pekerjaan itu. “Kakak gue emang terbaik,” decak Sasmita kagum dengan ulah sang kakak. Tangannya bergerak membuka jendela dan membiarkan udara segar pagi hari masuk memenuhi kamarnya yang bernuansa putih. “Hai, Cowok! Rajin banget pagi-pagi udah ngecek-ngecek mobil. Nitip sekalian cuciin, ya!” teriak Sasmita dari jendela kamarnya. Wira yang sedang mulai memanaskan mesin mobil Sasmita pun sontak mendongak. Bahkan teriakan melengking Sasmita juga berhasil membuat Pak Marto, sekuriti rumah mereka dan Pak Asep yang sedang mengelap mobil Wira pun ikut mendongak. “Heh, kurang ajar kamu, ya! Sini turun, cuci sendiri mobil kamu!” Wira balas berteriak. “Ogah! Aku kan nitip ke Kakak,” jawab Sasmita. Perdebatan Sasmita dan Wira memancing tawa dua bapak-bapak beda profesi yang ada di sana. Bekerja dengan keluarga Wardhanu sejak Wira masih bayi hingga sekarang ini, membuat Pak Asep dan Pak Marto sudah biasa dengan kelakuan anak majikannya tersebut. Malah kalau Sasmita dan Wira tidak saling debat, rasanya ada yang kurang. “Mbak Sasa ada-ada aja. Masa Mas Wira udah mandi, udah ganteng begini malah disuruh nyuci mobil? Yang ada nanti kotor dong, Mbak,” ujar Pak Asep seraya kembali mengelap kaca mobil ayahnya. Sasa adalah nama panggilan Sasmita sejak kecil. Itu kenapa pekerja di rumah mereka ikut memanggilnya dengan nama Sasa. Sasmita sendiri tidak terlalu mempermasalahkan tentang nama panggilannya. “Nggak apa-apa, Pak nanti biar dia mandi lagi. Lagian kalau dia masih pakai kaus oblong dan celana kolor begitu belum bisa disebut ganteng, Pak. Yang ada malah mirip orang hilang,” jawab Sasmita lalu tertawa. Bohong jika Sasmita menyebut Wira tidak ganteng. Menurut Sasmita, kakaknya itu serupa karya seniman terbaik yang tanpa cacat sedikit pun dan bernilai jual tinggi. Sempurna. Bahkan dulu ketika Sasmita masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, teman-teman perempuannya selalu beralasan belajar bersama di rumahnya supaya bisa bertemu Wira. Masa itu juga menjadi masa terburuk Sasmita karena ia selalu menjadi kurir yang disuruh mengantarkan barang-barang untuk Wira. Itu karena saat itu Wira sangat protektif dengan Sasmita. Laki-laki itu selalu mengantar-jemput Sasmita. "Jadi orang jangan ganteng-ganteng dong, Kak. Jelekin dikit kek. Masa tiap hari aku jadi kayak kurir antar paket dari anak-anak buat Kakak," gerutu Sasmita ketika saat itu ia pulang sambil membawa satu kantung plastik ukuran sedang berisi hadiah-hadiah yang dititipkan teman-temannya untuk Wira. "Kakakmu kan emang ganteng, Sas. Lihat aja, adiknya juga cantik gitu," jawab Wira. "Makasih, aku emang cantik dari lahir. By the way, ini cokelat satu buat aku, ya. Oke, sama-sama, Kak," ujar Sasmita seraya mengambil sebungkus cokelat merek Ratu Perak dan berlari ke kamarnya. "Dek, kebiasaan ya kamu!" teriak Wira. Namun, teriakan laki-laki itu justru dibalas tawa oleh Sasmita. “Sasmita, awas ya—” Belum sempat Wira menyelesaikan ucapannya, Sasmita sudah menghilang di balik gorden kamar. Membuat Wira menggeram kesal melihat kelakuan adiknya. Sasmita sendiri memilih angkat kaki dari posisinya dan langsung masuk kamar mandi untuk melakukan ritual mandi paginya. Lagi pula, ia tidak mau pagi harinya yang cerah menjadi suram gara-gara omelan Wira. Dua puluh menit kemudian, Sasmita keluar dari kamar mandi dengan pakaian rapi. Wanita itu mengenakan jumpsuit warna navy dipadu blazer berwarna krem. Tidak lupa, ia memakai ankle straps berwarna senada dengan blazer sebagai pelengkapnya. Denting ponsel menginterupsi kegiatan Sasmita yang baru akan mengoleskan lipstik ke bibirnya. Sebuah pesan terpampang nyata di layar notifikasi, tapi Sasmita hanya melihatnya sekilas dan kembali dengan kegiatannya. Namun, baru beberapa detik, ponsel Sasmita berdering. Ia berniat mengabaikan panggilan tersebut, tapi urung dilakukannya ketika melihat nama Barra tertera di layar. Secepat kilas Sasmita mengakhiri kegiatannya dan segera menggeser tombol jawab. “Selamat pagi, Ta,” sapa Barra begitu panggilan tersambung. “Selamat pagi juga, Bar,” sapa Sasmita balik. Nada suaranya terdengar riang. “Kamu masih di rumah?” tanya Barra. Terdengar klakson-klakson bersahutan menjadi latar suara Barra. “Iya, aku masih di rumah. Kamu sendiri di mana? Kok kayaknya lagi rame banget. Lagi cari sarapan?” “Iya, ini lagi di warung nasi campur yang biasanya. Kamu jangan lupa sarapan, ya atau mau aku bawain bubur ayam?” “Enggak perlu, makasih. Aku masih belum pindah haluan, masih jadi tim bakso,” jawab Sasmita lalu mereka tertawa. “Oh ya, kamu hari ini jadi bawa mobil sendiri?” “Jadi. Ada apa?” “Nggak apa-apa. Maaf ya nggak bisa ngantarin kamu hari ini.” “Astaga, Barra santai aja kali. Aku nggak masalah kok. Lagian kalau terus-terusan kamu antar jemput, yang ada aku jadi manja nanti. Udah ah. Mending kamu sana sarapan, aku juga mau sarapan ini.” Barra tertawa. “Oke, kamu berangkatnya hati-hati. Jangan ngebut.” “Siap, Bos!” dan panggilan terputus. Sasmita segera menyelesaikan kegiatannya yang sempat tertunda lalu menyambar tas serta laptop di atas meja. Sasmita keluar kamar bersamaan dengan Wira yang saat itu juga keluar dari kamarnya. “Rapi amat, mau kencan sama Kak Shevi pasti. Ya, kan?” goda Sasmita. Namun, bukannya menjawab, Wira malah menyunggingkan senyum lalu menepuk kepala Sasmita. “Kerja yang benar. Jangan sampai bikin Papa bangkrut,” ujarnya lalu menuruni tangga lebih dulu. Sambil menggerutu kesal, Sasmita berlari menyusul Wira yang sekarang sudah menarik kursi di hadapan Sekar. Sasmita pun kemudian duduk di sebelah Wira. Dentingan alat makan menjadi lagu latar dalam acara sarapan. Sesekali mereka membahas tentang pekerjaan dan proyek baru yang sedang dikerjakan, sesekali juga Roy menanyakan tentang keuangan perusahaan dan Sasmita menjelaskan itu dengan baik. Awalnya acara sarapan bersama itu terkesan hangat. Namun, ketika satu kalimat yang Roy ucapkan seketika membuat hening suasana. Sasmita bahkan langsung kehilangan selera makan. “Hari Minggu besok, Papa mau mengundang Nugroho dan keluarganya untuk makan malam bersama kita di rumah ini,” ucap Roy, “Dan kamu, Sasa, jangan sampai kamu mengecewakan Papa di acara makan malam itu.” “Tapi, Sasa nggak pernah mengecewakan Papa kalau Papa lupa.” Bukan suara Sasmita, melainkan itu suara Wira. “Kamu jangan bela adikmu, Wira. Kalau kamu nggak mengenalkan laki-laki miskin itu pada adikmu, pasti sekarang Sasa sudah bahagia dengan Sakti.” Sasmita sebenarnya sudah mengetahui tentang rencana Roy yang akan mengadakan acara makan malam dengan keluarga Sakti, tapi ia tidak menyangka jika ayahnya malah mengungkit-ungkit hubungannya dengan Barra. Sasmita meletakkan alat makannya dengan sedikit keras. “Pa, laki-laku yang Papa sebut miskin itu punya nama. Namanya Barra Refano, dan dia pacar aku. Papa nggak bisa kayak gitu. Tolong hargai pilihan aku juga, Pa.” “Papa nggak peduli siapa namanya. Yang Papa pedulikan itu kehidupan kamu. Kamu nggak akan pernah hidup bahagia dengan laki-laki itu. Dia cuma bawa kesialan untuk hidup kamu. Dan ingat, Papa nggak akan pernah memberikan kalian restu sampai kapan pun," ujar Roy dengan nada lebih tinggi. “Pa, tolong hargai pilihan Sasa, ya? Papa nggak bisa memaksakan perasaannya. Kasihan Sasa, Pa,” ujar Sekar berusaha membujuk suaminya. Sayangnya, Roy yang memang keras kepala tidak mudah dibujuk. “Keputusan Papa sudah bulat, Papa tetap akan menjodohkan kamu dengan Sakti.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN