Bab 3 - Caffe Latte

2035 Kata
“Sasmita!” Seruan itu berhasil mengejutkan dua orang berlawanan jenis di pelataran parkir sebuah restoran mewah. Mereka langsung salah tingkah. Sakti berdeham singkat lalu menegakkan tubuhnya. Laki-laki itu bersandar ke pintu depan mobil dengan satu tangan yang dimasukkan ke saku celana. Sedangkan Sasmita membelalakkan mata kaget diiringi debar jantungnya yang terasa dua kali lebih cepat. Mungkinkah orang itu melihat kejadian tadi? Entah, tapi jika iya mau ditaruh di mana mukanya nanti? Ini sangat memalukan. “Hei, Ta!” Sapaan dibarengi satu tepukan di bahu seketika membuat Sasmita berbalik. Matanya membelalak tak percaya. Sial! Bahkan pemilik suara itu berhasil membuatnya meneguk ludahnya susah payah. “B-Barra? Kamu ... kamu ngapain di sini?” Alhasil satu pertanyaan konyol pun keluar dari mulut Sasmita. Ya, orang itu adalah Barra. Laki-laki yang usianya lima tahun di atas Sasmita. Laki-laki yang berhasil menaklukkan kerasnya hati Sasmita sejak tiga tahun lalu. Laki-laki baik hati dan ramah yang membuat Sasmita berhasil melepaskan diri dari yang istilah ‘jaga image’. Laki-laki yang berhasil membuat Sasmita mati-matian meredam debar jantungnya yang menggila hanya karena sebuah pertanyaan retorik. “Kamu sendiri ngapain ada di sini, Ta?” Barra balik bertanya. Pandangannya kemudian beralih pada bangunan tak jauh dari mereka berdiri. “Oh, jadi kamu makan siang di sini.” Secepat kilat Sasmita mengangguk. Sambil berusaha mengontrol degup jantungnya, ia menjawab, “Iya, aku baru selesai makan siang dengan keluargaku di sini. Kamu sendiri bagaimana? Sudah makan siang? Kalau belum, ayo aku temani. Kamu mau makan di mana, kali ini biar aku yang traktir?” Sejujurnya rentetan pertanyaan itu hanya sebuah bentuk pengalihan dari pikiran Sasmita yang mendadak kacau. Berbagai pertanyaan saling berebut tempat di benaknya, seolah mengharuskan Sasmita menjawabnya sekarang juga. Padahal jangankan mendapatkan jawaban, kehadiran Barra yang sangat tiba-tiba di sini saja, justru malah menambah daftar pertanyaan di benaknya. Namun, ada satu pertanyaan yang sangat Sasmita butuhkan jawabannya. Ia kesusahan menerka-nerka. “Terima kasih atas tawaranmu, Ta. Tapi itu sangat tidak perlu. Lihat, aku baru beli makanan untuk anak-anak juga. Jadi, ya sekalian makan di sana saja,” jawab Barra seraya mengangkat dua kantung plastik yang dibawanya. Satu kantung berwarna putih bening berisi empat kotak makanan dan satu kantung lainnya—yang ditebak isinya makanan. “Kalau gitu aku ikut kamu ke BC. Udah lama juga aku nggak main ke sana.” BC adalah singkatan yang selalu Sasmita pakai untuk menyebut Barr’s Coffee. Itu adalah coffee shop sederhana yang Barra rintis sejak masih duduk di bangku perkuliahan. Dan Sasmita adalah salah satu pelanggan setianya. Namun, bukannya jawaban Barra yang terdengar, melainkan sebuah deheman keras dari seseorang. Siapa lagi pelakunya kalau bukan si Pengganggu, Sakti. “Ayo, Sas saya antar kamu kembali ke kantor,” ajak Sakti yang langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Sasmita. “Maaf, Bapak ini siapa, ya?” Detik berikutnya, tawa renyah Sasmita mendominasi indra pendengaran dua laki-laki itu. Tak hanya itu, tawa Sasmita juga memancing rasa penasaran dari orang-orang yang melihatnya. “Astaga perutku sampai sakit kebanyakan tertawa,” ucap Sasmita seraya memegangi perutnya. Ia menghela napas untuk meredam tawanya. “Tapi Barra nggak salah, sih. Soalnya muka kamu memang mirip bapak-bapak yang punya dua anak, Sak.” Sasmita tertawa lagi. “Oke, lupakan soal bapak-bapak. Kenalin, Bar dia namanya Saktiawan dan Sak, kenalin ini kekasihku namanya Barra,” ucap Sasmita sengaja menekankan kata ‘kekasih’. Hal ini Sasmita lakukan supaya Sakti sadar bahwa wanita yang sedang dia dekati sudah memiliki kekasih dan supaya laki-laki itu sadar bahwa dia tidak punya kesempatan apa pun. “Halo, saya Barra. Senang bertemu dengan Anda.” Barra mengulurkan tangan kanannya seraya tersenyum. Sakti menyambut uluran tangan Barra dan tersenyum. “Perkenalkan saya Saktiawan Rahadi. Anda bisa memanggil saya Bapak Sakti.” Ganti Sakti yang menekankan kata ‘Bapak’ atas sebutan Barra tadi. “Dan saya adalah calon—” “Ya ampun, Barra kamu kan harus ngantar jatah makan siang ini. Kalau gitu ayo cepat pulang. Takutnya nanti jalanan tambah macet terus mereka nungguin lagi.” Sasmita beralih pada Sakti. “Oh ya, Sakti kamu pulang duluan aja. Aku pulang bareng Barra. Maaf kami permisi dulu.” Sasmita tidak ingin Barra berpikiran macam-macam tentang dirinya dan Sakti kalau sampai pulang bersama. Bagaimanapun juga, ia sangat menghargai Barra. Apalagi yang namanya laki-laki, kadang sekalipun diam, mereka pasti menyimpan ego yang tinggi. Setelahnya Sasmita menggandeng lengan Barra ke tempat di mana motor hitam milik laki-laki itu terparkir manis di antara deretan motor lainnya. Barra menyiapkan motornya dan Sasmita segera naik ke boncengan. Tak lama kemudian, motor hitam tersebut melaju membelah jalanan ibukota. Sedangkan Sakti masih tetap berdiri di posisinya sambil memandang kepergian Sasmita sebelum akhirnya masuk mobil dan pergi. ** Sinar mentari mulai redup dan berganti gumpalan awan kehitaman ketika motor Barra berhenti di depan sebuah bangunan minimalis yang didominasi warna cokelat kayu. Bagian depan bangunan itu terdapat dua buah meja berpayung berbentuk persegi panjang dan di masing-masing meja terdapat dua buah kursi panjang. Bangunan tersebut adalah coffee shop sederhana milik Barra Refano yang dirintis sejak laki-laki itu masih kuliah. Usaha itu adalah hasil dari keisengan Barra yang memang pecandu kopi. Dia bereksperimen dengan kopi-kopi tersebut dan berhasil. Akhirnya Barra memberanikan diri membuka sebuah coffee shop setelah melihat sebuah ruko disewakan pemiliknya. Seiring berjalannya waktu, coffe shop itu mulai dikenal orang—kebanyakan dari teman-teman kuliahnya. Pendapatannya pun lumayan cukup untuk membiayai kuliahnya, membayar gaji pegawainya, serta untuk tabungan. Dari tabungan tersebut, akhirnya Barra membeli ruko itu dan merenovasinya sedikit. Terhitung sudah hampir lima tahun Barr’s Coffee beroperasi. Gerimis yang tiba-tiba jatuh membuat Barra segera menarik tangan Sasmita ke bangunan itu. Sambil menggandeng tangan kekasihnya, Barra mendorong pintu kaca dengan tulisan Barr’s Coffee di bagian tengahnya. Membuat lonceng yang tergantung tepat di atas pintu saling beradu, menimbulkan bunyi gemerincing. Tidak hanya itu, kedatangan mereka memancing tatapan dan senyum dua orang laki-laki di meja bar. Warna cokelat kayu dipadu harumnya aroma kopi menyambut sepasang kekasih itu. “Sebentar, aku ke dalam dulu. Kamu mau minum apa?” Sasmita terdiam sejenak, menatap papan hitam di belakang meja bar. “Espresso,” jawabnya mantap seraya mendudukkan diri di salah satu kursi. Tasnya ia letakkan di atas meja. “Oke, mohon ditunggu ya, Miss Cerewet. Pesanan Anda akan siap dalam waktu tiga jam dan untuk mengurangi kebosanan karena menunggu pesanan, Mbaknya bisa sambil gigit meja.” “Emangnya aku rayap apa, disuruh gigit-gigit meja? Dasar kamu! Heh, kalian diam ya, malah pada ngetawain aku lagi!” bentak Sasmita pada Barra dan dua laki-laki yang berada di belakang meja bar. Dua laki-laki itu tidak lain adalah Ares dan Danu, pegawai Barra yang sangat loyal. Mereka juga sudah bekerja sejak tempat ini masih sebuah ruko biasa. “Kan sebelas dua belas, Ta,” jawab Barra yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari Sasmita. Namun, bukannya takut, Barra malah tertawa lebar. Bahkan kini Ares dan Danu pun ikut tertawa. Membuat Sasmita semakin memberengut kesal. “Kalau tau aku cuma diketawain doang, mending tadi aku nggak ke sini,” sesal Sasmita. “Udah, jangan ngambek dong. Nih, caffe latte spesial untuk pacar aku tersayang. Takarannya seperti biasa dan ditambah cinta,” ujar Barra seraya mengedipkan sebelah matanya. Diletakkannya secangkir minuman tersebut di hadapan Sasmita, setelah sebelumnya ia menggeser posisi tas milik wanita itu. Sasmita menatap minuman itu sekilas lalu beralih pada Barra. “Karena kafe ini menerima komplain dari pelanggan, maka aku mau ngajuin komplain. Pesananku salah.” “Oh, ya? Aku rasa tidak ada yang salah dari pesananmu. Kamu pesan espresso, kan?” “Iya, terus kenapa kamu kasih caffe latte?” protes Sasmita. “Oh itu.” Barra tertawa. “Justru karena aku baik hati jadi aku tambahkan s**u di espresso-mu supaya tidak pahit,” jelasnya laki-laki itu dengan santai. Seolah apa yang dilakukannya barusan bukanlah suatu kesalahan besar. “Kamu minum itu juga sama aja kok, Ta. Caffee latte kan awalnya juga dari espresso.” Menjalani hubungan yang lumayan lama dengan Sasmita membuat Barra sangat paham akan wanita itu. Sasmita tidak suka kopi dan apa pun yang rasanya pahit. Namun, minuman dengan perpaduan kopi—biasa menggunakan espresso double shoot—dan steamed milk yang terasa milky, serta tambahan foam itu berhasil mendapatkan tempat di hati Sasmita. Tidak jarang pula, Sasmita meminta Barra mengantar minuman kesukaannya tersebut ke kantor ketika wanita itu sedang suntuk dengan pekerjaan yang menumpuk. Dan Barra tentu saja dengan senang hati melakukannya. Sejatinya minuman ini adalah kopi s**u dari Italia. Ide minuman ini tidak sengaja tercipta ketika Lino Meiorin, seorang warga Italia melihat pengunjung kedai kopinya tidak suka dengan aroma dan rasa cappucino yang pahitnya terlalu kuat. Para pengunjung itu meminta ditambahkan s**u ke dalam kopi mereka untuk mengurangi rasa pahit. Dan sejak saat itu, minuman tersebut menjadi banyak peminatnya. Umumnya minuman ini disajikan dengan takaran antara s**u dan kopi yaitu dua banding satu. Seiring berkembangnya zaman, minuman ini disajikan dengan hiasan gambar-gambar cantik di atas foam. Latte art, namanya, atau disebut juga seni menggambar di atas permukaan latte. “Mbak Mita lagi sibuk banget ya, makanya jarang main ke sini? Mas Wira juga,” tanya Danu, pegawai Barra yang rambutnya diikat ke atas. Melihat Danu, mengingatkan Sasmita pada salah satu karakter dari kartun asal Negeri Jiran itu. Danu meletakkan sepiring roti bakar dengan selai stroberi di meja Sasmita. “Silakan, Mbak.” “Makasih, Nu. Iya aku lagi sibuk banget, nih. Ini aja kabur bentar. Bosan lihat tumpukan kertas dan angka terus. Otak butuh penyegaran, Nu biar tetap waras,” jawab Sasmita sambil memotong roti bakar dengan garpu. Deheman keras dari Barra menginterupsi. “Nggak perlu ngode gitu, aku udah paham kok. Besok Minggu kita jalan-jalan,” Sasmita menoleh cepat. Matanya berbinar begitu mendengar kata ‘jalan-jalan’ disebut. “Kamu serius, Bar? Jalan-jalan?” Barra mengangguk. “Iya, serius. Minggu kita jalan-jalan. Ke mana aja terserah kamu. Bebas pilih tujuan—” “Tapi nggak bebas pilih tujuan hidup,” potong Sasmita. Keheningan menyergap seketika. Pandangan mereka bertemu, saling menyelami apa yang disembunyikan di balik sorot mata masing-masing. Membuat jantung Sasmita berdebar lebih kencang serta ia merasa perutnya diserang ribuan kupu-kupu yang entah dari mana. “Ta ...,” panggilnya. “Percaya sama aku, kita pasti bisa menghadapi semuanya, Ta. Aku yakin suatu saat orang tuamu pasti bisa merestui hubungan kita.” Semoga. “Tapi, Papa—” “Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Sayang. Asal kita nggak mudah menyerah dan selalu berusaha, pasti tetap ada jalan. Percaya, Ta kita pasti bisa.” Ucapan Barra seperti oase di tengah gurun. Menyejukkan sekaligus menenangkan untuk Sasmita. Barra selalu bisa menempatkan diri dengan baik di berbagai keadaan. Membuat Sasmita nyaman dengan caranya sendiri. Jadi, tidak salah jika Sasmita sangat mencintai Barra walaupun status sosial mereka berbeda. “Makasih ya, Bar. Maaf kalau—” “Hei, nggak perlu minta maaf, ini bukan salah kamu. Aku tau kok apa yang kamu rasain selama ini, karena aku juga memikirkan hal yang sama. Tapi kita nggak mengubah takdir kalau nggak berusaha. Jadi, jangan nyerah ya,” ucap Barra menenangkan. Laki-laki itu menarik Sasmita ke pelukannya. “Udah ah, jadi mellow gini kan gara-gara kamu. Tuh kasihan rotinya jadi kedinginan karena kamu diemin. Udah buruan habisin rotinya terus aku anter kamu ke kantor sebelum si Maung ngamuk-ngamuk.” Barra melepaskan pelukannya dan mengacak rambut Sasmita. Sasmita mencebik kesal lalu mengalihkan pandangan ke Danu yang sedang meracik sesuatu. “Oh iya, Nu tadi kamu bilang Wira udah lama nggak main ke BC, itu beneran?” “Beneran, Mbak. Kalau nggak salah Mas Wira terakhir ke sini awal bulan ini, deh,” sahut Ares. “Kemarin dia juga nggak ke sini?” “Enggak. Kemarin justru yang datang malah Mas Jovan, temannya Mas Barra. Dia juga yang bantu beres-bersih pas mau tutup.” Sasmita terdiam. Jawaban demi jawaban yang didapatkannya justru malah membuatnya penasaran. Pikirannya melayang ke mana-mana. Mencoba menerka sesuatu, tapi ketika satu hal terlintas di pikirannya, sentuhan lembut di punggung tangan menginterupsi. Barra menatap Sasmita penasaran. Sasmita pun menceritakan semuanya. “Aku takut Wira melakukan hal buruk,” ucap Sasmita di akhir cerita. “Jangan mikir aneh-aneh. Wira nggak mungkin melakukan hal buruk di luar sana. Dia kakak yang baik buat kamu, Ta. Kamu harus percaya itu.” “Bar ....” “Percayalah, Wira nggak akan tega mengecewakan kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN