Mrs Ngaret vs Mr Ngutang

2204 Kata
Kring.. kring.. kring.. alarm Mona berbunyi sebanyak tiga kali. Mona yang tadi malam begadang nonton drama korea, belum juga sadar dari mimpinya. “Oppa! oppa, jangan tinggalin gue dong!” pinta Mona lirih sambil berusaha menggapai tangan Lee Min Ho. “Mianhae, Mona, oppa harus pergi sekarang juga,” balas Lee Min Ho yang wajahnya sudah berderai air mata. “Aigoo! Gue mau kita nikah beneran, oppa!” Mona semakin merengek dikala Lee Min Ho mundur menjauhi Mona. Lee Min Ho menggelengkan kepalanya, “Kita gak akan mungkin bersatu, Mon!” seketika saja Lee Min Ho menghilang kayak punya ilmu hitam. Jleb! Kring ... kring ... kring ... alarm Mona berdering lagi, untuk kali ini Mona terbangun dan terloncat karena melihat jam dindingnya. “Yang bener nih sudah jam delapan?!” Mona mengucek kedua matanya tak percaya. “Masa iya hari pertama masuk kuliah gue telat?! Nanti nama Monalisa gadis tercantik dahsyat bakal tercoreng namanya!” Mona ngomel sendiri sama dirinya. Mona memandang paras eloknya di depan cermin, ia senyum-senyum sendiri padahal belum mandi dan bau mulutnya menggelegar. “Haaaaaah!” Mona tak sengaja tercium aroma mulutnya yang buruk. “Parah sih! Muka cantik tapi mulut muka gileee!” keluh Mona. Namun, bukannya bergegas untuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, Mona malah langsung memakai baju model kekinian untuk ke kampus. Tampak rok putih selutut, baju kemeja kotak-kotak merah berlengan panjang menghiasi diri Mona yang cantik. “Mona, lo beruntung sudah diberkati dengan wajah dan tubuh yang anggun. Jadi, biarpun tidak mandi dua hari pun, lo tetap cantik bak finalis Indonesia’s Next Top Model!” Mona membanggakan dirinya di depan cermin. “Dan, biarpun ketiak lo agak bau bawang, percayalah bahwa bau itu akan hilang ketika senyum lo terpancar nyata!” lanjut Mona sambil menyemprotkan deodoran ke seluruh tubuhnya. Lalu, Mona memanasi motor bebek bermotif daun kelor pemberian dari Eyangnya. Sambil menunggu motornya panas, Mona pun terbayang akan mimpinya tadi yang bertemu Lee Min Ho. “Ya elah God! Ngenes amat ya nasib gue, gak di kenyataan, gak di dalam mimpi, kenapa gue dan Lee Min Ho tak pernah bersatu?” Mona mewek. Mona membuka galeri diponselnya dan memandang album foto yang penuh dengan pesona Lee Min Ho. “Sampai ujung dunia, gue akan mengejarmu, oppa! Walaupun oppa tidak melirik gue seujung tahi lalat, ketahuilah bahwa cinta gue bar-bar tingkat dewa!” ungkap Mona mantap. “Mbak, mbak, cepetan dong! Gue mau lewat nih, sudah telat kuliah!” kata seorang perempuan penghuni kos di kamar lain. Rupanya, Mona ini manasin motornya di tengah jalan sampai bikin orang gak bisa lewat. “Eh iya, maaf maaf mbak!” Mona segera memperbaiki posisi motornya dengan baik. “Lain kali kalau ngehalu jangan di tengah jalan ya, kasihan tuh banyak yang antri,” lanjut perempuan tadi dan menunjukkan tiga perempuan lainnya yang sudah ngedumel di belakang. “Huh! Cantik sih, tapi pagi-pagi ngehalu! Apa kata dunia?!” sewot perempuan lainnya. “Eh mbak ngapain juga ngomong sama dunia, gak bakal didenger kali!” Mona gak kalah sewot. “Ngaca mbak, ngapain juga pagi-pagi ngomong sama hape?! Udah gitu mewek-mewek lagi kayak kehabisan sembako!” perempuan itu ngacir ke luar dan meninggalkan Mona yang masih sibuk manasin motornya. “Ih! Sok tau banget sih tuh cewek, dia kan gak tau sensasinya ngomong sama Lee Min Ho pakai telepati! Gak modern banget sih, lebay!” Mona nyinyirin itu perempuan sambil melipat kedua tangannya.  Mona melirik lagi jam di tangannya, ternyata sudah menunjukkan pukul 09.00. “Sepuluh menit lagi sudah selesai nih mata kuliah pertama, masuk atau nggak ya?” pikir Mona. Akan tetapi, Mona yang muka tembok itu optimis saja ke kampus untuk masuk kelas dan berharap dosen tidak mengusirnya. *** Mona memarkir sepeda motornya tepat di depan kelas dan berjalan ke kelasnya. Bruk!! Tiba-tiba Mona tertabrak oleh seorang perempuan seumurannya yang memiliki badan gempal. Perempuan itu berlari ngos-ngosan sambil membawa buku tebal berjudul, “Chemistry I” “Maaf ya, aku cepet-cepet banget nih, kenalin aku Lusi anak Kimia,” Mona menatap aneh, bisa-bisanya disituasi seperti ini, perempuan itu mengenalkan nama. “Siapa juga yang mau tau nama lo? Tangan gue sakit kan ketindis buku lo yang kayak batu bata itu!” Mona membalas sinis. “Udah lah ya, gak usah marah-marah gitu. Gue pergi dulu ya, bye!” Lusi berlari tanpa memperdulikan Mona yang masih tersungkur di lantai. “Dasar ya tuh perempuan, baju gue sama rok gue jadi lecek kan! Kalau kayak gini kan makin ketahuan kalau gak pernah disetrika!” Mona gemas dan memperbaiki pakaiannya sebisanya. “Monalisa?” sebuah tangan menjulur ke depan wajah Mona. Tangan seseorang laki-laki yang warna sawo matang, dan kukunya panjang menghitam. Sebelum Mona menatap wajah sang pemilik tangan, Mona pun berbatin, “gila, nih orang gak pernah potong kuku kali ya! hitam-hitam kayak habis ngais tanah.” Mona menelan ludahnya berkali-kali. “Bangun dong, Mon,” pinta laki-laki itu. Perlahan-lahan, Mona mengangkat wajahnya dan menatap laki-laki yang sudah berdiri di hadapannya. “Eh, kakak!” Mona bergegas berdiri dan memperbaiki pakaian serta rambutnya yang sedikit berantakan. “Loh kok berdiri sendiri, sih? Tangan gue sengaja berdiri buat nolong lo, hmm jadi mubazir kan,” ucap laki-laki itu dan auto senyum. “Kakak panitia ospek, ya?” Mona langsung menyodorkan pertanyaan. “Iya, kenalin gue Ardin, ketua panitia ospek kemarin. Lo telat lagi hari ini?” balas Ardin. Mona yang tidak mau ketahuan telat, membuat suatu alasan yang bisa diterima akal sehat. “Enggak lah, gue habis ke toilet bentar tadi,” kata Mona. “Ke toilet kok sampai bawa tas dan kunci motor gitu?” ujar Ardin. “Hmm, ini tas sama kunci motor temen gue, tuh orangnya ada di jurusan Kimia,” ucap Mona sambil melirik ruang kelas Kimia. “Oh syukurlah kalau gak telat, berarti lo sudah berubah semenjak ospek,” jelas Ardin. “Ya begitu lah kak, gue kan sudah mahasiswa nih jadinya gak boleh telat dong,” Mona memancarkan senyuman manis yang membuat Ardin geleng-geleng kepala. “Mona, Mona, sudah disiplin, cantik, manis, lo itu paket lengkap ya,” ujar Ardin begitu terkesan dengan sosok Mona. Tak lama kemudian, ada dua orang perempuan lewat di depan Mona dan Ardin. Bukan hanya lewat, dua perempuan berkacamata besar itu juga mengucapkan kata-kata pedas sepedas seblak level makyus.  “Hmm, ternyata Mona gak masuk kelas gara-gara pacaran sama kakak tingkat ya? Bucin banget sih,” sindir salah satu perempuan.  “Iya tuh, baru aja pertama kali kuliah sudah telatan, gimana seterusnya? Pasti banyak absennya tuh ya,” balas perempuan lainnya yang tak kalah sinis. Mona enggan membalas ucapan dua perempuan tadi dan dibiarkannya berlalu. Akan tetapi, Ardin yang tidak tuli itu, merasa bahwa ada perbedaan antara omongan Mona dan dua perempuan tadi. “Nih anak bohong kali ya sama gue, ah gak peduli lah yang penting gue bisa deket sama Mona,” batin Ardin. “Kak? Kenapa diem gitu? Lagi mikirin utang, ya?” tanya Mona dengan polosnya. “Enggak, gue lagi ..... hmm ... ” Ardin mencari alasan. “Gue lagi laperrrr!” “Oh jadi kalau kak Ardin laper itu wajahnya bengong kayak tali rafia ya?” ucap Mona. “Hah? Emang ada wajah kayak tali rafia ya?” Ardin bingung. “Ada lah, maksudnya tuh diem-diem doang gak gerak kayak tali rafia, hahaha,” jelas Mona yang membuat Ardin ikutan tertawa. “Kalau gitu ayo kita makan kak, kebetulan gue juga laper belum sarapan,” ajak Mona. Tidak mau kehilangan kesempatan bersama Mona, Ardin spontan mengiyakan ajakan itu, “boleh deh! Tapi—“ Ardin baru ingat kalau tanggal ini di dompetnya cuma ada uang koin 100 perak. “Tapi kak Ardin kan yang bayarin makannya?” Mona percaya diri sekali menjawabnya. Ardin yang tidak mau wibawanya anjlok di mata Mona, segera mengiyakan jawaban Mona, “ya pasti gue yang bayarin dong. Kan sebagai bentuk kakak tingkat yang baik,” kata Ardin. Mona dan Ardin pun pergi ke restoran yang tergolong menengah ke atas, padahal dalam hatinya Ardin itu keresahan mulai muncul, “nih perempuan ngajak makan di tempat kayak gini, harga minumannya setara sama makan gue lima kali. Hedon amat!” seru Ardin yang melihat price list di atas meja restoran. “Kakak mau makan yang mana? Gue mau pesan ayam popcorn sama jus lemon, ya?” minta Mona. “Oh iya, iya, silakan! Kayaknya gue gak jadi makan deh, tiba-tiba aja perut gue menolak untuk makan,” sahut Ardin. “Duh, bisa gawat nih kalau gue ketahuan bokek!” Ardin mulai panik. Ardin menatap ke sekelilingnya dan berharap bantuan malaikat akan datang menghampirinya. Suasana yang dingin di dalam restoran, tak membuat keringat Ardin kering dan malah semakin bercucuran. Berbeda dengan Mona yang menikmati suasana restoran sambil upload feed di instagramnya. Dan, lima menit kemudian seseorang menepuk pundak Ardin. “Oy bro! Lagi ngapain lo bro? Tumben lo sarapan di sini, biasanya—“ Ardin segera menutup mulut seseorang itu. Ternyata, itu adalah Wira, teman satu geng Ardin yang cukup nyentrik dan ceplas-ceplos. “Ssstttt, lo bisa rem mulut lo gak?” Ardin menarik Wira ke pojok restoran. “Santai bro! Lo takut ya kalau ketahuan sering makan di emperan parkiran? Hahaha,” balas Wira. “Udah ya Wir itu rahasia kita, jangan jatuhin martabat gue di depan Mona,” bisik Ardin. “Iya bro tenang aja, gak mungkin lah gue bikin sobat gue sedih!” Wira menepuk pundak Ardin. “Ngomong-ngomong, itu gebetan lo ya? Cantik juga bro, sikattttt!” lanjut Wira. Ardin tersenyum, “doain aja ya bro semoga gue bisa pacarin itu perempuan. Ngomong-ngomong, lo mau berkontribusi untuk menyukseskan kencan gue, gak?” ucapan Ardin dirasa memiliki maksud tertentu. “Ya jelas mau dong bro! Gue juga pengen lo punya pacar, tapi kali ini jangan diembat sama bokap lo lagi ya!” Wira mewaspadai. “Tenang, bokap gue sudah insyaf kok! Lagian juga mana ada perempuan yang demen sama duda sok tajir kayak bokap gue!” Ardin malah merendahkan papanya. “Pokoknya semangat aja lah bro, jangan sampai perempuan kayak gitu lepas dengan mudahnya,” ucap Wira. “Ah banyak cincong lo ya, eh pinjem duit lo dulu dong, please!” seketika raut wajah Ardin menjadi melas. Wira memandang Ardin dengan menaikkan ujung bibirnya, “parah sih lo, bawa perempuan makan di restoran mahal gini, pakai ngutang segala lagi. Gak modal banget sih lo!” Wira geleng-geleng. “Sudah lah bro, kalau lo mau lancarin kencan gue hari ini, pinjem dulu uang lo. Janji deh dibayar......... kalau ingat, hahahaha,” celetuk Ardin. Wira menggelengkan kepalanya lagi dan mengeluarkan dompetnya, “nih, lo harus pintar-pintar ngolah keuangan, kalau ketahuan demen ngutang, lo sendiri yang malu!” ungkap Wira yang memberikan uang dua ratus ribu ke Ardin. “Banyak ngoceh lo, duit orang tua aja belagu!” Ardin segera menarik uang itu. “Idih, daripada lo, gak anak gak bokap ya sama-sama kere!” balas Wira. “Gue males berdebat sama lo Wir, eh thank you lo ya sudah mau ngebantu. Gue doain semoga lo dapatin perempuan yang pintar sesuai kriteria lo,” Ardin memeluk Wira dan ngacir ke mejanya. Ardin pun kembali duduk mendatangi Mona yang sudah lahap menyantap pesanannya. “Wah sudah datang ya pesanannya, enak?” tanya Ardin dengan wajah gembira. Mona tidak menjawab pertanyaan Ardin, “kok wajahnya gembira banget kak? Habis dapat pinjaman uang dari temennya yang tadi, ya?” todong Mona yang membuat Ardin terbelalak. “Hah,  pinjam uang? Mona, gue itu paling anti sama yang namanya pinjam meminjam. Pulpen aja kalau hilang gue gak pinjem, tapi langsung beli. Apalagi duit?” jawab Ardin dengan songongnya. Mona mangut-mangut, “lah terus tadi temennya itu ngasih uang ke kak Ardin buat apa?” “Biasalah, dia itu suka pinjam uang ke gue, barusan balikin utang tuh,” jelas Ardin. “Sudah Mon, lanjutin aja deh makannya jangan ngomong terus, nanti ayamnya nyangkut di hidung lho,” sambung Ardin. Mona tertawa kecil, “gak mungkin lah kak, kan ayamnya segede sendok. Masa bisa masuk ke hidung?” balasnya. Mona pun melanjutkan makannya sampai habis tak tersisa di piringnya. Ardin yang hanya bisa menatap pilu, hanya berangan-angan bisa mencicipi ayam popcorn yang lezat itu. Suara ngilu di perut Ardin semakin terasa karena lapar itu semakin nyata. “Bro bro! Gue sudah dapat kontak perempuan yang gue taksir bro!” Wira datang membuyarkan lamunan Ardin yang sedang berhalusinasi tentang ayam popcorn. “Eh ayam popcorn!” Ardin latah dan cepat-cepat menutup mulutnya. “Ada apa sih bro, lo ganggu orang kencan aja,” kata Ardin. “Ini bro, ini! Ini perempuan yang gue taksir sejak ospek kemarin. Oke gak?” Wira memperlihatkan foto perempuan berkacamata dan berbadan gemuk. “Serius lo naksir ini perempuan?” Ardin meyakinkan. “Iya, serius bro! Seratus rius malah! Bantuin comblangin gue dong bro!” Wira memohon sambil manyun di hadapan Ardin. “Hmm gimana ya,” Ardin mikir-mikir dulu. “Bisa sih, tapi kayaknya gak gratis,” sambung Ardin. “Parah lo ya! Di otak lo cuma ada duit, duit, duiiiiiiit mulu. Percuma lo model terkenal photoshoot dimana-mana tapi dompet tipis kayak otak lo!” Wira gak terima dan meninggalkan Ardin dan Mona begitu saja. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN