Kelalaian Mona

1928 Kata
Kebetulan saja pulsa Jacob baru terisi sebanyak seratus ribu dan membuat Jacob berani menelpon Ardin, padahal ya beda operator. Entah, pada saat itu Jacob sama sekali tidak memprotes untuk menelpon Ardin. “Cie, pulsa lo banyak amat, habis ngepet dari mana lo?” ledek Wira yang sempat mengintip nominal pulsa Jacob. Jacob berusaha menyembunyikan ponselnya di ketiaknya sendiri. “Gak usah resek deh lo, kepo amat jadi orang,” Jacob menyentuh layar touch screen-nya itu dan mencari nomor telepon milik Ardin. Sementara Wira sibuk saja ledekin Jacob dari mana pulsanya datang. “Biasanya aja paling pelit tuh kalau soal keluar pulsa, eh ternyata lo bisa berubah juga. Mantaplah!” Wira menepuk-nepuk pundak Jacob sembari Jacob menghubungkan teleponnya ke Ardin. Tut.. tut.. tut.. Wira juga ikutan mendengar teleponnya. “Eh gak diangkat, mungkin Ardin sibuk,” kata Jacob. “Telpon lagi coba Jac,” pinta Wira. “Ah gak ada, gak ada, udahan telponnya kan gak diangkat,” Jacob meletakan ponselnya kembali di dalam saku celananya. “Ih coba lagi sekali, mungkin aja Ardin lagi ke toilet atau gak denger teleponnya. Kan lo ngerti sendiri kalau dia suka silent ponselnya. Telepon lagi lah!” Wira tampak memaksa Jacob. Jacob menggelengkan kepalanya. “Sudah ah, gak usah, bentar lagi juga datang.” Balas Jacob dengan yakinnya. “Ya pasti lama lah, Jac. Dia kan lagi ngebucin tuh, mana ada orang yang bucin sebentar,” timpal Wira. Pada saat itu juga, datanglah seseorang laki-laki dengan wajah yang terlihat kusut. Wira dan Jacob melebarkan pandangannya, laki-laki itu masuk tanpa salam ke dalam rumah Jacob. “Sialan!” ucap laki-laki itu yang ternyata Ardin. Ia langsung duduk di sofa sebelah Wira. Sambil menghentak-hentakan kakinya, Ardin mengepalkan kedua tangannya juga. “Hari ini hari sial gue! Benci banget deh!” gerutu Ardin. Wira yang berada di sebelahnya, langsung menimpali, “sial gimana deh Din? Kamu loh baru saja kencan sama Mona. Bukankah itu kebahagiaan yang hakiki bagimu?” “Ih, apaan, Mona ninggalin gue di restoran tadi,” Ardin mengingat peristiwa menjengkelkan itu. Wira geli tak kuat menahan tawanya. “Hahaha, kasihan amat lo Din. Baru aja dapat bidadari kampus, sudah ditinggalin aja.” “Nasib gue hmm,” Ardin merebahkan kepalanya ke sofa. “Udah gitu tadi gue ketemu abang sate yang resek pula!” “Kenapa lagi?” Jacob membalas santai karena asyik dengan ponselnya. “Gue kan tadi makan sate tuh di emperan—“ “Eh bentar-bentar, lo bukannya makan di restoran sama Mona ya tadi? Kok tiba-tiba nyelosor ke abang sate?” Wira memotong pembicaraan Ardin. “Iya, gue gak ikutan makan di restoran tadi karena duit gue habis!” jelas Ardin. “Kok bisa? Bukannya gue udah ngutangin lo dua ratus rebu ye?” Wira membeberkan. “Lo paham gak, ternyata Mona pesan delivery juga cuy ke rumahnya, dua porsi pula, parah! Yaudah deh, duit gue habis gara-gara dia!” rupanya Ardin masih kesal dengan kelakuan Mona yang diam-diam pesan makanan delivery ke rumahnya. Spontan saja, Jacob dan Wira saling menatap dan tertawa lepas. Mereka berdua sama-sama memegang perutnya karena tawa itu seperti menusuk perut bagian dalam mereka. “Itu artinya lo dapat incaran cewek yang matre noh! Harus kuat-kuat fulus tuh!” ledek Jacob. “Makanya sana kerja sampingan, biar lo bisa kencan sama Mona tiap hari hahahaha,” balas Wira yang masih tertawa. Ardin menegakan badannya dan meminta Wira dan Jacob untuk diam, “Eits, diam ya. Sebenarnya gak ada cewek yang matre, cowok itu memang harus mempersiapkan diri secara lahir batin dan finasial, semata-mata untuk cewek yang ia sayangi. Ingat bro, semuanya memang butuh duit!” “Wih wih, tiba-tiba aja lo kayak motivator gitu, padahal tadi muka lo kayak tanah datar bergerigi hahaha,” Wira menganggap ocehan Ardin barusan adalah angin lalu. “Jadi, lo mau tetap perjuangin Mona?” Tanya Jacob. Ardin berdiri dari sofa, badannya dibusungkan sedikit. Wajahnya diangkat sedikit juga, dan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku samping celananya. “Ya! Gue akan berusaha mendapatkan hati Mona, bidadari yang jatuh dari genteng,” “Lah kok genteng?” Jacob menyeritkan dahinya. “Iya, soalnya dia agak berisik, kalau bidadari jatuh di genteng kan bakal berisik, beda lagi kalau jatuh ke sungai,” jelas Ardin. “Oooh begitu,” balas Wira dan Jacob sambil menganggukan kepala. “Masuk akal juga lo,” ucap Wira. Lalu, Ardin tersenyum kecil. “Eh ngomong-ngomong tattering dong!” tiba-tiba saja Ardin ingat kalau hari ini rapat badan eksekutif mahasiswa (BEM) yang dipimpinnya. Ia meminta hotspot pada Wira dan Jacob. “Eh Ardin, lo ini beneran gak ada modal ya, di restoran tadi udah minjem duit, lah sekarang minjem kuota, bener-bener deh ya lo,” Wira menggelengkan kepalanya. “Ahelah, gue kan tadi lupa mau beli pulsa, lagian juga kalian kan ada kuota. Bantu-bantu teman lah,” Ardin menaikan turunan kedua alisnya secara bergantian. Wira yang sudah malas memberi kepada Ardin, langsung menyuruh meminta ke Jacob saja, “noh minta sama Jacob, pulsanya banyak beud.” “Seriusan? Gimana? Lo berhasil dapat hadiah give away-nya hari ini? Gak hoax beneran, Jac?” Tanya Ardin sambil menggoyang-goyangkan badan Jacob. Wajah Jacob tampak datar, ia menjauhkan tangan Ardin yang menggoyang-goyangkan badannya. “Ih, berisik amat lo ya, udah dikasih tau diam aja, kok lo malah ngebongkar,” bisik Jacob. Wira yang telinganya tidak tuli, mendengar bisikan Jacob. “Oh ternyata pulsa gratisan dong yang dipunya, hahahhaa,” Wira tertawa lagi. “Kirain beli sendiri, eh ternyata….” Ardin menatap Wira heran. “Lah, lo emang baru tau? Kan kebiasaannya Jacob si anak rumahan ini kan hanya main i********:. Lo gak pernah nge-stalk dia ya? Tiap hari tuh story sama postingannya give away mulu!” Ardin membeberkan segala yang diketahuinya tentang kebiasaan Jacob yang memalukan itu. Jacob yang merasa malu, langsung menundukan kepalanya dan menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Seperti dimata teman-temannya kini, Jacob adalah anak yang mager keluar rumah untuk main dan bertamasya, ia lebih memilih berburu hadiah gratisan di instagramnya. “Gak beres ya lo berdua!” cetus Wira yang berusaha menghentikan tawanya. *** “Aduh mana panas, kering, gak ada ojek, gimana gue mau pulang ke kosan, ya?” Mona mengitari pinggir jalan sambil mencari-cari tumpangan. Tumbenan saja pada hari itu, tidak ada ojek maupun angkot yang kosong, semuanya sudah penuh. “Ini gara-gara gue ikut Kak Ardin! Eh enggak deh, kalau gue gak ikut dia, gue gak bisa makan enak. Tapi ya gini, pulangnya jalan kaki. Males banget deh!” Mona tak ada hentinya berdumel. Sreeeeet… “Mona?” seorang perempuan berbadan agak gemuk memberhentikan motornya di samping Mona. Jadi, Mona ikutan berhenti juga. “Siapa, ya?” Mona memperhatikan dari atas sampai bawah sosok perempuan itu, namun gagal untuk menyimpulkannya. “Ini gue, Lusi, waktu di kampus kan kita bertemu, masa lupa?” balas Lusi. “Banyak kali yang gue ketemu di kampus. Terus, lo mau apa? Gue gak kenal lo sumpah!” Mona yang sudah kepanasan siang itu, malas mikir. “Ini, gue, coba perhatiin wajah gue,” ucap Lusi. “Mau perhatiin gimana? Lo masih pakai helm, kaca helm lo gelap, tertutup, mana bisa gue ngerti lo siapa. Emangnya gue punya ilmu cenayang apa,” balas Mona. Lusi yang lupa membuka kaca helmnya, dengan cepat membukanya. “Eehehe maaf.” “Oh ya, tadi kalung lo jatuh dan gak sengaja keselip di dalam buku gue. Ini gue kembaliin,” Lusi menyerahkan kalung emas dengan mata kalung berbentuk huruf M. Mona memastikan lagi apakah itu benar miliknya dengan meraba-raba lehernya. “Eh iya, ternyata kalung gue gak ada. Oh my God ternyata barang ini masih rejekiku. Terima kasih banyak, ya,” kata Mona dan sekarang menuai senyuman untuk Lusi. “Sama-sama. Oh ya, mau gue antar pulang? Kebetulan kosong nih di belakang,” Lusi menepuk-nepuk jok belakang motornya. Jok motor itu mengkilap sekali karena pantulan sinar matahari tepat menusuknya di sana. Lalu, Mona pun berpikir, “duh itu jok motor panas banget pasti, gimana kabar b o k o ngku ini, ya?” Mona harap-harap cemas sambil mengintip sedikit di belakangnya. “Gimana, Mon, mau gak?” Lusi menanyakan lagi. Hari mulai terik, matahari sudah meronta-ronta memancarkan sinar panasnya. Air keringat yang beberapa kali menetes dari dahi Mona, kini mulai bertambah banyak. “Hmm, boleh deh,” Mona mengangguk dan langsung naik di atas motor Lusi. “Pegangan ya Mon,” kata Lusi. Fiuuuussssshhhhh~~~~ Lusi mengendarai motornya dengan kecepatan enam puluh kilo meter per jam, padahal ini masih dalam daerah perkotaan. Lusi mengarahkan stang motornya ke kiri dan ke kanan, tak peduli telah mendapatkan klakson beberapa kali dari pengendara lainnya. Mona yang menumpangi itu, pandangannya samar-samar karena angin terus menghantam wajahnya. Bunyi helm yang dipakai Mona pun mengeluarkan suara gludak gluduk karena ada beberapa batu yang menimpa helmnya. Kok bisa? Mana saya tau. “Oy, oy, santai oy nyetirnya,” ujar Mona tepat di telinga Lusi. Entah karena telinganya ketutupan helm plus jilbabnya, Lusi malah mempercepat kecepatan motornya. Ia semakin liar menyalip kendaraan yang ada di depannya. Mona yang sudah gelabakan dan khawatir terjadi apa-apa hanya bisa berteriak saja seperti kera. Mona memilih menutup kedua matanya dan mengucap sabda-sabda Tuhan hingga tujuan itu sampai. Bibir Mona yang komat-kamit itu, mengharap keselamatan yang banyak pada Tuhannya. Ciiiiittttt…. Motor Lusi berhenti dan menimbulkan bunyi berdecit ketika sampai di depan kosan Mona. “Sudah sampai! Persis seperti tujuan di Google Maps!” ujar Lusi dan membuka helmnya. Lusi membalikan badannya dan membuka helm yang dikenakan Mona. Lusi terbelalak kaget melihat wajah Mona yang tadinya berkeringatan kini menjadi dingin. Bibir dan pipi-pipinya tampak pucat, melebihi warna kulitnya. “Lo kenapa, Mon?” Lusi menepuk-nepuk pipi Mona dengan pelan. Mona yang masih menutup matanya, perlahan-lahan mencoba membukanya. Pandangannya yang masih kabur, membuatnya cemas. “Dimana gue?!” Tanya Mona penuh keprihatinan. “Ya elah lebay amat lo, kayak disinetron segala pakai nanya dimana gue,” jawab Lusi dengan ramah. “Eh serius, gue dimana deh? Udah sampai kos ya kan?” Mona mengucek kedua matanya dan melihat ke sekelilingnya. Mona menghela napasnya lega, ternyata ia benar sampai di depan kosnya. “Syukurlah,” Mona memegang seluruh tubuhnya seperti memeriksa apa ada yang ketinggalan. “Syukurlah juga bagian tubuh gue selamat tanpa ada cidera satu pun,” Mona mengulurkan senyumnya. “Eh ngomong-ngomong terima kasih banyak ya Lus!” Mona menggapai tangan Lusi lalu menyalaminya. Lusi membalas senyuman Mona dan bertanya, “jadi tiap hari lo naik apa kalau ke kampus?” “Motor,” jawab Mona singkat. “Terus, motor lo dimana? Di bengkel?” Tanya Lusi lagi. Mona menepok jidatnya ketika Lusi bertanya soal motor. Ia baru ingat kalau motornya masih terparkir di parkiran kampus. “Aduh gue lupa!” Mona menyayangkan kelupaannya itu. “Motor gue ketinggalan di kampus, harusnya tadi lo anterin gue ke kampus aja, Lus.” “Waduh, harus cepat ambil motornya tuh, nanti dimalingin loh, atau bannya dikempesin satpam. Kan lo tau sendiri di kampus kita banyak banget aturan parkirnya,” terang Lusi. “Iya juga ya, belum lagi kalau parkirnya kelamaan bakal kena denda. Gitu amat ya cari uang,” balas Mona. “Ya namanya juga hidup, segala cara dicoba untuk mendapatkan uang. Eh tapi gak boleh berpikiran buruk dulu ya. Ayo kita ke kampus sekarang ambil motor lo,” Lusi menawarkan lagi dan bersiap menyalakan mesin motornya kembali. “Eh gak apa-apa kah? Apa kamu gak keberatan? Gak kecapean bolak-balik ke sana lagi?” sebenarnya Mona juga tidak enak meminta bantuan lagi pada Lusi. “Ya gak apa-apa kali, yuk,” kata Lusi. Mona mengangguk dan menaiki motor Lusi kembali untuk tujuan ke kampus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN