The Wo(Man) - 04

1578 Kata
“Mulai hari ini aku akan hidup sebagai Riyu dan aku adalah seorang laki-laki.” -The Wo(Man) Peristiwa pencopetan yang dialami Riyu memang sangat menyedihkan. Karena hal itu dia tidak memiliki sepeser pun uang lagi di kantongnya kecuali uang kembalian setelah dia berbelanja di minimarket. Namun di sisi lain peristiwa itu juga-lah yang akhirnya membuat Riyu mendapatkan pekerjaan di minimarket itu. Sungguh, semua yang terjadi benar-benar di luar dugaan Riyu. Awalnya dia berpikir akan mencari rumah kost-kost-an terlebih dahulu, barulah kemudian nantinya dia mencoba untuk mencari pekerjaan. Tapi siapa sangka dia malah berakhir seperti sekarang ini. “Aku pasti bisa melakukannya. Aku pasti bisa,” bisik Riyu dalam hatinya. Saat ini Riyu sedang diajari oleh Ridwan tentang semua mekanisme dan juga cara kerje di minimarket itu. Secara umum, tugas Riyu cukup jelas. Dia akan berperan sebagai kasir, melayani para pelanggan, menata barang-barang di sana, menjaga kebersihan, dan juga mencatat semua stok yang habis atau berkurang. Selain itu Riyu juga bertanggung jawab untuk memastikan semua barang sesuai dengan nota yang diberikan oleh pihak suplier nantinya. “Nah, sejauh ini apakah kamu sudah mengerti?” tanya Ridwan setelah menjelaskan semuanya panjang lebar. Riyu mengangguk sambil terus mencatat di memo kecil miliknya. Riyu sudah mencatat semua poin-poin penting yang tadi sudah diajarkan oleh Ridwan selaku owner minimarket itu. “Saya mengerti, Mas Ridwan,” jawab Riyu kemudian. Ridwan pun kini tersadar jika memo yang sedang dipegang oleh Riyu itu terlihat sedikit ‘eneh’. Memo itu memiliki sampul berwarna pink dengan gambar kartun boneka barbie di sampul depannya. “Saya rasa kamu mempunyai selera yang sedikit unik,” ujar Ridwan. Riyu mendongakkan kepalanya. “Maksud anda?” “Itu memonya!” Glek. Riyu pun baru tersadar dan langsung menjadi gugup. “I-ini sebenarnya memo milik adik perempuan saya. Dia memaksa saya untuk membawanya,” jawab Riyu kemudian dengan suara yang diberat-beratkan. “Aaah, jadi begitu. Kamu hampir saja membuat saya salah paham. Adik kamu pasti sangat menyayangi kamu.” Riyu hanya tersenyum canggung. “Oh iya, sebagai tambahan lagi … kamu akan mulai bekerja pukul 09,00 pagi hingga 17.00 sore. Nanti saya akan datang menggantikan kamu untuk shift malam. Dan sewaktu-waktu saya bisa saja meminta kamu untuk masuk di shift malam juga. Tentu saja ada bonus lembur untuk hal itu,” ujar Ridwan. Riyu mengangguk tanda mengerti. “I-iya, Mas. Saya mengerti.” Tatapan Ridwan pun beralih pada ransel besar milik Riyu yang diletakkannya di pojokan dinding. “Oh iya, kamu tadi bilang kalau kamu baru saja dari kampung halaman, iya, kan?” “Iya, Mas.” “Kalau begitu berarti kamu belum punya tempat tinggal?” Riyu menelan ludah dengan wajah tertunduk. “Iya. Saya belum mempunyai tempat tinggal.” Ridwan mengangguk-angguk pelan. “Kalau begitu untuk sementara waktu kamu bisa tidur di gudang penyimpanan itu. Di sana ada sebuah sofa panjang yang cukup nyaman. Itu pun kalau kamu mau dan merasa tidak keberataan." “S-saya mau, Mas!” pekik Riyu dengan suara yang terdengar sedikit bersemangat. “Hmm … baiklah kalau begitu. Untuk harga-harga barang di sini rata-rata sudah diberi label, jadi kamu tidak perlu bingung dan juga nanti ketika di scan, harganya pun juga akan muncul,” jelas Ridwan lagi. “Baik, Mas.” Ridwan mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, lalu mengangguk. “Saya rasa semuanya sudah cukup jelas. Apa kamu mempunyai pertanyaan?” Riyu mengecek kembali catatannya, lalu menggeleng. “Saya rasa semuanya sudah jelas, Mas.” “Kalau begitu sebaiknya hari ini kamu beristirahat saja di belakang. Sepertinya ini adalah hari yang cukup berat untuk kamu,” ucap Ridwan. Riyu tersenyum malu, kemudian membungkukkan badannya 90 derajat. “Sekali lagi terimakasih karena sudah menerima saya bekerja di sini.” “Tidak masalah. Ya sudah, sana istirahat!” Riyu pun segera mengambil ranselnya dan beranjak memasuki gudang yang terletak di ujung ruangan. Ridwan pun menatap punggung mungil Riyu seraya menghela napas. Sebenarnya dia sendiri juga bingung kenapa bisa mengambil keputusan seperti itu. Sosok lelaki yang dia pekerjakan itu bahkan sudah tidak mempunyai kartu identitas apapun. Sesungguhnya dia sedang mengambil sebuah risiko yang cukup besar. Bagaimana jika Riyu ternyata adalah seorang anak nakal yang lari dari rumahnya? Bagaimana kalau seandainya Riyu nanti melakukan pencurian di tokonya? Sejenak pikiran Ridwan dipenuhi oleh berbagai prasangka, tapi kemudian semua itu langsung terhapus saat teringat bagaimana binar mata Riyu ketika dia menawarkan pekerjaan itu. Sorot mata pemuda itu benar-benar menyiratkan sebuah ketulusan dan Ridwan percaya akan hal itu. “Walaupun dia tampak kecil dan tidak bisa diandalkan, tetapi sepertinya dia bisa dipercaya,” bisik Ridwan kemudian. _ Ruangan gudang itu terasa sedikit lembab dan pengap. Ada banyak sekali tumpukan kardus yang tinggi menjulang dan tersusun berantakan. Riyu pun mengedarkan pandangannya mencari sofa yang dimaksud oleh Ridwan. Dia terus berjalan di antara tumpukan barang-barang yang berserakan itu. Hingga kemudian dia menemukan apa yang dia cari. Sofa berwarna abu-abu itu terletak di ujung gudang. Tepat di atas sofa itu terdapat sebuah jendela kaca yang sudah buram dan menguning. Riyu pun meletakkan ranselnya di lantai, kemudian duduk sejenak sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Riyu mengangguk pelan. Kedua bola matanya kini mulai berkaca-kaca seiring dengan helaan napasnya yang terdengar sedikit sesak. “Tidak apa-apa … semua akan baik-baik saja. Ya, aku bisa melalui semua ini,” bisiknya pelan. Riyu pun termenung sebentar memikirkan apa yang sudah dia lakukan. Kegamangan tentu saja masih membelenggu. Bagaimana tidak, saat ini dia berada di sebuah tempat asing dengan kehidupan dan juga identitas yang sangat asing. “Apa sebaiknya aku mengaku saja bahwa sebenarnya aku adalah seorang perempuan? Bagaimana pun juga semua ini terasa salah,” bisik Riyu kemudian. “Tidak … bagaimana jika nanti Paman mencari aku? Bagaimana jika nanti ada salebaran yang menampilkan wajahku lengkap dengan tulisan ‘ORANG HILANG’?” Riyu menggeleng pelan dengan tangan mengepal kuat. “Ini sudah keputusan yang paling tepat. Ini adalah cara paling aman untuk menghapus jejak Ayu Anjani di muka bumi ini.” Riyu terus saja berbicara sendiri dengan nada pelan. Hingga kemudian dia melepas topinya dan mulai berbaring di sofa itu. Karena merasa gerah, dia pun membuka sedikit kaca jendela yang tepat berada di atasnya . Semilir angin pun kemudian terasa berhembus dengan lembut. Riyu mulai memejamkan matanya dengan rasa gelisah yang berangsur reda. Lama-kelamaan kedua kelopak matanya terlihat sayu dan beberapa saat kemudian Riyu akhirnya terlelap dengan guratan lelah yang terlihat jelas di wajahnya. _ Walau samar, Riyu bisa mendengar suara derap langkah kaki yang terdengar pelan. Kelopak matanya masih memicing, namun wajah Riyu masih mengernyit setelah mendengar suara langkah kaki yang terdengar jelas di kesunyian itu. Tap. Tap. Tap. Tap. Suara langkah kaki itu terdengar semakin dekat dan Riyu akhirnya bangun dari tidurnya. Gelap. Suasana di dalam gudang itu terlihat begitu kelam. Hanya ada satu bohlam bercahaya kuning dan terlihat redup karena terhalang oleh tumpukan kardus yang tinggi menjulang. Riyu mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Kosong. Tidak terlihat siapa-siapa di sana. Namun sedetik kemudian dia kembali mendengar suara gemerisik di balk tumpukan barang di ujung sana. Riyu meneguk ludah. Apa itu Mas Ridwan?” “Mas Ridwan …!?” Riyu bersuara pelan. Hening. Tidak ada jawaban sama sekali. Glek. Riyu perlahan bangun dari sofa itu dan mulai berjalan ke arah suara gemerisik yang tadi dia dengar. Langit di balik kaca jendela sudah menghitam. Suasana di dalam gudang itu jadi terlihat mencekam seperti gudang tua dalam film-film horror yang biasa ditontonnya. Cat dinding warna putih yang sudah kusam dan mengelupas sebagian itu juga terlihat menakutkan. Riyu terus melangkah. Suara gemerisik itu pun kini terdengar semakin jelas. Bersamaan dengan itu suara detak jantung Riyu juga mulai berpacu. Dia terus melangkah hati-hati dengan helaan napas tertahan di tenggorokan. Langkahnya pun terhenti di depan sebuah tumpukan kardus berisi minuman kaleng instan. Tidak salah lagi. Suara gemerisik itu memang berasal dari balik tumpukan kardus itu. Duk. Duk. Duk. Riyu bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri dengan sangat jelas. Riyu pun bergidik ngeri saat melihat bayangan hitam yang sedikit menakutkan. Bayangan mahluk yang sedang bergerak-gerak itu terlihat seperti memiliki dua buah tanduk runcing di kepalanya. Deg. Seketika kedua lutut Riyu terasa lemas. Keberaniannya untuk melihat langsung menyusut. Tapi kemudian dia kembali menghela napas dan memberanikan diri untuk melihat. “Meaaaauuuuoow.” Deg. Riyu pun mengembuskan napas lega saat melihat seekor kucing berwarna putih yang kini juga menatap padanya. “Ah, ternyata seekor kucing,” bisik Riyu pelan. Riyu pun duduk berjongkok menatap kucing putih yang sedang asyik membersihkan tubuhnya dengan cara menjilatnya itu. Perlahan Riyu menjulurkan tangannya untuk mencoba menyentuh. Ternyata kucing itu cukup jinak dan malah langsung berjalan mendekat, lalu bermanja-manja di kakinya. Riyu tersenyum senang. “Sepertinya malam ini aku mempunyai teman.” Riyu menggendong kucing itu dan berjalan kembali menuju sofa. Bersamaan dengan itu pintu gudang terbuka pelan dan Riyu langsung menatap ke sana. “Mas Ridwan …!?” Ridwan melangkah masuk, lalu tersenyum setelah menutup pintu itu terlebih dahulu. “Kamu belum tidur?” tanya Ridwan. “S-saya barusan terbangun, Mas,” jawab Riyu Ridwan mengangguk, lalu menatap Riyu dari ujung kaki hingga kepala. Entah kenapa tatapannya itu terasa sedikit aneh dan ganjil. Riyu pun meneguk ludah saat Ridwan menatapnya, lalu menyeringai dengan sorot mata yang sudah terlihat kemerahan. “A-ada apa, Mas?” tanya Riyu. Ridwan tidak menjawab dan terus melangkah mendekati Riyu. Sontak saja Riyu refleks melangkah mundur. Hingga kemudian betisnya tersandung oleh ujung sofa dan membuatnya terduduk di sana. “Meeeaaaow.” kucing yang ada di pelukan Riyu pun langsung melompat pergi. Riyu terduduk dengan raut wajah cemas. Sementara Ridwan masih menatapnya dengan tatapan penuh nafsu. Tidak lama kemudian dia pun melepaskan ikat pinggangnya seraya menjulu-julurkan lidah. Hal itu tentu saja membuat Riyu syok dan langsung terkesiap. “A-apa yang anda lakukan?” Ridwan mengulum senyum, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Riyu. “Apalagi kalau bukan bersenang-senang dengan perempuan yang menyamar sebagai laki-laki seperti kamu,” bisik Ridwan dengan suara sengau yang terdengar menakutkan. _ Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN